Lombok Tengah (Riaunews.com) – Mandalika International Street Circuit adalah bagian dari kawasan pariwisata yang dijuluki ‘Bali baru.’ World Superbike akan digelar di sirkuit ini pada tanggal 12 sampai 14 November mendatang, dan MotoGP pada bulan Maret 2022.
Salah seorang warga Desa Kuta yang masih bertahan, mengaku belum pindah karena belum menjual tanahnya kepada pemerintah. Namun warga lain di lahan yang sama mendapat informasi bahwa tanah mereka sudah menjadi milik negara, meski mereka tak pernah merasa menjualnya.
Sementara, pihak pengembang yakin mereka telah bertindak adil dengan memberikan kompensasi lahan dengan nilai yang sesuai, bagi warga yang memiliki bukti-bukti kepemilikan yang sah.
Warga yang tidak memiliki bukti kepemilikan tanah dipindahkan ke sebuah lahan yang lokasinya sekitar dua kilometer dari Desa Kuta. Menurut Polda NTB, sekitar 90 KK telah menempati lahan relokasi. Rencananya mereka akan direlokasi lagi ke lahan lain yang nantinya akan dijadikan desa pariwisata.
Namun bagi warga, lahan relokasi kondisinya memprihatinkan; rencana desa pariwisata dan peran mereka di sana pun belum jelas. Ketidakpastian akan masa depan membuat mereka khawatir hanya akan menjadi ‘penonton’ di rumah sendiri.
Bongkar rumah sendiri karena tidak ada pilihan lain
Damar, seorang warga Desa Kuta, yang tumbuh besar tidak sampai 500 meter dari lokasi pembangunan sirkuit, telah cukup vokal menyuarakan ketidakadilan yang dirasakan dirinya dan sanak saudaranya yang tinggal di lahan seluas sekitar 3.300 m2.
Sebelum pandemi, ia berprofesi sebagai pelatih selancar bagi para turis. Saat industri pariwisata mulai lesu tahun di tahun 2020, di waktu yang hampir bersamaan, ia harus mengosongkan lahan.
“Saya masih ingat waktu pertemuan pertama kali di sini (tahun 2019), langsung mereka bilang, bulan Agustus, sebelum tanggal 17, semua tempat ini harus dikosongkan,” kata Damar. “Jadi kita bingung, belum ada sosialisasi, belum ada musyawarah, belum ada kesepakatan dari kedua belah pihak, tiba-tiba saja pemerintah setempat datang dan bilang begitu ke masyarakat.”
Berdasarkan keterangan Damar, lahan miliknya dinilai oleh tim appraisal independen seharga 3,2 miliar rupiah. Menurut Damar itu sudah termasuk enam rumah di atasnya, tanaman hortikultura warga, dan kerugian immateril.
Bagi Damar angka itu tidak sebanding dengan upayanya untuk memulai hidup baru dan kesedihan meninggalkan desa yang telah berusaha ia bangun selama bertahun-tahun. Ia seringkali membawa klien asingnya ke desa untuk mengajar bahasa Inggris pada anak-anak.
Awalnya, Damar tidak mau menerima dana konsinyasi dan mencoba bertahan, namun ia berkesimpulan bahwa kenyataan ia harus angkat kaki dari desanya tak terelakkan.
“Kementerian Pariwisata bilang kalau masyarakat itu sudah setuju, kalau tidak percaya sudah ada fotonya. Betul, ada fotonya waktu pembayaran kemarin,” tutur Damar. “Hanya saja, kalau masyarakat dikasih pilihan lain mungkin tidak akan begitu. Kita itu menerima uang ganti rugi karena kita sudah tidak ada pilihan lain lagi.”
Damar beserta tetangga dan keluarganya akhirnya membongkar sendiri rumah mereka di bulan April. Ia berencana mengajak keluarganya untuk menempati lahan lain miliknya yang lebih kecil.
Sebuah bale-bale dan papan bisnis milik istrinya masih tersisa di lahan yang telah ditinggalkan.
Namun Damar pergi dengan membawa suatu kekhawatiran.
