Oleh: Salamuddin Daeng
PADA awal reformasi 98, hampir tidak ada tuntutan untuk melakukan amandemen UUD 1945, paling tidak dalam organisasi gerakan mahasiswa yang kami ikuti dan dinamika diskusi dan aksi-aksi gerakan pro demokrasi saat itu.
Gerakan terfokus pada mengakhiri pemerintahan yang otoritarian yang memanfaatkan Dwi Fungsi ABRI dalam menopang kekuasan. Seputar itulah kira-kira tuntutan gerakan pro demokrasi saat itu.
Issue amandemen UUD 1945 tiba-tiba muncul dari sekelompok orang kami sebut sebagai “penumpang gelap” yang mengambil alih gerakan dan membawa issue perubahan menyeluruh terhadap UUD 1945. Mereka bergerak dengan sangat cepat dan efektif di tengah krisis moneter dan dinamika politik yang terus berkecamuk dalam masa transisi.
Kemelut dalam dinamika politik dalam pergantian kekuasaan dari Presiden Habibie (1998-1999), digantikan oleh Presiden Gusdur (1999-2001), kemudian Presiden Megawati (23 Juli 2001 sampai 20 Oktober 2004), telah dimanfaatkan dan memang dirancang dari awal oleh kekuatan internasional dalam menjalankan semacam false flag sebagai strategi menyamarkan usaha dalam menghancurkan konstitusi sebuah Negara.
Definisi kira-kira begini: A false flag is a covert operation designed to deceive; the deception creates the appearance of a particular party, group, or nation being responsible for some activity, disguising the actual source of responsibility.
Istilah “bendera palsu” awalnya mengacu pada kapal bajak laut yang mengibarkan bendera negara sebagai penyamaran untuk mencegah korbannya melarikan diri atau bersiap untuk pertempuran. Terkadang bendera akan tetap ada dan disalahkan atas serangan yang salah di negara lain.
Ini adalah sebuah tindakan menyamarkan penghancuran konstitusi indonesia dengan menggunakan peta pertarungan politik melawan pemerintahan berkuasa.
Maka dimulailah amandemen pertama (I) yang berlangsung pada 19 Oktober 1999 melalui Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat (14-21 Oktober 1999).
Amandemen UUD 1945 yang pertama ini sama sekali lepas dari perhatian publk yang saat itu terfokus pada pemilihan presiden yang kemudian MPR memilh Abdurrahman Wahid sebagai Presiden menggantikan Habibie (Pada 20 Oktober 1999). Apa yang menjadi landasan dan tujuan amandemen mungkin hanya diketahui oleh segelintir elite yang beroperasi di MPR saat itu.
Kilas Balik Reformasi 98
Banyak anggapan bahwa reformasi adalah hasil dari gerakan mahasiswa 98. Anggapan itu memang tidak salah, namun tidak sepenuhnya benar. Reformasi adalah big bang (aksi palsu, perubahan palsu) dalam perubahan politik ekonomi Indonesia.
Reformasi tidak hanya menggantikan pemerintahan Soeharto namun juga perubahan UUD kemerdekaan 17 Agustus 1945. Perubahan yang terjadi terutama perubahan konstitsi Negara sama sekali di luar jangkauan gerakan 98.
Rezim internasional melalui agen agennya di Indonesia telah lama bekerja dalam rangka melakukan reformasi konstitusi Indonesia, agar sepenuhnya sejalan dengan kepentingan mereka. Hal ini dikarenakan Pancasila dan UUD 1945 adalah dasar dan konstitusi Negara yang lahir dari semangat untuk membebaskan bangsa dan Negara Indonesia dari imperialism dan kolonialisme.
Dasar dan konstitusi Negara Indonesia semata mata dibuat untuk mewujudkan Indonesia merdeka.
Lebih jauh lagi dasar Negara dan konstitusi Negara Indonesia hendak mewujudkan perdamaian abadi dan keadilan sosial bagi seluruh umat manusia.
Dasar Negara dan konstitusi Negara Indonesia memiliki cita-cita untuk mengakiri neo kolonialisme dan imperialism sebagaimana yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945, sehingga memiliki semangat dan daya dorong yang sangat kuat untuk mengakhiri segala bentuk penjajahan di atas dunia. Sebagaimana yang tertuang dalam Alinea Pertama Pembukaan UUD 1945.
