Selasa, 26 November 2024

Tim Advokasi Novel Baswedan ungkap sejumlah kejanggalan di persidangan

Ikuti Riaunews.com di Google Berita
 
Salah seorang terdakwa penyiraman airk keras pada penyidik KPK Novel Baswedan. (Foto: Liputan6)

Jakarta (Riaunews.com) – Tim Advokasi Novel Baswedan mencatat ada sembilan kejanggalan dalam proses persidangan kasus penyiraman air keras terhadap penyidik KPK Novel Baswedan. Dalam kacamata mereka, proses persidangan belum bisa menemukan fakta tersembunyi di balik kasus yang terjadi tahun 2017 ini.

Perwakilan Tim Advokasi Kurnia Ramadhana menyebutkan, kejanggalan pertama ada di dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang menunjukkan kasus ini hanya dinilai sebagai tindak pidana penganiayaan biasa. Bukan terkait kerja pemberantasan korupsi yang dihantui teror sistematis juga pelemahan KPK melalui para penyidiknya.

“Dakwaan Jaksa sangat bertentangan dengan temuan Tim Pencari Fakta bentukan Polri dan Komnas HAM untuk kasus Novel Baswedan yang menemukan motif penyiraman air keras terhadap Novel yang berkaitan dengan kasus-kasus korupsi besar yang ditanganinya juga aktor intelektual,” tulis Kurnia lewat siaran pers diterima, Senin (11/5/2020), yang dilansir Liputan 6.

Kedua, JPU diduga tidak merepresentasi negara yang mewakili korban. JPU dirasa ‘meringankan’ terdakwa dengan surat dakwaan yang berisi pasal penganiayaan biasa dan bukan perbuatan mengancam nyawa. Lebih dari itu, air keras yang diketahui sebagai alat serang terdakwa dinyatakan berasal air accu. Padahal diketahui cairan keduanya memiliki zat reaktif.

“Tentu ini pernyataan sesat, sebab sudah terang benderang bahwa cairan tersebut adalah air keras yang telah menyebabkan Novel kehilangan penglihatan,” tegas Kurnia.

Ketiga, tim advokasi melihat majelis hakim cenderung pasif dan tidak objektif dalam mencari kebenaran materiil. Sebab, selama jalannya persidangan, hakim tidak menggali rangkaian peristiwa secara utuh, Hakim cenderung sebatas menggali fakta dengan pertanyaan-pertanyaan seputar kejadian oleh pelaku penyerangan dan dampak penyerangan.

“Hakim tidak menggali informasi lebih jauh terkait informasi saksi yang telah disebutkan terkait nama dan peristiwa yang berkaitan dengan penyerangan,” tutur Kurnia.

Keempat, terdakwa mendapat pendampingan hukum dari institusi Polri. Sebab keduanya yakni Rahmat Kadir Mahulette dan Ronny Bugis, diketahui sebagai anggota polisi aktif.

“Para terdakwa justru dibela institusi Polri, proses pendampingan itu pun harus dipertanyakan. Atas dasar apa insitusi Polri mendampingi mereka? Pembelaan oleh Institusi Kepolisian tentu akan menghambat proses hukum untuk membongkar kasus ini yang diketahui diduga melibatkan anggotanya dan juga petinggi kepolisian,” kata Kurnia.

Kelima, Tim Advokasi Novel Baswedan menilai adanya manipulasi barang bukti di persidangan. Seperti dari CCTV yang dihiraukan oleh penyidik sampai pada dugaan intimidasi terhadap saksi-saksi penting.

Ada juga sidik jari yang tidak mampu diindentifikasi kepolisian pada gelas dan botol yang dijadikan alat untuk melakukan penyiraman terhadap Novel. Selain itu, dalam persidangan Kamis, 30 April 2020 yang lalu ditemukan keanehan dalam barang bukti baju yang dikenakan Novel pada saat kejadian.

“Terpotong bagian depannya diduga menghilangkan bekas siraman air keras di titik itu,” beber Kurnia.

Keenam, JPU dinilai mengaburkan fakta air keras yang digunakan untuk penyiraman. Ketujuh, kasus kriminalisasi Novel kembali diangkat diduga untuk mengaburkan fokus pengungkapan kasus penyerangan Novel Baswedan dan KPK. Kedelapan, adanya alat bukti saksi dalam berkas persidangan yang dihilangkan. Kendati baru diketahui dari JPU bahwa terdapat saksi kunci penyerangan Novel Baswedan yang telah memberikan keterangan kepada Kepolisian, Komnas HAM, TGPF bentukan Polri.

“Berkas BAP diduga dihilangkan dan tidak diikutkan dalam berkas pemeriksaan persidangan oleh Jaksa. Ini merupakan temuan dugaan pelanggaran serius, bentuk upaya sistematis untuk menghentikan upaya membongkar kasus penyerangan novel baswedan secara terang,” tegas Kurnia.

Kejanggalan terakhir saat pemeriksaan saksi korban di Pengadilan Negeri Jakarta Utara pada 30 April 2020. Ruang pengadilan penuhi aparat kepolisian. Hal ini menjadi kejanggalan Tim Advokasi Novel Baswedan yang mengindikasikan apakah publik dan tim kuasa hukum tak diberi ruang untuk memantau jalannya persidangan.***

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *