Selasa, 5 November 2024

Reza Indragiri Yakini Kasus Guru Supriyani Merupakan Kriminalisasi Aparat

Ikuti Riaunews.com di Google Berita
 
Pakar psikologi forensik, Reza Indragiri

Jakarta (Riaunews.com) – Kasus yang menimpa Supriyani (38) guru honorer di Konawe, Sulawesi Tenggara (Sultra) diduga merupakan kriminalisasi.

Dugaan itu diungkap oleh pakar psikologi forensik, Reza Indragiri.

Pakar yang kerap bersuara dalam kasus-kasus kontroversial itu bahkan membeberkan bukti atau indikasi bahwa kasus guru Supriyani adalah kriminalisasi.

Ia bahkan menyebut kriminalisasi itu sudah over dosis atau berlebihan.

Baca Juga: Guru Supriyani Mulai Diteror, Mobil Dinas Camat yang Ditumpanginya Ditembak OTK

Seperti diketahui, guru honorer itu dipidana karena dituding telah menganiaya murid kelas 1 Sekolah Dasar (SD), yang seorang anak polisi.

Reza menilai, kasus guru Supriyani telah dikriminalisasi secara berlebihan.

“Saya harus akui, saya dirisaukan oleh kesan kasus ini sudah menjadi semacam hyper criminalization, kriminalisasi yang overdosis,” kata Reza, dikutip dari YouTube Nusantara TV, Senin (28/10/2024).

Ia menganggap, penahanan yang dilakukan terhadap Supriyani merupakan bentuk perlakuan yang melebihi takaran dan tidak sepatutnya dikenakan terhadap guru honorer itu.

“Ternyata apa yang saya anggap sebagai hyper criminalization antara lain terbukti. Terwujud dalam penanganan tersebut ternyata segedang sepenarian dengan penetapan hakim kemarin,” ungkapnya.

Maksud dari penetapan hakim itu yakni terkait dikabulkannya penangguhan penahanan terhadap Supriyani.

Hal ini menunjukkan, kata Reza, penahanan sesungguhnya tidak perlu dilakukan terhadap Supriyani.

Lebih lanjut, Reza menjelaskan, hyper criminalitation ini berangkat dari kecenderungan otoritas penegakan hukum yang melihat berbagai macam situasi dari kacamata pidana.

Baca Juga: Dua Alasan Guru Supriyani Tolak Restorative Justice, Salah Satunya Harus Diminta Mundur Jadi Guru

“Jadi mudah sekali untuk mengatakan, ‘oh ini pelanggaran hukum, ‘oh ini kejahatan’, ‘oh ini pelaku kejahatan’ dan seterusnya,” terang Reza.

“Terlalu mudah menggunakan kacamata pidana,” imbuhnya.

Padahal, menurut dia, untuk kasus-kasus yang efek pidananya relatif minor, tidak perlu menempuh langkah litigasi.

Litigasi adalah proses penyelesaian perkara melalui pengadilan. Mulai dari penyelidikan, penyidikan, penuntutan, hingga persidangan.

“Apalagi nanti pada penghukuman, masuk dalam lembaga pemasyarakatan, tidak harus seperti itu,” paparnya.

Reza menjelaskan, ada langkah ‘elegan’ yang bisa digunakan untuk menyelesaikan kasus guru Supriyani.

Yakni dengan restorative justice, sebuah upaya penyelesaian hukum dengan cara kesepakatan bersama.

“Pandangan saya tentang pentingnya restorative justice ini juga segendang sepenarian dengan komitmen Kapolri, Jenderal Listyo Sigit.”

“Dalam komitmen ketujuh yang dia utarakan sesaat setelah dilantik sebagai Kapolri adalah betapa pentingnya personil Polri mengedepankan pendekatan restorative justice bukan litigasi,” urainya.

Reza menegaskan, apa yang ia utarakan ini tidak dimaksudkan sebagai pembenaran terhadap kekerasan.

Menurutnya, dalam Undang-undang Perlindungan Anak sudah dijelaskan, kekerasan baik itu fisik, psikis, maupun seksual adalah pidana.

“Jadi tidak ada ruang pembenaran bagi kekerasan. Namun, apakah pada kasus ini telah terjadi atau justru tidak terjadi kekerasan, itu saya tidak tahu.”

Baca Juga: Jaksa Dakwa Guru Supriyani Memukul Anak Polisi dengan Gagang Sapu

“Dan sepenuhnya itu saya serahkan kepada otoritas penegakkan hukum yang faktanya proses hukumnya sudah berjalan,” tandasnya.

Sebagai informasi, kedua kasus guru Supriyani terus berlanjutdigelar di Pengadilan Negeri (PN) Andoolo, Konawe Selatan.

Penasihat hukum Supriyani, Andri Darmawan mengatakan, kasus Supriyani ini direkayasa.

Menurutnya, kasus ini memiliki konflik kepentingan antara pelapor dan penyidik, di mana mereka satu kantor.

“Kemudian ada paksaan kepada Ibu Supriyani untuk mengaku padahal dia tidak melakukan.”

“Ada permintaan Rp50 juta. Jadi itu semua pelanggaran prosedur,” katanya, dilansir TribunnewsSultra.com.

Andri juga menyebut dalam kasus ini, penyidik hanya mengacu pada tiga keterangan anak.

“Yang diketahui dalam KUHAP keterangan anak itu tidak bisa dikategorikan sebagai keterangan saksi.”

“Kalaupun ia menjadikan bukti petunjuk penyidik tidak bisa menjadikan bukti petunjuk tapi hakim, karena itu kewenangan hakim,” tandasnya.

Andri juga mengkritisi terkait bukti petunjuk yang menurutnya tidak berkesesuaian dengan saksi-saksi yang diperiksa.

Termasuk saksi guru bernama Lilis.

“Ibu Lilis ini saksi dewasa, pasti disumpah. Itu sudah diperiksa bahwa tidak ada itu (penganiayaan),” terangnya.

Andri juga menyoroti luka yang dialami korban dari pukulan dianggap tidak sinkron dengan hasil visum.

“Pukulan satu kali tapi menimbulkan beberapa banyak luka. Ada di situ kaya melepuh luka paha dalam,” tegasnya.***

 

Satu komentar

  1. Kapan polisi kita menjadi cerdas ya…. kok ga ada peribahan sama sekali, masyarakat sdh cerdas dan fsham karakter mereka dalam menangani kasus… mereka harusnya berhadapan dgn kriminalitas besar, begal , narkoba.. kenapa guru yg lemah dan kere di seret seret sperti ktiminalitas lainnya…. dan issue penanganan dgn duit untuk masalah yg blum tentu salah juga mereka gunakan… parahhh sangst sangat menyakiti hati kami para orang tua yg ansk2 ksmi mreka didik… tdk berperasaan sama sekali termasuk pimpinannya….

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *