Pengamat nilai penggunaan influencer untuk sosialisasi kebijakan pemerintah tidak efektif


Jakarta (Riaunews.com) – Baru-baru ini, Indonesia Corruption Watch (ICW) mengkritisi tindakan pemerintah yang menggunakan dana sebesar Rp 90,45 miliar untuk meminta influencer melakukan sosialisasi terkait kebijakan-kebijakan yang dibuat pemerintah. Penggunaan influencer sebagai sarana untuk mempromosikan kebijakan pemerintah tersebut telah berlangsung sejak 2017.

Pengamat kebijakan publik, Trubus Rahadiansyah mengatakan bahwa keputusan pemerintah untuk menggunakan influencer dalam melakukan sosialisasi kebijakan publik menunjukkan bahwa pemerintah lemah dalam perencanaan. Ia juga merasa hal tersebut tidak efektif karena influencer tidak memiliki kapasitas yang cukup untuk mensosialisasikan kebijakan pemerintah.

Baca: Miliaran dikucurkan membiayai buzzer, KSP: Untuk menyampaikan kebenaran, why not?

“Influencer banyak yang tidak memahami kebijakan itu sendiri, jadi banyak yang tidak memahami kemudian malah informasinya menyesatkan dan tentunya pemborosan anggaran. Tidak efektif juga untuk menginformasikan atau melakukan sosialisasi terkait kebijakan-kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah. Itu masalahnya,” ujar Trubus saat diwawancarai pada Jumat (21/8/2020).

Jika dilihat dari segi cost and benefit, Trubus mengatakan bahwa penggunaan influencer mengandung lebih banyak sisi kelemahan atau lebih banyak cost daripada benefit. Selain karena influencer kurang memahami kebijakan yang mereka sampaikan, Trubus juga berpendapat bahwa dalam prakteknya, akan sulit dilakukan pengawasan apakah kebijakan tersebut tersampaikan kepada masyarakat atau tidak. Sedangkan dari segi benefit, penggunaan influencer untuk sosialisasi kebijakan public hanya untuk menarik minat dan daya tarik masyarakat saja tapi masyarakat tidak benar-benar memahami kebijakan yang disampaikan.

“Kalau benefitnya penggunaan influencer itu menarik minat, daya tarik masyarakat. Kalau misalnya influencernya artis berartikan mendatangkan artis itukan maunya pemerintah itu menarik minat. Kemudian masyarakat nanti akan berbondong-bondong jadi memahami (kebijakan). Tapi (masyarakat) lupa bahwa apa yang disampaikan (kebijakan) itu, malah warga nanti jadi menonton artisnya. Melihat pakaiannya, penampilannya, seksinya, tampannya, (dan) bukan persoalan kebijakannya. Padahal yang seharusnya disampaikan kan kebijakannya,” ungkap dia.

Menurut Trubus penggunaan influencer, buzzer, dan artis untuk mensosialisasikan kebijakan pemerintah kurang tepat. Hal ini menyebabkan banyak informasi yang menjadi tidak jelas dan tidak komprehensif karena tidak disampaikan oleh pihak yang tepat. Dari pada menggunakan influencer, menurut Trubus akan lebih baik jika pemerintah melibatkan partisipasi publik dengan menggunakan pihak-pihak yang tepat untuk membahas seputar kebijakan publik.

Baca: Anggaran miliaran ketahuan mengalir ke buzzer, diduga untuk membully kelompok kritis

“Jadi kalau kebijakan, ini memang membutuhkan orang-orang yang punya kapasitas di situ, (misalnya) RT, RW, Lurah, kemudian tokoh-tokoh agama, tokoh-tokoh kemasyarakatan, kemudian akademisi, mahasiswa. Itu karena tentu akan lebih menguntungkan itu daripada menggunakan influencer-influencer artis,” tutur dia.

Trubus juga berpendapat bahwa penggunaan influencer untuk sosialisasi kebijakan seperti ‘bagi-bagi kue proyek’ karena membutuhkan anggaran yang besar. Ia mengatakan bahwa kemungkinan ada kepentingan-kepentingan personal dan lain sebagainya dalam sistem tersebut.

Menurutnya pemanfaatan sistem ini tidak optimal bagi masyarakatnya dan disebabkan oleh lemahnya pengawasan dan koordinasi yang berpotensi menyebabkan penyimpangan-penyimpangan. Kedepannya, jika sistem ini diaudit oleh lembaga yang berwenang seperti BPK, KPK, dan Kejaksaan Agung, maka akan ketahuan.

“Sebenarnya penggunaan seperti itu menurut saya lebih berpotensi banyak pelanggaran gitu. Jadi kenapa tetap terjadi sampai sekarang? Ya karena selama ini itu pemerintah melihat apa yang dilakukan itu dianggapnya sudah benar. Lemahnya di kita itu penegakan hukum, jadi karena lemahnya di penegakan hukum, pada akhirnya mereka-mereka ini secara leluasa terus menerus sampai memboroskan uang sampai segitu besar,” jelas dia.

Trubus juga mengatakan bahwa jika penegakan hukum berjalan sebagaimana seharusnya, maka penggunaan influencer ini tidak akan terjadi. Menurutnya hal ini terjadi karena tidak adanya monitoring dan evaluasi, sehingga akan menjadi masalah ketika tidak ada transparansi dan akuntabilitas pada kebijakan ini.

Baca: Menurut Ketua YLBHI Buzzer dan Influencer bersuara karena ada pesanan

Menurut Trubus sistem ini tidak transparan karena tidak ada penjelasan secara terbuka terkait siapa-siapa saja influencer yang digunakan oleh pemerintah untuk sosialisasi. Hal ini perlu diungkap karena uang yang digunakan untuk membayar influencer merupakan uang negara.

Selain itu, penting juga untuk melakukan pengawasan yang ketat dari pihak aparat hukum dan kementerian yang berwenang dalam hal ini (Kemenkominfo) agar tidak terjadi pelanggaran atau ketahuan jika memang ada pelanggaran.

“Monitoring dan evaluasi juga diperlukan dalam hal ini dan kedepannya penggunaan influencer untuk sosialisasi kebijakan tidak perlu diadakan lagi dan distop saja,” kata dia.***

 

Sumber: Merdeka
Editor: Ilva

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *