Jakarta (Riaunews.com) – Selepas peristiwa bom bunuh diri di Gereja ketedral Makassar, masyarakat kembali di gemparkan aksi teror di Mabes Polri pada Rabu (31/3/2021). Lantas hal tersebut menyita banyak perhatian berbagai kalangan, termasuk pengamat politik Rocky Gerung.
Bagi Gerung, dia mengaku sudah tidak kaget lagi soal insiden teror tersebut, sebab dia sudah menduga sebelumnya jika peristiwa seperti ini akan terjadi.
“Kalau saya sih tidak kaget. Karena dari sebulan lalu antisipasi itu justru sudah dibuat oleh istana,” kata Rocky Gerung dikutip Kamis (1/4/2021).
“Mahfud ngomong, Moeldoko ngomong, Polisi ngomong segala macam. Jadi rentetan itu sebetulnya sudah terbaca bahwa nanti akan ada peristiwa seperti tadi siang itu,” tambah Rocky.
Selanjutnya Gerung juga menganalisa, masyarakat mempercayai, peristiwa tersebut merupakan rekayasa pemerintah semata. Hal tersebut terlihat dengan adanya kejanggalan, dimana diketahui seseorang yang berhasil lolos dari lapisan keamanan Mabes Polri.
“Seolah nggak percaya bahwa ada seseorang anak muda disitu, berjalan sendirian, kemudian bisa lolos dari lapisan pengamanan Mabes Polri,” imbunya.
“Menurut saya itu yang membuat teka-teki pada masyarakat, ini benar nggak ya aksi teror di Mabes Polri,” tambahnya.
Dari kejanggalan tersebut, Rocky menilai peristiwa itu merupakan rekayasa dengan skenario yang dipaksakan. Ia yakin ini akan berdampak buruk terhadap upaya mengatasi terorisme.
“Orang-orang menganggap bahwa ini adalah semacam skenario yang dipaksakan,” kata Rocky.
Di samping itu, jika kejadian tersebut benar-benar dilakukan oleh teroris tanpa campur tangan pemerintah, juga akan menimbulkan dampak yang fatal, baik itu dari masyarakat dalam negeri, mapun dari luar negeri.
Rocky juga menilai seharusnya aksi teror yang baru terjadi ini merupakan aksi individual, tetapi anehnya justru dikaitkan dengan insiden-insiden sebelumnya. Kemudian beredar juga kabar, dalam aksi teror tersebut diduga terdapat obsesi pemerintah, yang mengaitkan FPI dengan terorisme di Indonesia.
Rocky juga menyayangkan beberapa media justru membuat keadaan semakin kacau. Dengan menyebutkan dan memberitakan, dalam peristiwa tersebut terjadi tembak-menembak antara pelaku dan polisi.
“Dari video yang saya tonton, disitu tidak terjadi tembak-menembak, yang ada hanya perempuan yang sedang mengacungkan senjata dan kemudian ditembak oleh polisi,” kata Rocky.
Oleh karena itu Rocky menilai kepekaan pers terhadap realita yang terjadi mulai hilang. Penyebabnya adalah selalu digaungkan narasi yang tidak sesuai oleh para buzzer pemerintah.
“Media akhirnya terkena perangkap buzzer, karena sudah terhegemoni bahwa kalau ada seseorang berjalan, itu artinya dia teroris, dia bawa senjata, dia akan tembak, akhirnya dibalas tembak-menembak,” kata Rocky.
“Jadi kalimat tembak menembak itu sudah ada di kepala bahkan jurnalis pers, pers mainstream lagi. jadi kepekaan pers juga untuk kembali sense of reality juga hilang, karena narasi itu (tidak sesuai kenyataan) selalu digaungkan,” tandasnya.***