Hal itulah yang menyebabkan rezim internasional melalui agen agen mereka mulai dari Pemerintahan Negara Negara maju, lembaga keuangan internasional seperti World Bank (WB), Asian Developmen Bank (ADB), Internasional Monetary Fund (IMF), secara terus-menerus bekerja dalam melalukan reformasi konstitusi Indonesia.
Melalui National Democratic Institute for International Affairs (NDI) sebuah lembaga internasional yang didanai World Bank Institute (WBI) yang merupakan bagian dari Kelompok Bank Dunia, telah meningkatkan daya operasi mereka untuk melakukan perubahan konstitusi dan berbagai peraturan perundang-undangan di Indonesia.
Mereka membutuhkan suatu perubahan yang besar dan mendasar agar seluruh konstitusi dan kebijakan Indonesia sejalan dan tunduk sepenuhnya pada rezim internasional.
Mereka merancang momentum perubahan, menciptakan krisis ekonomi, menciptakan darurat politik, yang kesemuanya menjadi pintu masuk dengan gelaran karpet merah untuk perubahan mendasar baik sistem politik, ekonomi maupun sosial budaya agar sejalan dengan kepentingan elite keuangan global.
Lembaga ini telah bekerja di Indonesia sejak tahun 1996, mendukung berbagai organisasi di Indonesia. Jadi mereka telah memiliki roadmap jauh jauh hari sebelum Soeharto jatuh).
NDI juga telah bekerja dengan partai politik dan organisasi pemantauan pemilu lebih intensif sejak transisi demokrasi dimulai pada tahun 1998. NDI adalah organisasi yang mengambil peran paling penting dalam amandemen UUD 1945.
Selain itu, Internastional Monetary Fund (IMF) mengucurkan dana lebih dari USD 51,2 miliar dalam proyek krisis moneter (1997-2002). Krisis yang diciptakan oleh rezim internasional yang tujuan akhirnya adalah merampas uang, emas dan sumber daya ekonomi Indonesia dan sekaligus menyukseskan agenda agenda politik rezim Internasional.
Pada Juni 1999, sebuah alinasi dibangun untuk melakukan perubahan konstitusi melalui inisiatif kerja sama dari Bank Dunia, Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP) dan Bank Pembangunan Asia (ADB).
UNDP memberikan dukungan dana sejumlah 60,4 juta dolar AS dalam proyek reformasi politik terbesar yang pernah dibuat lembaga tersebut untuk sebuah negara.
Selanjutnya pemerintah Belanda untuk tahun 2000 mengalokasikan melalui program Bank Dunia sebesar 38 juta dolar AS, melalui aktivitas gabungan UNDP, Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia untuk tujuan reformasi sebesar 12,25 juta dolar AS dan dalam bentuk ODA (utang) Belanda kepada Indonesia juga melalui saluran multilateral untuk proyek reformasi sekitar 25 juta dolar AS. (sumber: Makalah Kebijakan Indonesia, 14 Juli 2000; Kantor Luar Negeri Belanda).
Jadi reformasi 98 yang mengasilkan penumbangan pemerintahan Soeharto, amandemen UUD 1945 dan perubahan berbagai UU adalah hasil kerja rezim internasional melalui permainan bendera palsu yakni kerusuhan, krisis ekonomi dan dan kemelut diantara kekuatan politik yang bertarung pada era transisi antara 1997-2004.
Operasi False Flag
Dalam dukumen NDI yang berjudul Perubahan Presiden Dan Prospek Indonesia Untuk Reformasi Konstitusi, sebuah laporan yang memotret Sidang Istimewa MPR Juli 2001 Juli dan Proses Impeachment Kepresidenan (pemecatan Abdurrahman Wahid sebagai Presiden).
Laporan Lembaga Demokrasi Nasional untuk Urusan Internasional (NDI), Oktober 2001 tersebut, menceritakan peranan Presiden Megawati dalam Membangun system Check and Balances Sistem.
Inilah awal perubahan mendasar dalam bentuk, susunan dan tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang kita kenal dengan amandemen UUD 1945.
