Oleh : Yenni Sarinah, S.Pd
.
OPINI – Ironis memang, negara produsen kelapa sawit mengikuti harga pasar internasional. Dimana jutaan hektar sawit ditanam di Indonesia dengan potensi bisnis yang fantastis, namun bagi rakyat dalam negeri, minyak goreng masih dipatok dengan harga tinggi dengan berbagai alasan berbau kapitalisasi sektor pangan.
Ibarat ayam lapar di lumbung padi, begitulah kiranya suasana negeri ini. Ladang sawit banyak, tidak menjamin perolehan minyak goreng menjadi murah apalagi terjangkau.
Apa yang salah? Jelas tidak semua orang paham akar masalah utama dari krisis minyak goreng di tahun ini.
.
Begitupun dengan Menteri Perdagangan yang menggantikan Menteri sebelumnya Muhammad Lutfi yang terindikasi bermain di sektor distribusi minyak goreng dalam negeri.
Beliau dipecat akibat dianggap tak dapat berbuat banyak dalam mengatasi krisis bahan pokok, khususnya minyak goreng. Padahal, persoalan minyak goreng ini sudah berlangsung sejak tahun lalu dan belum ada solusi yang berarti dari Mendag hingga kini.
Menteri Perdagangan (Mendag) Zulkifli Hasan yang menggantikan posisi Muhammad Lutfi menegaskan komitmennya untuk segera mengeksekusi perintah Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk mengendalikan harga-harga barang kebutuhan pokok (bapok), terutama minyak goreng (migor). (bisnis.com, 18/06/2022)
Menteri Perdagangan yang baru dilantik, Zulkifli Hasan (Zulhas) memiliki ide untuk menghapus minyak goreng curah dari pasaran dan diganti dengan kemasan.
Namun, ide ini ditolak oleh Mulyanto. Ia menyatakan tidak setuju dengan ide tersebut. Ia menilai belum saatnya Pemerintah mengambil langkah kebijakan tersebut di tengah sengkarut persoalan migor sekarang ini. (fajar.co.id, 18/06/2022)
Mengapa begitu bersemangat menghapus keberadaan minyak goreng curah, yang jelas begitu membantu perekonomian rakyat kecil terutama pedagang kecil di sektor olahan jajanan rakyat yang butuh minyak goreng. Bukankah seharusnya ide itu berbalik, bagaimana caranya ladang sawit ini bisa memenuhi kebutuhan pasar dalam negeri dengan harga murah tanpa mengurangi kualitasnya.
Faktanya minyak goreng curah itu murah karena tidak ada biaya pengemasan sebagaimana minyak goreng kemasan dengan beraneka merk. Tentunya minyak goreng curah lebih unggul dalam memenuhi kebutuhan pasar dibanding minyak goreng kemasan yang dibalik itu dimiliki oleh para oligarki. Lantas apa solusinya?
Merujuk dalam kacamata sistem Islam memandang kehidupan. Lihat dulu akar masalahnya yang disamarkan oleh para pemilik kepentingan. Minyak goreng krisis di lumbungnya, tentu ini adalah sebuah lelucon. Sudah sangat jelas ada tata kelola yang salah dari permainan sistem yang dianut negeri ini, kapitalisme bobrok.
Akar masalah yang bisa kita telaah bersama diantaranya : (1) Masalah kelangkaan, (2) Penetapan harga, (3) Masalah monopoli dan penimbunan, (4) Buruknya distribusi dan pendataan.
Pertama, Masalah Kelangkaan
Problem kelangkaan bisa saja terjadi baik dalam sistem Islam ataukah tidak. Jika ini akar masalahnya, bagi rakyat perlu untuk bersabar, sementara penguasa perlu mencari jalan keluar untuk mengatasi kelangkaan tersebut.
Misalnya dengan membuka lahan-lahan produktif untuk memenuhi kebutuhan dalam jangka panjang. Atau mengambil solusi praktis dari pemasok dari negeri lain. Dengan demikian, selesailah problem kelangkaan tersebut.
