
Jakarta (Riaunews.com) – Semua gugatan yang dilayangkan masyarakat terhadap UU Nomor 6 tahun 2023 tentang Penetapan Perppu Nomor 2 tahun 2022 tentang Cipta Kerja atau UU Cipta Kerja, ditolak oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
“Mengadili, menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya,” ujar Hakim Ketua Anwar Usman saat membacakan setiap putusan di Gedung MK, Jakarta Pusat, Senin (2/10/2023).
Menurut majelis hakim, penolakan terhadap lima gugatan yang masuk tersebut karena dalil para pemohon tidak beralasan menurut hukum.
MK juga menyetujui argumen pemerintah yang disampaikan dalam persidangan ihwal Perppu Cipta Kerja tersebut disahkan secara mendesak.
Sebagaimana diketahui salah satu alasan Perppu dibuat adalah adanya keadaan genting dan mendesak.
Kegentingan yang dimaksud ini berkaitan dengan krisis global yang berpotensi berdampak signifikan terhadap perekonomian Indonesia akibat situasi geopolitik yang tidak menentu dikarenakan perang Rusia-Ukraina.
Juga ditambah situasi pascakrisis ekonomi yang terjadi karena adanya pandemi Covid-19.
Di sisi lain, polemik soal kegentingan yang memaksa, menurut hakim, sudah berakhir ketika DPR RI menyetujui penetapan Perppu Cipta Kerja menjadi undang-undang.
MK juga menilai soal tak adanya partisipasi bermakna publik dalam pembentukan undang-undang tak beralasan menurut hukum.
“Undang-undang Nomor 6 Tahun 2023 tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat. Dengan demikian, dalil-dalil permohonan para pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya,” ujar hakim Guntur Hamzah membacakan salah satu pertimbangan putusan.
Menurutnya, partisipasi publik yang bermakna tidak dapat dikenakan pada undang-undang yang sifatnya menetapkan Perppu, sebab Perppu membutuhkan waktu cepat untuk diundangkan karena kegentingan yang memaksa.
“Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, Mahkamah berpendapat, telah ternyata proses pembentukan UU Nomor 6 Tahun 2023 secara formil tidak bertentangan dengan UUD 1945,” tutur Guntur.
Adapun dalam sidang putusan yang dibacakan hari ini, MK secara berturut-turut membacakan perkara dengan Nomor 54/PUU-XXI/2023; 40/PUU-XXI/2023; 41/PUU-XXI/2023; 46/PUU-XXI/2023; dan 50/PUU-XXI/2023.
Dilansir Tribunnews, empat Hakim Konstitusi berpandangan berbeda atau dissenting opinion terhadap beberapa putusan gugatan tersebut.
Mereka ialah Wahiduddin Adams, Saldi Isra, Enny Nurbaningsih, dan Suhartono.
MK juga memutus menolak gugatan Omnibus Law UU Cipta Kerja yang dimohonkan 15 kelompok serikat pekerja lewat perkara nomor 54/PUU-XXI/2023.
Dalam perkara ini Pemohon mendalilkan bahwa Perppu 2/2022 sebagai cikal bakal lahirnya UU 6/2023 telah ditetapkan presiden dengan melanggar prinsip ihwal kegentingan memaksa dan putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 terkait meaningful participation.
Terhadap dalil ini, MK menyatakan bahwa Perppu yang merupakan dasar dari UU 6/2023, punya sifat kegentingan memaksa.
UU yang berangkat dari Perppu juga punya proses berbeda dengan UU biasa.
Penetapan Perppu menjadi UU lanjut MK, tidak relevan untuk melibatkan publik karena adanya situasi kegentingan. DPR kata MK telah merepresentasikan kehendak rakyat.
“Tidak relevan untuk melibatkan partisipasi masyarakat yang bermakna secara luas karena situasi kegentingan yang memaksa.
Persetujuan DPR RI dalam kerangka menjalankan fungsi pengawasan yang sejatinya merupakan representasi dari kehendak rakyat,” kata Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul membacakan pertimbangan hukum.***