“Jangan-jangan kalau proyek ini sudah jadi, kita cuma jadi penonton di rumah sendiri. itu yang saya takutkan,” kata Damar.
Tuduhan PBB ‘upaya menjatuhkan Indonesia’
Beberapa waktu lalu PBB menuduh pemerintah Indonesia dan Indonesian Tourism Development Corporation (ITDC) sebagai pengembang Kawasan Ekonomi Khusus Mandalika melanggar HAM masyarakat lokal.
Para pakar PBB yang menyusun laporan itu menyampaikan bahwa dalam proses pembangunan KEK Mandalika telah terjadi perampasan tanah yang agresif, penggusuran dan pengusiran paksa terhadap masyarakat adat Sasak, intimidasi, dan ancaman serta tidak ada ganti rugi.
Dalam laporannya PBB menyebut terdapat 150 warga yang diduga menjadi korban.
Balasan resmi pemerintah Indonesia telah dilayangkan kepada PBB sesuai tenggat waktu yang diberikan yakni pada 3 Mei 2021. Jawaban itu dapat diakses oleh publik di sini.
Perwakilan Tetap Republik Indonesia di Jenewa menyayangkan langkah PBB mempublikasi laporan berisi tuduhan pelanggaran HAM saat proses verifikasi pemerintah Indonesia masih berlangsung. PTRI menyebut hal itu sebagai politisasi ‘cerita sepihak’.
Dalam surat resminya, PTRI menyatakan bahwa dalam proyek KEK Mandalika bertujuan untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pembangunan di wilayah Lombok. Pemerintah Indonesia pun telah berkomunikasi dengan Majelis Adat Suku Sasak dan mendapat dukungan dari mereka.
Direktur Utama ITDC, Abdulbar M. Mansoer, mengakui reaksi keras PTRI.
“Mereka merasa bahwa ini adalah suatu ‘hack job’, upaya untuk menjatuhkan Indonesia,” kata Abdulbar di kantornya di kawasan Thamrin, Jakarta Pusat.
Sengkarut sengketa tanah
Situasi di lapangan terkait lahan, menurut Abdulbar, dapat dikategorikan menjadi tiga kelompok.
Kelompok pertama adalah warga yang belum mendapatkan kompensasi pembebasan lahan mereka.
“Kita melakukan pembayaran dengan sebisa kita, meski sekarang pariwisata sedang terpuruk,” kata Abdulbar. “Kalau ditotal sekitar 140 miliar sudah kita keluarkan untuk memberikan hak bagi penduduk dan mereka dengan sukarela menerima.”
Meski demikian Abdulbar tidak menampik bahwa ada pemilik lahan yang belum mau menerima dana konsinyasi yang telah disiapkan.
“Ada yg beberapa yang belum mau terima tapi pelan-pelan mereka ambil konsinyasi itu,” katanya.
Kelompok kedua adalah warga yang menempati lahan milik pemerintah yang disebut pengguna lahan; totalnya ada 180 KK. Menurut Kepala Bidang Profesi dan Keamanan (Propam) Polda NTB Kombes Pol Awan Hariono selaku ketua tim percepatan dan verifikasi, 90 KK telah direlokasi ke sebuah lahan di sebuah tempat bernama Dusun Ngolang yang lokasinya tidak jauh dari proyek sirkuit.
Sementara, menurut dokumen ITDC yang dikirimkan ke PBB, KK lain yang belum direlokasi, saat ini bermukim di lokasi yang berbeda-beda; baik kembali ke desa lama mereka maupun ke alamat yang saat ini belum diidentifikasi oleh ITDC.
Kelompok ketiga adalah warga yang merasa tidak pernah menjual atau melepas tanah, yang ITDC sebut pengklaim.
“Kita hanya bisa ke pengadilan, kita cek ke BPN, kita juga ada tim teknis dari kabupaten dan provinsi yang mengidentifikasi itu,” kata Abdulbar. “Kalau kita salah, keputusan pengadilan kita penuhi.”
Nasib penduduk yang lahannya terdampak proyek KEK Mandalika, menurut Abdulbar, tergantung mereka termasuk kelompok yang mana.
