Jakarta (Riaunews.com) – Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) Yusril Ihza Mahendra menuturkan partainya kemungkinan akan menggugat sistem pemilu proporsional terbuka. Dalam waktu dekat, PBB akan menggugat ke Mahkamah Konstitusi (MK).
“Iya, jadi kemungkinan besar PBB akan maju sebagai pihak terkait ke MK (Mahkamah Konstitusi), dalam waktu dekat ini, mungkin juga besok. Akan bersurat ke MK,” ujar Yusril kepada wartawan usai Rakor PBB di Jakarta Utara, Rabu (11/1/2023).
Yusril menuturkan gugatan pemilu proporsional terbuka sebelumnya, hanya diajukan oleh perseorangan ke Mahkamah Konstitusi. Hal itu, kata Yusril, berkemungkinan di tolak sebab tak memiliki legal standing.
“Karena ada kekhawatiran kami yang mengajukan permohonan ke MK itu kan orang perseorangan, ada 6 orang. Pileg itu kan diikuti oleh partai politik, kalau orang perorangan menguji Undang-Undang, bisa-bisa dianggap dia tidak punya legal standing,” kata dia.
Yusril menegaskan, bila permohonan yang telah diajukan ke MK ditolak, partainya yang akan lakukan gugatan. “Karena itu kemungkinan andaikata pemohon yang 6 itu dianggap tidak punya legal standing oleh MK, maka PBB yang akan maju,” tegasnya.
Diketahui, Pemilu dengan sistem proporsional terbuka digugat sejumlah kader parpol ke Mahkamah Konstitusi (MK). Mereka meminta Pemilu 2024 menggunakan proporsional tertutup karena proporsional terbuka banyak cela dan celahnya.
“Pemohon selaku pengurus parpol, berlakunya norma pasal a quo berupa sistem proporsional berbasis suara terbanyak ini telah dibajak oleh caleg pragmatis yang hanya modal ‘populer dan menjual diri’ tanpa ikatan dengan ideologi dan struktur parpol,” kata pemohon dalam salinan permohonan yang dilansir website MK, Kamis (17/11/2022).
Pemohon itu adalah:
- Demas Brian Wicaksono (pengurus PDIP Cabang Probolinggo)
- Yuwono Pintadi (anggota Partai NasDem)
- Fahrurrozi (bacaleg 2024)
- Ibnu Rachman Jaya (warga Jagakarsa, Jaksel)
- Riyanto (warga Pekalongan)
- Nono Marijono (warga Depok)
“Tidak memiliki ikatan dengan ideologi dan struktur parpol, tidak memiliki pengalaman dalam mengelola organisasi parpol atau organisasi berbasis sosial politik,” tambah alasan pemohon menguraikan kekurangan proporsional terbuka.
Akibat sistem proporsional terbuka, saat menjadi anggota DPR/DPRD seolah-olah mewakili organisasi parpol. Namun aslinya mewakili dirinya sendiri.
“Oleh karena itu, seharusnya ada otoritas kepartaian yang menentukan siapa saja yang layak menjadi wakil partai di parlemen setelah mengikuti pendidikan politik, kaderisasi dan pembinaan ideologi partai,” ucapnya.
Alasan lainnya, proporsional terbuka melahirkan liberalisme politik atau persaingan bebas. Yakni menempatkan kemenangan individual yang total dalam pemilu.
“Padahal seharusnya kompetisi terjadi antar parpol di arena pemilu sebab peserta pemilu adalah parpol, bukan individu sebagaimana dinyatakan dalam ketentuan Pasal 22E ayat 3 UUD 1945,” bebernya.***