Jakarta (Riaunews.com) – Presiden Jokowo Widodo kembali menaikkan Iuran BPJS Kesehatan di tengah pandemi Covid-19. Lewat Perpres Nomor 64 Tahun 2020 yang ditandatangani Jokowi tentang Jaminan Kesehatan, keputusan kontroversial tersebut ditetapkan.
Beleid yang ditandatangani pada Selasa (5/5/2020) merupakan perubahan Kedua atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018.
Terkait hal ini, anggota DPR RI, Saadiah Uluputty angkat bicara. Ia menyebut, keputusan menaikan iuran BPJS tidak saja menabrak putusan Mahkamah Agung yang membatalkan usulan penetapan iuran BPJS sebelumnya, namun menampilkan wajah pemerintah sesungguhnya, minus nurani kepada wong cilik.
“Mahkamah Agung telah membatalkan Perpres Nomor 75 Tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan. Presiden malah menabrak putusan tersebut dengan menaikan iuran BPJS. Tanda jika wajah pemerintah saat ini defisit nurani,” kritik Anggota Komisi VII DPR, Saadiah Uluputty, Kamis (14/5/2020) kepada Riaunews.com melalui keterangan tertulis.
Sikap Presiden soal iuran BPJS tandas Saadiah, linier dengan sikap ambivalen terhadap harga bahan bakar minyak (BBM).
Harga BBM yang harusnya diturunkan, ketika seluruh harga minyak mentah dunia saat ini rendah dan faktor pembentuk harga BBM sudah seharusnya mengalami penyesuain, harga BBM malah tidak turun – turun.
“Harga BBM yang seharusnya turun, tidak diturunkan. Kebijakan diperparah dengan menaikan iuran BPJS. Keputusan MA menolak usulan kenaian iuran BPJS malah tidak dianggap sama sekali oleh pemerintah. Presiden offside,” sebutnya.
Kenaikan iuran BPJS detail Saadiah, semakin menambah daftar beban rakyat yang terpuruk di tengah wabah corona. Saat daya beli masyarakat semakin turun karena PHK dan kehilangan mata pencaharian, pemerintah malah menambah daftar gelisah wong cilik dengan menaikan iuran BPJS.
“Negara harusnya hadir dengan menampakkan solusi untuk menyelesaikan beban rakyat yang kian berat karena wabah covid. Buka menimpakan tambahan beban dengan kebijakan tak popular, menaikan harga BPJS. Rakyat semakin sesak menghadapi situasi demikian,” imbuhnya.
Saadiah menyampaikan, secara tegas Mahkamah Agung menetapkan dalam keputusannya bahwa kesalahan dan fraud dalam pengelolaan dan pelaksanaan program BPJS yang menyebabkan defisit tidak boleh dibebankan kepada rakyat dengan menaikan iuran kepesertaan. Apalagi dalam kondisi ekonomi global yang tidak menentu.
“Masalah defisit dana jaminan sosial yang digembar-gemborkan pemerintah diakibatkan oleh fraud dalam pengelolaan. Ini malah dipindahkan bebannya kepada rakyat. Rakyat sudah mensubsidi negara dengan membeli BBM mahal, sekarang rakyat dipaksa membayar iuran BPJS lebih mahal untuk menutupi dampak dari fraud dalam pengelolaan BPJS”, kata Saadiah menyesalkan.
Baik pandangan hukum maupun etis, menaikan iuran BPJS Kesehatan adalah kebijakan yang minum empati terhadap rakyat.
“Tidak etis. Seharusnya memberi solusi, malah negara tidak hadir untuk memberi kepastian perlindungan bagi rakyat,” tukas Saadiah.***