Pekanbaru (Riaunews.com) – Adanya wabah virus corona ternyata juga berakibat ‘positif’ pada tingkat polusi udara dunia.
Kepanikan yang membuat sejumlah negara mengambil kebijakan lockdown guna mencegah penularan dan penyebaran yang meluas, rupanya memiliki efek positif besar pada emisi CO2.
Dilansir CNN Indonesia, Satelit ESA’s Sentinel-5P memperlihatkan konsentrasi nitrogen dioksida di Italia yang diproduksi oleh mobil dan pembangkit listrik mengalami penurunan drastis sejak tanggal 1 Januari hingga 12 Maret 2020.
“Saya kira ini akibat sebagian besar mobil diesel tidak berjalan,” kata Emanuele Massetti, seorang ahli ekonomi perubahan iklim di Georgia Tech University, melansir Global News.
“Saya berharap polusi turun lebih jauh karena konsentrasi partikel-partikel di atmosfer tersebar atau terserap. Dalam beberapa hari, mereka akan menikmati udara terbersih yang pernah ada di Italia utara,” ujarnya.
Sama dengan Italia, menurut pantauan NASA dan Badan Antariksa Eropa kualitas udara di China telah meningkat menjadi lebih baik secara signifikan sejak 1 Januari 2020.
Seperti halnya Italia, isolasi sosial dan lockdown kota-kota tertentu di China telah mengurangi lalu lintas mobil di jalan, yang berarti gas berbahaya yang dipancarkan oleh kendaraan, pembangkit listrik, dan fasilitas industri hampir berhenti total.
Scientific American mencatat bahwa peristiwa saat ini seperti saat resesi tahun 2008 di mana emisi karbon menurun karena penghematan.
Di sisi lain, pakar kebijakan iklim di University of California Christopher Jones mengatakan jejak karbon rumah tangga berpotensi naik, mengimbangi penurunan emisi global akibat isolasi selama pandemi.
Melansir Climate Change News, peneliti mengatakan pelambatan ekonomi China yang disebabkan oleh Covid-19 mampu mengendalikan polusi udara yang diperkirakan dapat membunuh lebih dari satu juta warga China dalam setahun.
Ilmuwan di Pusat Penelitian Iklim Internasional di Oslo (Cicero) mengatakan penurunan polusi udara yang diamati oleh satelit di China pada bulan Februari telah mengurangi angka kematian dini akibat polusi udara sekitar 50 ribu hingga 100 ribu.
Seorang peneliti senior di Cicero, Kristin Aunan memperkirakan bahwa 1,15 juta hingga 1,24 juta orang di China meninggal akibat polusi udara setiap tahun.
Para peneliti Cicero berfokus pada partikel halus atau PM2.5 yang digambarkan oleh WHO sebagai jenis polusi paling berbahaya berukuran 2,5 mikrometer di seluruh dunia.
Program Observasi Bumi Uni Eropa mengatakan pengukuran satelit menunjukkan bahwa tingkat polusi PM2.5 di Tiongkok pada Februari 2020 turun sekitar 20 hingga 30 persen dibandingkan dengan rata-rata untuk bulan yang sama pada 2017, 2018 dan 2019.
Dia memperingatkan bahwa angka-angka tersebut sangat tidak pasti dan bahwa dampaknya akan jauh lebih sedikit jika ekonomi China pulih dengan cepat, terutama jika Beijing berupaya merangsang ekonomi dengan membakar lebih banyak bahan bakar fosil.
NASA juga melaporkan bahwa penurunan polusi udara di China memang terkait dengan perlambatan ekonomi setelah wabah corona melanda China.***
Eksplorasi konten lain dari Riaunews
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.