Tel Aviv (Riaunews.com) – Tak hanya terhadap lawan, militer Israel (IDF) ternyata menerapkan cara-cara biadab pula terhadap kelompok sendiri, baik sesama IDF maupun warga Israel. Cara biadab itu adalah Protokol Hannibal.
Ini merupakan doktrin membunuh diri sendiri atau membunuh kelompok sendiri agar terhindar dari penculikan kelompok lawan, seperti Hamas, Saraya al Quds, kelompok Tepi Barat, dan Hizbullah Lebanon.
Mati bunuh diri atau dibunuh kawan sendiri lebih mulia dan lebih terhormat daripada jadi tawanan kelompok lawan untuk dijadikan alat tukar dengan tawanan kelompok perlawanan yang ditahan Israel. Begitulah narasi Protokol Hannibal.
Mantan Menteri Keamanan Israel Yoav Gallant mengakui bahwa pasukan pendudukan Israel diperintahkan untuk menerapkan Protokol Hannibal—protokol kontroversial yang melibatkan pembunuhan tawanan bersama dengan penculiknya—selama perang di Gaza.
Gallant juga mengkritik mantan Menteri Keamanan Kepolisian Itamar Ben-Gvir atas penyerbuan provokatifnya ke Masjid al-Aqsa, dengan menyatakan bahwa tindakan tersebut “memicu situasi.”
Militer Israel menghadapi gelombang pengunduran diri menyusul kegagalannya pada tanggal 7 Oktober. Channel 13 Israel menggambarkan situasi tersebut sebagai “gelombang kejut dalam militer.”
Kepala militer Israel, Letnan Jenderal Herzi Halevi, mengumumkan pengunduran dirinya pada tanggal 21 Januari, dengan alasan pertanggungjawaban atas “kegagalan” militer selama operasi tanggal 7 Oktober 2023 oleh Perlawanan Palestina.
Dalam surat pengunduran dirinya yang dipublikasikan oleh militer, Halevi menyatakan bahwa ia mengundurkan diri “karena pengakuan saya atas tanggung jawab atas kegagalan [militer] pada tanggal 7 Oktober.”
Sambil mengeklaim bahwa kepergiannya terjadi di tengah “keberhasilan signifikan” oleh militer, Halevi mengakui bahwa “tidak semua” tujuan perang telah terpenuhi.
Tak hanya di level perwira tinggi militer, sekelas menteri ekstremis Itamar Ben Gvir pun ikut mengundurkan diri. Dia menilai gencatan senjata adalah bukti keberhasilan Hamas. Dengan adanya gencatan senjata, maka upaya membalas serangan Hamas dalam Operasi Badai al Aqsa yang sudah berjalan sejak akhir Oktober 2023 hingga sekarang menjadi sia-sia. Sebabnya, Israel menjadi gagal membumihanguskan Hamas dan menganeksasi Gaza.
Selain itu, Mayor Jenderal Yaron Finkelman, komandan komando militer selatan “Israel” yang mengawasi Gaza, juga mengundurkan diri.
Dalam pidato yang disiarkan televisi pada malam pengunduran dirinya, Halevi menekankan bahwa militer Israel “harus memberikan jawaban atas kegagalan 7 Oktober dan belajar dari kesalahannya.”
Gallant dipecat
Perdana Menteri pendudukan Israel Benjamin Netanyahu memecat Menteri Keamanan saat itu Yoav Gallant pada bulan November, dengan alasan pelanggaran kepercayaan selama perang yang berkelanjutan di Gaza.
Dalam sebuah pernyataan, Netanyahu mencatat bahwa perselisihan strategis yang substansial telah muncul antara dirinya dan Gallant baru-baru ini. Bulan lalu, media Israel melaporkan bahwa Netanyahu berusaha memecat Gallant, dengan alasan “halangannya untuk memperluas serangan ke Lebanon.”
Netanyahu menekankan bahwa kepercayaan penuh adalah hal yang “penting” antara seorang PM dan seorang menteri keamanan selama perang, seraya menambahkan, “Sayangnya, kepercayaan ini telah terkikis , dan upaya untuk menjembatani kesenjangan tersebut telah gagal.”
Ia menegaskan bahwa perbedaan pendapat tersebut tidak hanya dipublikasikan dengan cara yang “tidak dapat diterima,” tetapi juga sampai ke pihak lawan “Israel”, yang telah “memperoleh keuntungan besar” dari masalah tersebut.***