Untuk kelangkaan minyak goreng, tentu ini ganjal. Ladang sawit yang kian subur setelah dari masa awal mengundang kontra yang dimulai dengan membabat sebagian besar hutan, hingga bencana kabut asap akibat pembukaan lahan yang mencari cara praktis dan ekonomis, tentu ini bukan menjadi masalah kelangkaan. Sawitnya banyak, namun menjadi tanda tanyanya adalah LADANG ITU MILIK SIAPA?
Data Kementan menunjukkan, dari total luasan lahan sawit di Indonesia, sebanyak 5% atau sekitar 800 ribu ha dikuasai oleh BUMN. Sementara, 53% atau sekitar 8,64 juta ha dikuasai oleh perusahaan swasta dan 42% lainnya atau sekitar 6,94 juta oleh rakyat. (cnbcindonesia.com, 14/04/2022)
Disini terlihat persentase kepemilikan investor melalui perusahaan swasta dan persentase yang dimiliki rakyat hampir saling mengejar, dan anehnya milik negara hanya 5% sangat jauh dari kata layak. Disinilah problemnya, negara tidak memiliki lahan sawit dan abai dalam tata kelolanya.
Kedua, Penetapan Harga
Penetapan harga dengan melakukan pembatasan harga, jika dikenakan untuk barang-barang milik individu, bukan menjadi solusi, justru ia adalah sumber masalah.
Secara ekonomi penetapan harga sepihak akan memicu individu pemilik barang berlogika menahan barangnya karena tidak sesuai dengan harga yang diinginkan, atau dia akan menjual ke pasar gelap baik di dalam atau luar negeri.
Karena itulah tak heran jika setelah pemerintah membatasi harga minyak goreng, justru minyak gorengnya menghilang. Dan ketika diberi kebebasan menentukan harga, justru berjejer apik stok minyak goreng.
Pembatasan harga barang milik individu adalah kezaliman. Dari Anas bin Malik r.a ia berkata, “Pernah terjadi kenaikan harga pada masa Rasulullah saw, maka orang-orang pun berkata, “Wahai Rasulullah, harga-harga telah melambung tinggi, maka tetapkanlah standar harga untuk kami.”
Mendengar hal ini Rasulullah bersabda:
إِنَّ اللَّهَ هُوَ الْمُسَعِّرُ الْقَابِضُ الْبَاسِطُ الرَّازِقُ، إِنِّي لَأَرْجُو أَنْ أَلْقَى رَبِّي وَلَيْسَ أَحَدٌ يَطْلُبُنِي بِمَظْلَمَةٍ فِي دَمٍ وَلَا مَالٍ
“Sesungguhnya Allah lah yang menentukan harga, yang menyempitkan dan melapangkan, dan Dia yang memberi rizki. Sungguh, aku berharap ketika berjumpa dengan Allah tidak ada seseorang yang meminta pertanggungjawaban dariku dalam hal darah dan harta.”
Imam As-Sindi menyatakan:
وَفِيهِ إِشَارَةٌ إِلَى أَنَّ التَّسْعِيرَ تَصَرُّفٌ فِي أَمْوَالِ النَّاسِ بِغَيْرِ إِذْنِ أَهْلِهَا، فَيَكُونُ ظُلْمًا
“Dalam hadis ini ada isyarat bahwa pembatasan harga adalah merupakan tasharruf terhadap harta manusia tanpa izin pemiliknya, maka jadilah ia sebagai kezaliman.”
Para fuqaha empat mazhab sepakat bahwa penetapan harga hukum asalnya adalah haram.
Dari Sa’id bin Al-Musayyib diriwayatkan bahwa ‘Umar r.a bertemu Hathib bin Abi Balta’ah r.a yang sedang menjual kismis di pasar dengan harga yang dalam pandangan Umar terlalu murah. ‘Umar lalu berkata:
إِمَّا أَنْ تَزِيدَ فِي السِّعْرِ وَإِمَّا أَنْ تَرْفَعَ مِنْ سُوقِنَا
“Kamu tambah harganya atau kamu pergi dari pasar kami.”
