Oleh. drh. Lailatus Sa’diyah
Akhir-akhir ini PT. Pertamina memang sedang “naik” kinerjanya. Setelah pada 25 Desember 2021 lalu menaikkan gas non subsidi, disusul tanggal 12 Februari 2022 menaikkan tiga jenis Bahan Bakar Minyak. Kemudian pada tanggal 27 Februari 2022, PT. Pertamina kembali menaikkan gas LPG non subsidi.
Mengikuti Harga Pasar Dunia
Harga LPG non subsidi resmi naik pada Minggu (27/2/2022) lalu. Pertamina menyebutkan, penyesuaian ini dilakukan mengikuti perkembangan terkini dari industri minyak dan gas (Tribunbisnis, 01/03/2022). Dari harga yang tercatat Contract Price Aramco (CPA) mencapai 775 dollar AS/metrik ton, naik sekitar 21 persen dari harga rata-rata CPA sepanjang tahun 2021. Bedasarkan penyesuaian ini, harga LPG nonsubsidi menjadi Rp. 15.500,- per kg. Sedangkan LPG subsidi tidak mengalami kenaikan.
Pjs. Corporate Secretary PT Pertamina Patra Niaga, SH C&T PT Pertamina Irto Ginting, Irto telah memastikan, penyesuaian harga ini sudah mempertimbangkan kondisi serta kemampuan pasar LPG non subsidi katena yang memakai LPG jenis ini adalah dari golongan masyarakat kelas menengah ke atas dan industri. Benarkah demikian?
Menambah Derita Rakyat
Pertamina mengklaim bahwa pengguna LPG nonsubsidi hanya 7 persen dari pengguna LPG nasional. Yaitu digunakan oleh keluarga menengah ke atas dan industri. Adapun LPG yang harganya naik seperti Bright Gas dengan ukuran 5,5 kilogram dan 12 kilogram. Harga di tingkat agen Rp.189.000,-. Namun faktanya di lapangan yang ukuran 12 kg, konsumen mendapatkan harga mencapai Rp. 220.000,-. Jauh lebih mahal dari yang ditetapkan pemerintah.
Namun faktanya, kenaikkan harga LPG nonsubsidi banyak dikeluhkan pedagang kecil. Salah satunya oleh Pak Atak pemilik warung di salah satu pasar Kecamatan Manggar Belitung Timur. Beliau menyampaikan kenaikan harga LPG nonsubdisi mencapai Rp. 30.000,- dan dalam sebulan Pak Atak membutuhkan 4 tabung. Jadi Beliau merasakan sangat berat dengan adanya kenaikkan ini. Fakta di lapangan tidak sedikit pedagang kecil yang mengeluhkan hal tersebut. Akibatnya tidak ada pilihan lain bagi pedagang untuk menaikkan harga dagangan hasil olahan warung mereka. Lagi-lagi adanya efek domino dari kebijakan pemerintah yang dirasakan oleh masyarakat luas.
Di sisi lain, Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi mengkhawatirkan kenaikkan harga LPG nonsubsidi oleh Pertamina memiliki potensi mendorong banyak konsumen untuk beralih menggunakan LPG subsidi, yakni LPG gas melon. Dampak lainnya, kenaikan harga LPG non subsidi oleh Pertamina juga berpotensi mendorong praktik pengoplosan dan bisa menimbulkan risiko keamanan.
Inilah deret panjang dampak kenaikan harga LPG nonsubsidi yang notabene kembali masyarakat secara umum yang harus menangggung. Ini merupakan realitas kebijakan rezim yang tidak berpihak kepada rakyat.
Liberalisasi Pangkal Persoalan
Kian naiknya harga berbagai komoditas di negeri ini tidak terlepas dari posisi Indonesia sebagai bagian dari perjanjian dagang Internasional. Jadi mengenai naiknya harga yang mengikuti harga pasar Internasional, itu sudah menjadi konsekuensi yang tak terelakkan. Perjanjian inilah yang menjadikan Indonesia layaknya macan tak bertaring sehingga tidak memiliki independensi dalam menentukan arah kebijakannya.
