Rabu, 18 Desember 2024

Celios: Sri Mulyani Hanya bermain Kata

Ikuti Riaunews.com di Google Berita
 
Menteri Keuangan Sri Mulyani.

Jakarta (Riaunews.com) – Center of Economic and Law Studies (Celios) mengkritik keras pernyataan jajaran anak buah Presiden Prabowo Subianto. UU Nomor 42 Tahun 2009 dijadikan landasan untuk membantah dalih pemerintah tersebut.

Celios menegaskan klaim pemerintah membebaskan PPN untuk bahan pokok sudah lama diatur dalam uu tersebut. Apa yang ditunjukkan di publik saat ini dianggap hanya manuver politik demi meredam kritik, kenyataannya tarif PPN tetap dinaikkan serta menyasar sebagian besar kebutuhan masyarakat menengah ke bawah.

“Kenaikan PPN menjadi 12 persen menambah pengeluaran kelompok miskin sebesar Rp101.880 per bulan, memperburuk kondisi ekonomi mereka,” kata Direktur Kebijakan Publik Celios Media Wahyudi Askar dalam rilis resminya.

Baca Juga: Cara Pemerintah Redam Jeritan Rakyat yang Terancam Pengeluaran Naik Akibat PPn 12 Persen

“Sementara itu, kelompok kelas menengah mengalami kenaikan pengeluaran sebesar Rp354.293 per bulan. Hal ini akan memperburuk fenomena penurunan kelas menengah menjadi kelas menengah rentan,” tegasnya.

Media menegaskan Sri Mulyani hanya bermain kata, seakan-akan pemerintah hadir mendukung kebijakan progresif dengan mengecualikan semua barang pokok dari pungutan pajak. Padahal, kebijakan semacam itu sudah ada sejak 2009 lalu.

Celios juga menekankan kenaikan pajak ini berdampak luas bagi banyak barang yang dikonsumsi masyarakat, termasuk peralatan elektronik dan suku cadang kendaraan bermotor. Di lain sisi, pemerintah malah memberikan insentif PPN DTP 3 persen untuk pembelian kendaraan hybrid.

Langkah tersebut menunjukkan kontradiksi sikap negara. Ini mempertegas bahwa Kabinet Merah Putih pro-orang kaya dengan memaksa kelas menengah membeli mobil hybrid di saat ekonomi melambat.

Peneliti Next Policy Dwi Raihan juga mewanti-wanti ancaman perlambatan ekonomi. Ia menegaskan ini terjadi karena pengecualian PPN bukanlah barang baru, sedangkan di sisi lain pemerintah memungut pajak dari konsumsi harian masyarakat.

Ia mencontohkan PPN 12 persen dikenakan untuk kebutuhan fesyen hingga jasa hiburan, di mana ini merupakan konsumsi warga Indonesia sehari-hari. Di saat yang sama, daya beli masyarakat mengalami pelemahan.

“Selain itu, dengan adanya kenaikan PPN juga berpotensi memicu inflasi lebih tinggi,” kata Dwi.

“Pada dasarnya, industri yang menggunakan bahan baku terkena PPN akan terdampak biaya dan pendapatannya. Meskipun pemerintah menerapkan PPN 12 persen secara selektif, nyatanya banyak bahan baku atau bahan setengah jadi yang terkena PPN,” bebernya.

Baca Juga: Pengamat Ekonomi Prediksi Dampak PPN 12 Persen Tahun Depan: Daya Beli Menurun Hingga PHK

Ia dengan tegas menyatakan bahwa aksi pemerintah ini menyasar kelas atas dan kelas menengah. Dwi mengakui bahwa kelas atas tak terlalu terpengaruh kenaikan PPN.

Akan tetapi, kelas menengah amat terdampak kebijakan ini. Ia mengatakan barang dan jasa yang dikonsumsi kelompok ini tetap dipungut PPN 12 persen yang berpotensi menggerus konsumsi, sedangkan di lain sisi pendapatan kaum menengah mandek.

“Memang insentif yang diberikan cukup banyak. Namun, masalah saat ini adalah daya beli yang sangat lemah,” ucapnya.

“Insentif tersebut hanya menetralisir kenaikan PPN 12 persen. Jika insentif tersebut tidak efektif, pemerintah perlu memikirkan ulang terkait insentif atau menunda penerapan PPN 12 persen tersebut,” tegas Dwi.***


Eksplorasi konten lain dari Riaunews

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

 

Tinggalkan Balasan