Jakarta (Riaunews.com) – Peternak unggas rakyat menggugat Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo, Menteri Perdagangan M Lutfi, dan Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Gugatan dilayangkan karena pemerintah dianggap tak menjalankan konstitusi melindungi peternak rakyat.
Peternak rakyat Alvino Antonio, selaku penggugat, menjelaskan gugatan itu terdaftar dengan nomor 173/6/TF/2021/PTUN-JKT.
Gugatan ini merupakan kelanjutan dari tiga kali nota keberatan kepada Tergugat I Syahrul pada 15 Maret 2021, 29 Maret 2021, dan 20 April 2021, Tergugat II Luthfi pada 28 Mei 2021, dan Tergugat III Jokowi pada 18 Juni 2021.
Alvino menjelaskan pihaknya menuntut pemerintah membayar ganti rugi sebesar Rp5,4 triliun kepada seluruh peternak rakyat di Indonesia. Kerugian itu berasal dari harga sarana produksi peternakan yang tinggi dan harga jual yang cenderung murah pada 2019 dan 2020.
Menurutnya, harga jual seringkali berada di bawah harga terendah acuan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 7 Tahun 2020, yakni Rp19 ribu per kg.
Harga jual semakin jatuh di tengah pandemi covid-19. Berdasarkan catatan Alvino, harga live bird menyentuh Rp10 ribu.
Sementara, data Perhimpunan Insan Perunggasan Rakyat Indonesia (Pinsar) menunjukkan rata-rata harga jual live bird di level Rp14 ribu pada 20 Juli 2021.
“Hobi pemerintah memang sepertinya hanya lips service. Konstitusi tidak dijalankan. Kejadian ini terus berulang dan seolah-olah pemerintah membiarkan kami mati perlahan. Maka dari itu kami menuntut ganti rugi,” ungkap Alvino dalam keterangan resmi, Kamis (22/7).
Sementara, Kuasa Hukum Hermawanto menjelaskan Syahrul dan Luthfi tidak melakukan tindakan hukum sesuai kewajibannya dengan menstabilkan ketersediaan pasokan dan harga live bird, anak ayam (DOC), dan pakan.
Begitu juga dengan Jokowi yang dianggap membiarkan kedua anak buahnya tak menjalankan kewajibannya. Untuk itu, Jokowi juga masuk dalam daftar tergugat.
Hermawanto merinci beberapa tuntutan yang diajukan adalah kestabilan perunggasan yang berkaitan dengan suplai live bird, suplai pakan, suplai anak ayam, kestabilan harga live bird, harga pakan, dan harga anak ayam.
Lalu, pemerintah harus mengganti kerugian peternak mandiri selama 2019 dan 2020 yang sebesar Rp5,4 triliun.
Menurut Hermawanto, pemerintah selama ini seperti membiarkan nasib peternak rakyat semakin terpuruk dan tak pernah mengeluarkan terobosan yang berpihak atau melindungi peternak. Padahal, pemerintah punya kontrol terhadap perusahaan integrator besar yang memiliki usaha dari hulu sampai hilir.
“Fakta di lapangan semakin menurunnya jumlah peternak mandiri, lemahnya akses peternak terhadap sumber daya peternak, dan banyaknya usaha peternak rakyat yang bangkrut,” jelas Hermawanto.
Secara terpisah, Direktur jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan Oke Nurwan menyatakan pihaknya belum menerima gugatan terkait.
Namun Oke, permasalahan terkait harga jual live bird merupakan permasalahan yang sudah berlangsung alot. Ia menyebut para peternak rakyat membeli bibit (day old chicken/DOC) kemahalan dari pengusaha integrator di atas harga yang ditentukan Kemendag.
Sebenarny, kata Oke, pemerintah sudah menugaskan PT Berdikari (Persero) untuk mengimpor grand parent stock (GPS) agar dapat memasok DOC seharga Rp5.750. Sayangnya, kapasitas Berdikari tidak mencukupi kebutuhan peternak dan mereka juga tidak bisa mengambil dari Berdikari karena sudah terikat kontrak dengan pihak integrator.
Ia menyebut pemerintah tidak bisa mengintervensi kemitraan business to business (B2B) antara peternak dan pemasok. Namun, yang bisa dilakukan pemerintah adalah melakukan antisipasi lewat pemotongan afkir dini agar harga tidak jatuh.
“Upaya pemerintah sudah ada dengan memberi impor GPS kepada PT Berdikari, sekarang Berdikari memasok dengan harga DOC Rp5.750 dibandingkan mereka yang jual di atas Rp8.000,” katanya kepada CNNIndonesia.com, Kamis (22/7) malam.***
Eksplorasi konten lain dari Riaunews
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.