“Sejak 2016, ITDC menerima 28 tuntutan hukum, dua diantaranya dimenangkan oleh penuntut, sementara tujuh kasus masih berada di pengadilan,” tulis PTRI dalam surat balasannya kapada PBB.
Masih menurut keterangan PTRI, tahun 2008 ITDC menerima lahan proyek Mandalika seluas 1,175 hektar dari pengembang swasta sebelumnya bernama LTDC. Terdapat 135 hektar yang diklaim milik warga lokal. Setelah proses verifikasi 109,59 diantaranya secara legal dimiliki ITDC.
PBB: Perlu investigasi independen
Pakar PBB bidang kemisikinan ekstrim dan hak asasi manusia, Olivier De Schutter tidak puas akan jawaban pemerintah Indonesia terhadap tuduhan pelanggaran HAM oleh PBB di proyek Mandalika.
Menurutnya pokok permasalahan lahan di Mandalika bukan mengenai siapa yang memiliki surat legal atas tanah, karena sebagian besar memang dimiliki pemerintah Indonesia.
“Yang menjadi masalahnya, pembangunan sirkuit MotoGP dan hotel telah dimulai sebelum warga lokal direlokasi, dan bermukim di tempat yang layak,” kata Olivier. “Tempat relokasi, Dusung Ngolang saat ini belum siap untuk menerima warga.”
Olivier yang merupakan pakar utama yang menyusun laporan pelanggaran HAM, mengatakan kepada BBC melalui sambungan online dari Brusel, bahwa investigasi independen oleh konsultan lokal diperlukan untuk mengklarifikasi fakta dan memahami kekhawatiran warga lokal.
Sampai akhir 2022, menurut Olivier, warga akan terpaksa melanjutkan hidup apa adanya di tempat relokasi, dan kesulitan bermata pencaharian. Hal ini tidak dapat diterima.
“Memiliki atap, air, listrik, dan pangan tidaklah cukup,” tegas Olivier. “Anda harus punya akses terhadap pekerjaan. Kalau tidak, kondisi mereka akan semakin terpuruk.”
Ditanya mengenai kompensasi yang diterima sebagian warga, ia bersikeras bahwa kompensasi moneter bukanlah alat pengganti proses relokasi yang layak.
“Saya hanya bisa menyesali bahwa proyek telah dimulai, sirkuit MotoGP pun sudah hampir selesai dikerjakan,” kata Olivier.
“Bagi saya, sangatlah problematik bahwa masalah relokasi dalam kondisi yang memadai tidak ditangani sebelum proyek diluncurkan,” sambungnya.
Kunci agar hal seperti ini tidak terulang di proyek Mandalika, menurut Olivier, dipegang oleh Asian Infrastructure Investment Bank atau AIIB yang berinvestasi 248 juta dolar AS untuk KEK Mandalika. Ia mendorong AIIB untuk mendesak pemerintah Indonesia untuk melanjutkan pembangunan Mandalika dengan lebih menghormati hak asasi manusia dan hak warga lokal yang telah hidup selama bergenerasi-generasi di wilayah itu.
Pembangunan sirkuit akan selesai di bulan Juni
Laman resmi World Superbike telah mengumumkan jadwal pertandingan untuk 2021, di mana Mandalika International Street Circuit akan digunakan pada tanggal 12-14 November.
Dwianto Eko Winaryo selaku Chief Construction and Development Officer dari Mandalika Grand Prix Association (MGPA) menyatakan perkembangan pembangunan sirkuit di bulan April telah mencapai 65-70 persen.
“Target 100 persen pada bulan Juni tanggal 30,” kata Dwi melalui sambungan online saat tim BBC berada di kantor ITDC di Mandalika.
MGPA adalah promotor MotoGP Indonesia di Mandalika.
Setelah target pembangunan sirkuit tercapai, di bulan Juli, MGPA akan mengundang Federasi Balap Motor Internasional (FIM) untuk proses homologasi atau sertifikasi.
Sertifikasi bertujuan untuk memastikan sirkuit Mandalika layak digunakan dan aman dari sisi infrastruktur dan bangunan penunjang untuk melaksanakan balapan motor sport.
