Jakarta (Riaunews.com) – Buronan terpidana kasus pengalihan hak tagih (cassie) Bank Bali, Djoko Sugiarto Tjandra yang diketahui selama ini tinggal di Papua Nugini dikabarkan bisa masuk Indonesia tanpa terdeteksi oleh petugas keimigrasian. Menkumham Yasonna Laoly menduga Djoko masuk lewat jalur tidak resmi atau jalur tikus sehingga tidak terdeteksi.
Hal ini menjadi sorotan karena sebelumnya buronan kasus dugaan suap kepada komisioner KPU Wahyu Setiawan, yakni Harun Masiku juga bisa masuk Indonesia tanpa teridentifikasi keimigrasian. Hingga saat ini, Harun Masiku dan Djoko Tjandra masih belum bisa ditemukan oleh aparat penegak hukum.
Menkumham Yasonna Laoly lantas jadi bulan-bulanan karena Ditjen Imigrasi berada di bawah kewenangannya. Komisi III DPR mempertanyakan mengapa Djoko Tjandra bisa tidak terdeteksi masuk Indonesia.
Baca: Yasonna: Pemerintah masih buka peluang bahas RUU HIP
“Ini kecolongan bagi kita semua,” kata Wakil Ketua Komisi III DPR Pangeran Khairul Saleh, Kamis (2/7/2020).
Ketua Komisi III DPR Herman Herry bahkan menganggap kedatangan Djoko Tjandra tanpa terdeteksi sebagai tamparan keras. Dia meminta pihak-pihak terkait untuk mengevaluasi kinerja.
“Hal ini, menurut saya, merupakan tamparan keras bagi wajah penegakan hukum kita. Coba bayangkan, selama lebih dari 1 dekade seorang Djoko Tjandra bisa mengelabui para penegak hukum kita yang sesungguhnya memiliki infrastruktur intelijen,” kata Herman.
Menanggapi komentar anggota dewan tersebut, Yasonna ngeles. Dia menduga Djoko masuk lewat jalur tidak resmi atau jalur tikus. Tidak lewat bandara atau pelabuhan resmi. Kedua, Djoko menggunakan nama alias, sehingga tidak menjadi perhatian petugas keimigrasian.
Dugaan itu diungkapkan karena Djoko Tjandra tidak ada dalam data perlintasan keimigrasian. Yasonna mengaku sudah meminta jajarannya untuk mengecek.
Baca: Yasonna tak hadiri rapat dengan Komisi II, Guspardi: Ini pelecehan terhadap DPR
“Kemungkinannya pasti ada kalau itu benar bahwa itu palsu atau tidak, kita tidak tahu. Melalui pintu-pintu yang sangat luas di negara apa namanya itu pintu tikus, jalan tikus,” kata Yasonna kepada wartawan di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (2/7).
Yasonna juga mengakui pihaknya belajar dari kegagalan menangkap Harun Masiku saat datang dari luar negeri. Usai mendapat kabar Djoko Tjandra masuk Indonesia, dia langsung memerintahkan semua jajaran keimigrasian untuk mengecek data perlintasan. Hasilnya, nihil.
“Melihat peristiwa sebelumnya Harun Masiku, saya langsung perintahkan untuk cek langsung, cek di server kita dan sekarang saya sudah minta melihat CCTV yang ada di perlintasan kita,” kata Yasonna.
Dia lalu menjelaskan bahwa Djoko Tjandra juga sudah tidak masuk di daftar nama dalam red notice Interpol sejak 2014. Seandainya Djoko Tjandra masuk Indonesia lewat jalur resmi, pihak keimigrasian tidak bisa menghalangi.
Diketahui, Kejaksaan Agung baru meminta agar nama Djoko Tjandra kembali dimasukkan ke dalam red notice per 27 Juni lalu.
“Seandainya ya, kalau dia masuk sambil bersiul, bisa saja karena dia tidak masuk red notice (pencekalan). Tapi ini hebatnya dia enggak ada,” ujar Yasonna.
Baca: Yasonna disebut langgar UU dengan mengangkat Perwira Polri jadi pejabat di Kemenkumham
Sebelumnya, Kepala Bagian Humas dan Umum Ditjen Imigrasi Arvin Gumilang mengatakan pencegahan bepergian ke luar negeri mulai dilakukan terhadap Djoko atas permintaan KPK. Berlaku mulai 24 April 2008 hingga 6 bulan ke depan.
Kemudian, red notice dari Interpol atas nama Joko Soegiarto Tjandra terbit pada 10 Juli 2009. Pada 29 Maret 2012 terdapat permintaan pencegahan ke luar negeri dari Kejaksaan Agung RI berlaku selama 6 bulan.
Pada 5 Mei 2020, terdapat pemberitahuan dari Sekretaris NCB Interpol bahwa ‘red notice’ atas nama Joko Soegiarto Tjandra telah terhapus dari sistem basis data terhitung sejak tahun 2014, karena tidak ada permintaan lagi dari Kejaksaan Agung RI.
Ditjen Imigrasi menindaklanjuti hal tersebut dengan menghapus nama Joko Soegiarto Tjandra dari sistem perlintasan pada 13 Mei 2020.
Pada 27 Juni 2020, terdapat permintaan DPO dari Kejaksaan Agung RI, sehingga nama yang bersangkutan dimasukkan dalam sistem perlintasan dengan status DPO.***