Dalam sidang khusus Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada 23 Juli, memutuskan Pertama, menolak keabsahan perintah presiden dan semua faksi hadir setuju melanggar presiden melanggar konstitusi. Kedua, menolak presiden untuk tampil di hadapan MPR dan memilih untuk segera memecat presiden.
Ketiga, MPR segera menunjuk wakil presiden Megawati sebagai presiden untuk Gusdur untuk sisa masa jabatan 1999-2004.
Megawati Soekarnoputri disumpah sebagai presiden segera setelah jam 5 sore pada 23 Juli 2001. Membekukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) dan Dewan Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI). Mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat dan mengambil tindakan serta menyusun badan yang diperlukan untuk menyelenggarakan Pemilu dalam waktu satu tahun. Menyelamatkan gerakan reformasi total dari hambatan unsur-unsur orde baru dengan membekukan Partai Golkar sambil menunggu keputusan Mahkamah Agung.
Konflik antara kedua lembaga Negara ini berlangsung keras. Kedua lembaga ini yakni MPR dan Presiden sama-sama memiliki hak secara konstitusi untuk mengeluarkan keputusan. Di luar, masa pendukung Gusdur melakukan demonstrasi besar besaran menolak penjatuhan presiden.
Ini adalah suatu pencapaian besar hasil sebuah permainan besar. Berlakulah teori umum yang sering dimainkan untuk memicu perang di berbagai belakan dunia False Flag. Permainan Aksi-Reaksi-Solusi-konflik buatan telah menjadi pintu untuk masuk lebih jauh ke kandang lawan.
Kejadian ini telah menghasilkan prospek baru bagi amandemen UUD 1945, sehingga laporan NDI pun member judul Prospek untuk Reformasi Konstitusi. Pemakzulan presiden dan peristiwa-peristiwa terkait seperti demosntasi massa yang terjadi saat itu, telah mengubah lanskap konstitusional Indonesia dan mempengaruhi prospek reformasi konstitusional secara fundamental.
Bagaimana tidak? Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) pemegang 33 % suara hasil Pemilu 1999 adalah batu sandungan bagi amandemen UUD 1945. PDIP awalnya berada pada posisi menolak amandemen UUD 1945. Dukungan terhadap amandemen temasuk amandemen I sebagian besar berasal dari partai-partai lain di luar fraksi TNI Polri dan PDIP.
Namun segera setelah menjabat, Presiden Megawati mengumumkan dukungannya untuk peninjauan konstitusional menyeluruh. Pengumuman presiden baru dukungan untuk komisi konstitusional telah memberi energi perdebatan tentang proses perubahan konstitusional.
Dukungan? Siapa yang mengajukan proposal perubahan konstitsui ini? Tidak lain adalah pemain asing yang bekerja sama dengan agen-agen mereka di MPR, pemerintahan, dan kalangan LSM.
Maka lengkaplah dukungan terhadap amandemen UUD 1945. Seluruh kekuatan politik yakni seluruh fraksi di MPR (kecuali TNI/Polri? Abu-abu?) mendukung, pemerintahan juga telah mendukung secara penuh dan LSM setra media massa yang ada di luar juga memberikan dukungan.
Dana internasional untuk proyek reformasi konstitusi Indonesia mengalir dengan lancar.
Terjadilah ledakan perubahan konstitusi. Sistem Negara diubah checks and balances system (yang berpijak pada individualis-liberal-kapitalis), pemisahan kekuasaan, termasuk peran dan komposisi MPR, pemilihan langsung presiden dan wakil presiden, dan untuk pembentukan legislatif bikameral (dengan majelis kedua terdiri dari perwakilan daerah), pembentukan komisi konstitusi dan beberapa bentuk peninjauan hukum (Mahkamah Konstitusi).
Kemelut dalam penjatuhan Presiden Gusdur telah menyutik trauma kepada kekuatan politik untuk ke depan mengakhiri superioritas konstitusional MPR dalam sistem politik Indonesia. Namun untuk sementara MPR dipertahankan untuk menguji konsistensi presiden baru dalam melanjutkan agenda Amandemen UUD 1945 dan perubahan regulasi yang penting lainnya.
Pada ujungnya nanti MPR harus diakhiri fungsinya sebagai pelaksana kedaualatan rakyat.***
Penulis adalah Peneliti Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI)
Eksplorasi konten lain dari Riaunews
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.