“Jika homologasi sudah didapatkan kami akan mengadakan test race,” lanjut Dwi. “Kita berencana mengundang rider pada saat MotoGP bertanding di Asia Pasifik bulan Oktober dan November.”
Setelah itu, menurut Dwi, barulah Indonesia bersiap mengadakan MotoGP di bulan Maret 2022.
KEK Mandalika akan terus dikembangkan hingga 2040
Pembangunan KEK Mandalika akan terus berjalan setelah pembangunan sirkuit selesai. Menurut Managing Director The Mandalika Bram Subiandoro, saat ini bahkan pembangunan KEK Mandalika masih pada tahap ‘infrastruktur mode’.
“Kita lengkapi infrastruktur, drainase, penerangan jalan, dan sebagainya, supaya kawasan ini lebih terlihat menarik. Tapi kita kembangkan sirkuit ini untuk menarik investor,” kata Bram di kantor ITDC di Mandalika.
Untuk ajang World Superbike dan MotoGP, Hotel Pullman Mandalika rencananya akan mulai beroperasi.
Saat ini ada 11 investor yang berencana membangun hotel di KEK Mandalika. Selain itu, investor Dubai Bin Zayed International LLC telah menandatangani MoU untuk membangun lapangan golf 27 holes.
Pengembangan Mandalika, menurut Bram, akan terus berlangsung hingga 2040.
“ITDC punya dua kawasan. Kawasan Nusa Dua (Bali) itu membutuhkan waktu 37 tahun dari mulai awal sampai sekarang seperti itu,” kata Bram.
Komnas HAM: Kesejahteraan Warga Lokal Harus Diperhatikan
Dengan masih banyaknya ruang-ruang yang akan dibangun, senada dengan PBB, Komnas HAM RI mendorong pemerintah dan pengembang untuk lebih memperhatikan kesejahteraan warga selama proses pembangunan dan pengembangan.
“Mandalika adalah proyek internasional. Harus didasarkan pada prinsip-prinsip HAM internasional. itu yang kita ingatkan dari awal,” kata Beka Ulung Hapsara, Komisioner Komnas HAM RI. “Sepertinya peringatan itu tidak sepenuhnya dijalankan oleh ITDC maupun pemerintah dengan mereka hanya berfokus pada masalah pembebasan lahan saja.”
Menurut Beka, tuduhan pelanggaran HAM PBB di proyek KEK Mandalika, meski serius, tidak sepenuhnya benar dan akurat. Beka menjelaskan, salah satu tuduhan PBB mengenai kerusakan dan pemindahan situs religi dan budaya, tidak ditemukan kebenarannya oleh Komnas HAM.
Meski demikian, Komnas HAM RI memang menemukan satu insiden pengosongan lahan dengan penggunaan kekuatan yang berlebihan pada 11-12 September 2020.
Komnas HAM juga masih melihat ancaman pelanggaran HAM di lokasi pembangunan KEK Mandalika. Untuk menghindari kasus pelanggaran HAM di masa depan, pemerintah harus memperhitungkan hak-hak warga di luar hak ekonomis. Seperti hak atas lingkungan yang sehat, hak atas pendidikan, dan hak atas pekerjaan.
“Karena bagaimanapun juga ketika lahannya diganti atau diambil alih, hak-hak itu juga kemudian terampas juga,” kata Beka.
Menurut Managing Director the Mandalika Bram Subiandoro, pihaknya sudah mensyaratkan kontraktor yang beroperasi di Mandalika untuk mengambil tenaga kerja lokal dengan persentase tertentu. Suntikan dana dari bank Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB) ia yakini akan menciptakan kesempatan kerja yang lebih besar.
Hal ini masih poin kekhawatiran Komnas HAM, karena latar belakang pekerjaan warga yang terdampak kebanyakan adalah petani, bukan pekerja sektor pariwisata.
“Ini harus jadi perhatian serius dari pemerintah daerah sampai pemerintah pusat soal alih profesi ini,” pungkas Beka.***
Sumber: BBC
Eksplorasi konten lain dari Riaunews
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.