Di sisi lain, UU yang diterapkan di Indonesia merupakan produk UU turunan untuk memuluskan cengkraman asing. Kian meningkatnya peran asing dalam industri migas di Indonesia tidak terlepas dari pemberlakuan UU No. 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi yang menjadi dasar privatisasi dan liberalisasi di tingkat hulu dan hilir industri migas di Indonesia. Keran liberalisasi dibuka lebar-lebar, swasta hingga asing diberi kesempatan menguasai, akibatnya rakyat hanya bisa gigit jari.
Dampak dari penerapan kebijakan ini, menjadikan negara kehilangan kendali serta independensi untuk menjamin keamanan pasokan bahan bakar minyak dan bahan bakar gas. Perpindahan otoritas penguasaan migas dari Pertamina juga berdampak pada ketidakmampuan Indonesia memproduksi dan mengontrol cadangan minyak mentah. Hal ini berdampak pada ketidakmampuan Indonesia dalam menentukan volume ekspor pada skala dunia.
Negara yang seharusnya menjadi penjamin kebutuhan masyarakat, menjaga harta masyarakat, dan mengelolanya dengan baik, justru menghalalkan korporasi menguasai harta rakyat. Sejatinya penerapan Kapitalisme atas rezim ini, telah mencederai kedaulatan bangsa. Akibatnya kesejahteraan rakyat tersisih, kepentingan korporasi merajai urgensi.
Solusi Islam
Rakyat sejahtera dalam Kapitalisme hanyalah akan menjadi mimpi. Faktanya, tidak ada satu pun permasalahan di negeri ini yang terselesaikan dengan tuntas atas penerapan Kapitalisme. Saatnya kita beralih pada sistem yang mampu menyelesaikan seluruh problematika secara mendasar. Sistem yang memiliki pandangan yang khas mengenai pengaturan kehidupan manusia. Aturan yang lahir dari-Nya bukanlah buatan manusia, namun dari pemilik kehidupan ini Allah ta’ala.
Pemerintahan Islam dibawah naungan Khilafah akan menjadikan kesejahteraan rakyat sebagai hal uang utama untuk diwujudkan. Aturan islam melarang adanya privatisasi sumberdaya alam karena itu adakah hak rakyat yang harus dikelola oleh negara dengan baik dan dikembalikan manfaatnya seoptimal mungkin untuk rakyat. Sebagaimana apa yang keluar dari lisan Rasullullah dalam hadis riwayat Abu Dawud dan Ahmad : “Kaum muslim berserikat pada tiga perkara, yaitu air, padang rumput, dan api”. Maka haram hukumnya bagi siapapun yang hendak menguasai secara pribadi.
Siapapun yang menjadi Khalifah nantinya, adalah orang yang menyadari bahwa kepemimpinannya akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah. Maka sebaik mungkin Khalifah akan memenuhi tugasnya sebagai pengurus urusan umat. Tidak akan lahir kebijakan yang justru menyengsarakan rakyat. Karena Khalifah tahu ada ancaman berat yang harus dia tanggung.
Ancaman ini tertuang dalam doa Rasullullah saw yang diriwayatkan oleh Imam Muslim. Sebagaimana doa Rasulullah : “Ya Allah, siapa yang mengemban tugas mengurusi umatku kemudian dia menyusahkan mereka, maka susahkanlah dia. Siapa yang mengemban tugas mengurusi umatku dan memudahkan mereka, maka mudahkanlah dia.”
Semoga ini juga menjadi peringatan untuk pemimpin kita saat ini. Agar mau mengambil ideologi Islam dan diterapkan pada tataran kehidupan bernegara. Inilah yang harus kita perjuangakan. Menolak kebatilan penerapan Kapitalisme dan menggantinya dengan sistem Islam yaitu Khilafah Rashidah. Wallahu’alam bishowab.***
Penulis seorang pegiat literasi asal Nganjuk
Eksplorasi konten lain dari Riaunews
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.