Opini  

Membina budaya baca mahasiswa di masa pandemi


Oleh: Suwanto

Dinamika perkembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) yang demikian cepat seringkali ditengarai sebagai biang keladi rendahnya budaya baca generasi muda Indonesia. Apalagi, wabah pandemi Covid-19 belum mereda, minat baca anak muda bukannya meningkat karena intensitas di rumah saja lebih tinggi, malah semakin tampak lesu. Banyak anak muda cenderung memilih sibuk dengan gawainya atau malah bermain game dalam mengisi hari-harinya.

Jangankan budaya baca yang tinggi, untuk sekadar minat baca saja masih terbilang rendah. Bahkan kalangan intelektual seperti mahasiswa yang seharusnya mempunyai tensi baca tinggi, kenyataannya tidaklah demikian.

Membaca belum menjadi aktivitas yang diprioritaskan mereka. Padahal sistem perkuliahan di kala wabah ini dilakukan secara online. Kesempatan itu pun tak membuat mahasiswa rajin membaca. Malah bermain game, membuka media sosial atau nonton film.

Baca: Miris, anak Indonesia minim akses dan rendah minat membaca buku

Banyak orang beranggapan bahwa penyebab utama budaya baca mahasiswa rendah akibat perkembangan iptek yang menghasilkan perangkat serba instan, sehingga membuat mahasiswa malas. Itu artinya, semakin majunya TIK bukan membuat rajin, malah justru berdampak pada malas membaca.

Bahkan, hadirnya internet yang berimbas pada ledakan informasi demikian masif dan mudah diakses malah membuat mahasiswa kerap melakukan kejahatan intelektual seperti halnya plagiarisme, mencontek lewat HP, ataupun tindakan negatif lainnya.

Harusnya kita berkaca pada negara Jepang. Di negeri Sakura ini kemajuan teknologi sangat pesat, akan tetapi budaya baca mereka tetap tinggi. Bahkan, di kawasan-kawasan publik seperti kendaraan umum, atau ketika menunggu antrean banyak orang Jepang yang mengisi sela-sela waktu tersebut dengan membaca. Ini pertanda bahwa kemajuan teknologi bukan serta merta membuat budaya baca mereka menjadi rendah.

Sejatinya perkembangan teknologi tak semestinya dijadikan kambing hitam terhadap rendahnya minat baca mahasiswa. Sebab, dengan teknologi seharusnya membuat semakin dimudahkan membaca. Informasi apa saja yang dibutuhkan mudah diakses dengan cepat.

Akses informasi dan pengetahuan tak lagi menjadi barang langka yang sulit didapatkan. Dengan kemajuan TIK ini, di manapun kita berada dalam hitungan detik mendapat informasi dari berbagai penjuru dunia.

Karenanya, aplikasi pertama untuk menumbuhkan sistem yaitu membangun karakter pembaca. Membaca harus ditanamkan, dipupuk, dan dibina sehingga menjadi budaya yang tertanam kuat dalam diri mahasiswa.

Penanaman tersebut harus dimulai sejak dini dan dari diri sendiri tidak dibebankan pada orang lain. Pemerintah, masyarakat, dan perguruan tinggi mempunyai peran yang vital dalam menumbuh kembangkan mental membaca mahasiswa, sehingga pada akhirnya akan berimbas pada budaya bacanya yang bagus.

Perguruan tinggi melalui dosen harus menerapkan sistem perkuliahan yang memotivasi mahasiswa untuk membaca buku. Hal ini dapat dilakukan melalui tugas kuliah seperti presentasi, resensi buku, atau resum materi kuliah.

Dosen juga sesekali melakukan perkuliahannya dengan metode review jurnal, yang tentunya jurnal ini mudah didapatkan di repositori perpustakaan secara online. Dan semuanya akan berjalan dengan baik jika dilakukan dengan komitmenkuat.

Perlu dipertegas lagi bahwa titik persoalan budaya baca mahasiswa rendah karena mental baca lemah. Bukti nyata bisa lihat bangsa Jepang, dengan kemajuan TIK justru membuat mereka semakin tinggi budaya bacanya.

Oleh karenanya, perlu adanya upaya membangkitkan mental baca mahasiswa, sebelum benar-benar terpuruk. Kalau mental bacanya sudah kokoh, maka niscaya akan membentuk kesadaran mahasiswa untuk membaca tanpa adanya paksaan.

Bahkan kemajuan TIK akan semakin menjadikan budaya baca mahasiswa terasah, sehingga terus meningkat dari waktu ke waktu. Hal ini tentu butuh kerja sama yang solid di antara pemerintah, masyarakat terutama lingkungan kampus, ataupun pihak-pihak terkait, sehingga harapannya budaya baca mahasiswa yang tinggi benar-benar dapat terwujud, semoga.***

 

Penulis merupakan Mahasiswa Ilmu Perpustakaan Fak. Adab & Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga dan Pengajar di Pondok Dompet Dhuafa Jogja

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *