Jakarta (Riaunews.com) – Pemerintah memastikan kebebasan berpendapat, tetapi kebebasan pendapat tidak pernah berlaku absolut, ada batas-batasnya.
“Ada limitasi restriktif, baik secara hukum dengan regulasi (UU ITE-KUHP), doktrin/ilmu hukum, maupun yurisprudensi, juga ada restriksi etika sosial,” terang Pakar Hukum Pidana Indriyanto Seno Adji, dalam keterangannya, Jumat (10/4/2020).
Indriyanto memandang, Surat Telegram Kapolri ST/1100/IV/HUK.7.1.2020 mengenai penghinaan terhadap penguasa umum termasuk presiden, memiliki legitimasi yang sah. Telegram merupakan implementasi penegakan hukum terhadap perkembangan situasi serta opini di ruang siber.
“Bagi saya, ST Kapolri memang benar dan memiliki legitimasi yang sah,” ujar mantan Plt Pimpinan KPK ini.
Kritik, tambahnya bisa menjadi penghinaan formil bila dilakukan dengan cara-cara kasar, tidak sopan, tidak konstruktif dan tidak objektif sifatnya. Ketentuan ini juga bersifat universal.
“Penghinaan formil Pasal 207 KUHP inilah yg menjadi basis legitimatif bagi Kapolri untuk melakukan penindakan kepada siapa pun yang melakukan penghinaan formil kepada penguasa umum, termasuk Presiden,” terangnya.
Bagaimana penghinaan formil itu? Indriyanto mencontohkan, A menyatakan kebijakan presiden tentang PSBB tidak tepat dan membingungkan masyarakat, lalu mengatakan Presiden bodoh.
“Tapi kalau A mengatakan kebijakan presiden tentang PSBB tidak tepat sasaran dan membingungkan publik, ini tidak dapat dikatakan sebagai penghinaan formil,” katanya.***