Natuna (RiauNews.com) – Kabupaten Natuna sebagai negeri bahari dengan posisi strategis dan terdepan dibagian Utara Indonesia, ternyata memiliki 119 Objek dan Daya Tarik Wisata (OJTW) yang telah dilirik untuk dijadikan destinasi internasional bagi wisatawan manca negara.
“Tujuh puluh persen OJTW dimiliki Kabupaten Natuna merupakan Wisata Bahari,” demikian disebutkan Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten (Disparbud) Natuna, Provinsi Kepulauan Riau, Hardiasnyah membuka percakapan dengan Outsiders, Selasa (03/03/2020).
Diceritakan Hardiansyah, yang paling menarik dari angka tujuh puluh persen tersebut terdapat 24 titik Barang Muatan Kapal Tenggelam (BMKT) tersebar di sekitar laut Natuna. “BMKT merupakan warisan budaya yang perlu dilestarikan secara terus menerus dari generasi ke generasi, dan dari sisi pariwisata dapat dijadikan objek menarik bagi pelaku olahraga bahari serta wisata bawah air seperti Snorkeling dan Diving,” ungkapnya yang juga menjelaskan bahwa keberadaan BKMT tersebut adalah peninggalan sejak abad ke 6 hingga abad ke 19.
Hardiansyah yakin kedepan geliat pariwisata Natuna akan semakin bersinar, apa lagi setelah Komite Nasional Geopark Indonesia (KNGI) menetapkannya sebagai salah satu kawasan Geopark atau Taman Bumi Nasional .
“Alasan KNGI menetapakan Natuna sebagai salah satu kawasan geopark nasional karena memiliki Geo Diversity atau keanekaragaman bebatuan berusia 144 hingga 188 juta tahun dan berdasarkan penelitian, bebatuan tersebut bertumbuh, salah satunya dikenal sebagai Alifstone,” kata Hardiansyah.
Acuan lain adalah Bio Diversity, atau keanekaragaman hayati. Khusus bagian ini, Hardi menjelaskan Kabupaten Natuna memiliki hewan endemik monyet Kekah, demikian orang lokal menyebutnya, atau dalam bahasa Latin Presbytis Natunae, sejenis primata berbulu hitam dan pada bagian dada ke bawah didominasi warna putih, sementara lingkar mata berwarna hitam keabu- abuan mirip kaca mata. “Kekah hanya ada di Natuna saja, dan keberadaannya perlu dilestarikan agar tidak punah,” kata Hardi.
Disamping Geo Diversity dan Bio Diversity, Culture Diversity adalah faktor penentu untuk ditetapkan sebagai kawasan geopark nasional. Lanjut Hardi, keramah- tamahan masyarakat Melayu Natuna merupakan modal utama yang diusung ke permukaan karena memang sudah menjadi ciri khas yang tak perlu dipoles.
“Dari sisi seni, kita punya Mendu, atau seni lakon tradisional yang memadukan musik, tari dan nyanyian dalam pertunjukannya,” imbuh Hardi.
Lebih dalam lagi, lanjut Hardi, selain untuk tujuan pariwisata, Geopark difungsikan sebagai kawasan konservasi agar bebatuan dan hayati yang tertaut didalamnya terpelihara dan terlindungi, sehingga jauh dari kepunahan dan masih dapat dinikmati generasi mendatang.
“Hal lain dapat juga difungsikan sebagai media edukasi alam mengacu kepada pendidikan dan penelitian. Kemudian terakhir, sebagai penopang ekonomi berkelanjutan bagi masyarakat tempatan,” ucapnya.
Dilihat dari sisi pariwisata, Kawasan Geopark Natuna memiliki delapan geosite, yaitu Tanjung Datuk di Utara Natuna, Gua Kamak, Gunung Ranai, Pulau Senoa, Tanjung Senubing, Pulau Akar, Batu Kasah dan Pulau Setanau.
“Dari delapan geosite yang paling diminati wisatawan dan telah dikelola secara profesional adalah Batu Kasah,” kata Hardi lagi.
Dipaparkan Hardi, Batu Kasah berasal dari kata batu asah, yaitu sejenis bebatuan untuk mengasah atau mempertajam peralatan besi seperti parang, sabit dan pisau. Keunikan geosite Batu Kasah, menurut beliau karena bebatuan di sana seperti tumbuh dari kecil hingga membesar.
“Di lokasi Batu Kasah, wisatawan juga dapat melakukan snorkeling dan diving serta fishing karena posisi geosite ini berada di pinggir laut,” katanya.
Ditanya soal antusias wisatawan dalam negeri dan manca negara untuk berkunjung ke Natuna, Hardiansyah mengatakan responnya cukup baik, namun perlu ditingkatkan. “Sepanjang 2019, tercatat sebanyak 30.500 wisatawan berkunjung ke Natuna, jumlah ini belum terlalu banyak, sehingga pihak pemerintah terus berupaya untuk mempromosikannya dengan berbagai cara,” ungkapnya.
Sinergi antara pemerintah dan masyarakat pelaku pariwisata menurut Hardiansyah harus terus berlanjut untuk mendongkrak tingkat kunjungan wisatawan, termasuk mensiasati masalah transportasi menuju Natuna yang merupakan kendala utama.
“Saat ini starting point jalur transportasi ke Natuna adalah Bandara Hang Nadim Batam yang terkoneksi ke Lanud Raden Sadjad milik TNI Angkatan Udara, itupun masih dilayani oleh dua maskapai penerbangan saja, yaitu Lion Air dan Sriwijaya dengan harga tiket cukup mahal. Sementara jalur laut bisa melalui Tanjung Pinang dengan menggunakan kapal seperti KM Bukit Raya,” kata Hardiansyah.
Pemerintah Kabupaten Natuna sudah mengusulkan untuk membangun bandara sipil internasional di Kelarik yang berjarak sekitar 30 meter dari ibu kota kabupaten sebagai upaya membuka keterbatasan aksesibilitas
“Hal lain yang kita lakukan adalah meminta PT Pelni menjadikan KM Bukit Raya dikemas seperti setengah kapal pesiar, dan mudah- mudahan permintaan tersebut bisa terwujud, karena dengan demikian kemungkinan untuk menyedot wisatawan ke Natuna lebih berpeluang,” sebut Hardi.
Disinggung kesiapan akomodasi, untuk saat ini sudah mencukupi meski belum ada hotel berbintang. “Disinilah peran masyarakat agar cepat tanggap membaca peluang. Namun bila ada investor yang berminat menanamkan modal, saya selalu berpesan agar masyarakat jangan menjual lahan atau aset mereka, justru merangkul investor sebagai partner, sehingga kedepan mereka juga turut menikmati sebagai bagian dari pelaku bisnis pariwisata,” pungkas Hardiansyah.
Pewarta : Syam Irfandi