Kendari (Riaunews.com) – Pengadilan Negeri (PN) Andoolo, Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara (Sultra), menangguhkan penahanan Supriyani, guru honorer di salah satu Sekolah Dasar Negeri (SDN) di Kecamatan Baito, pada Selasa (22/10/2024).
Penangguhan tersebut dilakukan terkait dugaan kasus kekerasan fisik terhadap anak yang menimpa salah satu murid kelas 1 yang merupakan anak dari seorang anggota kepolisian, Aipda WH.
Penangguhan penahanan Supriyani tertuang dalam surat penetapan PN Andoolo Nomor: 110/Pen.Pid.Sus-Han/2024/PN Adl, yang ditandatangani oleh Ketua Majelis Hakim Stevie Rosano dan dua anggota hakim, Vivi Fatmawaty Ali serta Sigit Jati Kusumo.
Dilansir laman Sokoguru.id, surat tersebut juga disahkan oleh Panitera PN Andoolo, Muhammad Arfan, dengan cap dan stempel resmi.
Dalam surat penetapan, ada tiga syarat yang harus dipatuhi terdakwa, yaitu tidak melarikan diri, tidak menghilangkan barang bukti, serta wajib hadir dalam setiap persidangan.
Penangguhan ini juga mempertimbangkan permohonan yang diajukan oleh kuasa hukum Supriyani dari Lembaga Bantuan Hukum Himpunan Advokat Muda Indonesia (LBH HAMI) Konawe Selatan pada 21 Oktober 2024.
Hakim menilai bahwa Supriyani masih memiliki anak balita yang membutuhkan pengasuhan, dan sebagai guru, ia juga harus melaksanakan tugasnya di sekolah.
Oleh karena itu, hakim memandang cukup alasan untuk mengabulkan permohonan penangguhan penahanan berdasarkan Pasal 31 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
Kasus ini bermula dari laporan bahwa Supriyani dituduh menganiaya seorang murid yang nakal dengan menyebabkan luka gores di paha.
Penjelasan Pihak Sekolah
Namun, pihak sekolah menjelaskan bahwa kejadian tersebut hanyalah bentuk teguran, bukan kekerasan fisik.
Meski demikian, orang tua murid yang bekerja sebagai polisi tidak menerima penjelasan tersebut dan melaporkan kasus ini ke pihak berwajib.
Permintaan maaf dari pihak sekolah kepada orang tua murid ternyata tidak menyelesaikan masalah.
Malahan, Supriyani ditahan oleh pihak kepolisian setelah dipanggil untuk memberikan keterangan.
Guru honorer yang telah bertahun-tahun mengabdi ini harus mendekam di sel polisi selama beberapa malam, meskipun ia masih dalam proses pemberkasan sebagai Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (P3K).
Kasus ini menarik perhatian publik, terutama di Konawe Selatan, di mana masyarakat dan kelompok aktivis meluncurkan gerakan “Save Ibu Supriyani, S.Pd” untuk mendukung guru tersebut.
Mereka meminta doa dan bantuan dari masyarakat agar Supriyani dapat segera bebas dan melanjutkan tugasnya sebagai pengajar.
Sejumlah sumber mengatakan bahwa tindakan Supriyani hanya menjewer muridnya, yang dianggap masih dalam batas wajar.
Dimintai Uang Rp50 Juta
Meski telah meminta maaf, orang tua murid dilaporkan meminta uang sebesar Rp50 juta serta menuntut agar Supriyani dipecat dari sekolah.
Namun, baik Supriyani maupun pihak sekolah menolak tuntutan tersebut karena merasa tidak bersalah.***