Jakarta (Riaunews.com) – Soekarno atau Bung Karno meyakini kaum pelacur adalah mata-mata terbaik di dunia. Selain itu, mereka juga memiliki kepatuhan dan kesetiaan yang tidak diragukan. Itu sebabnya pada saat mendirikan Partai Nasional Indonesia (PNI) di Bandung tahun 1927, Bung Karno merekrut sebanyak 670 orang pelacur.
“Pelacur adalah mata-mata yang paling baik di dunia. Dalam keanggotaan PNI (Partai Nasional Indonesia) di Bandung, terdapat 670 orang perempuan yang berprofesi demikian,” kata Bung Karno dalam buku Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, sebagaimana dilansir laman Okezone.com.
Melalui binaannya, Bung Karno membuktikan kehadiran ratusan pelacur di tubuh PNI menjadi kekuatan baru yang dahsyat. Bung Karno memberi tiga tugas utama kepada kaum pelacur yang telah menjadi aktivis PNI. Pertama, memata-matai anggota PNI yang berpotensi berkhianat.
Kedua, menyusup ke dalam penjara, sebab di penjara banyak berseliweran informasi yang penting. Karenanya ketika terjaring razia, para pelacur sengaja menolak membayar denda yang itu membuat mereka dipenjara.
Ketika 7 hari di dalam penjara, mereka menghimpun informasi penting sebanyak-banyaknya untuk kepentingan perjuangan. Dengan kemampuannya para pelacur berhasil mengorek informasi dari para sipir penjara. Tugas ketiga adalah melakukan semacam perang urat syaraf.
Mereka ditugasi menggoda polisi Belanda saat sang polisi sedang bersama istri. Yang dilakukan para pelacur adalah menyapa nama sang polisi sembari tersenyum genit. Targetnya adalah kemarahan dari sang istri dan pertengkaran rumah tangga, yang itu akan mengacaukan pikiran para polisi Belanda.
Para pelacur diketahui juga berkontribusi tidak kecil dalam urusan keuangan PNI. Mereka banyak menyumbang untuk pergerakan partai. Karenanya meski mendapat kecaman keras dari Ali Sastroamidjojo, Bung Karno tetap mempertahankan tenaga pelacur di tubuh PNI.
Dari berbagai sumber yang dihimpun, Bung Karno diketahui kembali memakai kekuatan pelacur saat penjajahan Jepang pada tahun 1942. Pada saat itu Bung Karno berada di Padang Sumatera Barat dan melihat banyak tentara Jepang yang memaksakan kehendak seksualnya kepada gadis-gadis pribumi.
Untuk mencegah hal itu Bung Karno mengusulkan mendatangkan pelacur ke Padang, Sumatera Barat yang sontak ditentang para ulama Minangkabau. Mereka menuding Bung Karno sama halnya memfasilitasi perzinahan yang itu bertentangan dengan adat dan ajaran Islam.
Bung Karno bergeming. Ia nekat mendatangkan ratusan pelacur ke Padang yang ditempatkan di daerah terpencil yang jauh dari pemukiman penduduk.
Terbukti, sejak berdirinya rumah bordil itu, kekerasan seksual tentara Jepang kepada gadis-gadis pribumi turun drastis. Seperti halnya Bung Karno. Pada masa revolusi mempertahankan kemerdekaan Indonesia, Mayjen Moestopo juga menggunakan pelacur sebagai pasukan perang.
Oleh Moestopo mereka dilatih disiplin dan ilmu militer. Salah satu instruktur yang ditunjuk Moestopo untuk mendidik para pelacur adalah Kolonel TB Simatupang.
Moestopo mengumpulkan para pelacur ke dalam unit Barisan Wanita Pelacur (BWP) yang bergerak bersama unit Barisan Maling (BM). Kedua unit itu disatukan di dalam pasukan Terate (Tentara Rahasia Tertinggi).
Tugas pertama pasukan ini adalah bergerak di Kebumen untuk menghambat pasukan Belanda pimpinan Jenderal Spoors yang bergerak ke ibukota Yogyakarta. Mereka juga melakukan tugas khusus, yakni menghembuskan isu bahwa Moestopo yang saat itu menyamar sebagai dukun, adalah titisan Pangeran Diponegoro.
Titisan Diponegoro itu diisukan tengah membalas dendam kepada Belanda. Walhasil, para pejuang yang mempercayai klenik dan mistis, mendatangi Moestopo.
Moestopo kemudian membekali para pejuang dengan mantra dan jimat. Hal itu merupakan taktik Moestopo untuk menaikkan semangat tempur pejuang dalam menghadapi Belanda yang persenjataanya lebih unggul.
Para pelacur yang tergabung dalam BWP juga meneror para tentara Belanda dengan dandanan yang menakutkan, terutama saat melewati kawasan yang kesohor angker. Dianggap sukses, dari Kebumen Jawa Tengah, pasukan BWP kemudian dikirim ke Subang Jawa Barat. Moestopo menggunakan sedikitnya 2.000 bekas pelacur.
Mereka ditugasi menjadi mata-mata dan mencuri senjata tentara Belanda. Tidak hanya senjata. Mereka juga berhasil mencuri pakaian, teropong dan bahkan menurunkan bendera Belanda dari tiang.
Yang tidak kalah dahsyat, para pelacur ini juga memakai bakteri penyakit sifilis sebagai semacam senjata biologis. Banyak tentara Belanda yang kemudian mengidap penyakit menular seksual.
Akibatnya, terjadi evakuasi besar-besaran dari pos-pos militer Belanda yang itu mengurangi kekuatan personel tempur di garis depan. Pasca perang revolusi kemerdekaan banyak pasukan BWP yang berhenti menjadi pelacur. Tidak sedikit dari mereka yang kemudian menikah dengan kawan seperjuangan.
Dikutip dari koran Kedaulatan 3 Mei 1946, sedikitnya ada 3 pasangan dari pasukan Barisan Terate yang menikah. Prosesi pernikahan memakai pekik merdeka.
Pasca perang revolusi itu, tidak sedikit mantan pasukan BWP yang sebelumnya mendapat pelatihan drama dan film, terjun ke seni peran layar lebar. Salah satunya dilakukan Kotot Sukardi, mantan Komandan BWP sektor Yogyakarta yang banyak mengajak mantan anak buahnya terjun ke dunia film.***
Eksplorasi konten lain dari Riaunews
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.