Setelah Umar kembali, beliau merenungi dirinya, kemudian mendatangi Hathib di rumahnya, lalu berkata:
إِنَّ الَّذِي قُلْتُ لَيْسَ بِعَزْمَةٍ مِنِّي، وَلَا قَضَاءٍ، إِنَّمَا هُوَ شَيْءٌ أَرَدْتُ بِهِ الْخَيْرَ لِأَهْلِ الْبَلَدِ، فَحَيْثُ شِئْتَ فَبِعْ، وَكَيْفَ شِئْتَ فَبِعْ
“Sesungguhnya yang kukatakan tadi bukanlah ketetapan dariku, bukan pula keputusan, sesungguhnya itu adalah sesuatu yang ingin dengannya ada kebaikan bagi penduduk negeri, maka sekarang juallah seperti apa yang engkau mau.”
Ketiga, Masalah Monopoli dan Penimbunan
Jika penyebab kelangkaan adalah adanya monopoli dan penimbunan, negara tidak boleh berpangku tangan, wajib segera menindak dan memberikan hukuman yang setimpal kepada pelakunya.
Adapun terkait menimbun (ihtikar) yang diharamkan adalah tindakan menyimpan harta dan enggan menjual dan memberikannya kepada orang lain, yang mengakibatkan melonjaknya harga pasar secara drastis disebabkan persediaan terbatas atau stok barang hilang sama sekali dari pasar.
Terkait ini Rasulullah saw bersabda:
مَنِ احْتَكَرَ فَهُوَ خَاطِئٌ
“Barangsiapa yang menimbun maka dia adalah orang yang berbuat dosa/kesalahan.”
Ini perlu menjadi perhatian besar, praktik monopoli pasar sejatinya hanya subur di sistem kapitalisme. Sedangkan di sistem Islam, praktik ini tidak akan mungkin dibiarkan oleh negara. Karena dalam negara Islam, individu yang sadar akan kepentingan bersama tentu akan lebih menonjol dibandingkan dengan individu yang dibelenggu kapitalisme, yang hanya memikirkan diri sendiri dan mengabaikan kepentingan bersama.
Walaupun saat ini negara mengambil kebijakan dengan menghadirkan satgas pengendalian minyak goreng, tentu ini hanya menjadi kucing-kucingan antara pihak satgas dan pihak produsen. Pasalnya produsen di sistem kapitalis tentu lebih mencari untung dibanding mendahulukan kepentingan negerinya. Patriotisme yang ditinggalkan, miris.
Nyatanya pembentukan satgas tidak menjadi solusi. Seharusnya negara memiliki lebih besar lahan sawit dibandingkan pihak swasta, jika pun ada peran swasta di sektor ini, cukuplah mereka sebagai penghadir kualitas produk, bukan seutuhnya memiliki sebagian besar kepentingan sehingga menjadikan peran negara sebagai pengatur menjadi mundur ibarat pembebek. Tak memiliki harga diri lagi di depan swasta.
Keempat, Buruknya Distribusi dan Pendataan
Pentingnya pendataan antara penawaran (supply) dan permintaan (demand). Jika jumlah produksi berlebih dibandingkan jumlah kebutuhan normal masyarakat.
Sebagaimana yang diklaim oleh Khofifah bahwa produksi minyak goreng surplus 4 ribu ton, namun kenyataannya minyak goreng langka di pasaran, maka ada dua kemungkinan. Kemungkinan pertama datanya keliru, laporan yang diberikan hanya sekedar menyenangkan majikan semata. Kemungkinan kedua datanya benar, namun distribusinya yang macet atau ditahan oleh tangan-tangan tertentu.
Masalah ini pun bisa mudah ditangani jika ada kemauan dan keberanian untuk menindak pihak-pihak yang ‘memacetkan’ distribusi tersebut atau melakukan ‘pengelabuan’ data.
Permasalahannya adalah jika pihak-pihak tersebut adalah “pihak sendiri”, tentu akan terjadi tarik-ulur kepentingan; hal yang lumrah dalam sistem kapitalisme. Jika masalahnya di sini, maka solusinya tidak sesederhana itu, pergantian sistem, menjadi sistem yang menjalankan semua kebijakan di negeri ini untuk segera diatur dengan aturan Islam.
Pasalnya jika masih dengan sistem kapitalisme rakyat meminta solusi tuntas, maka yang muncul hanyalah solusi praktis yang tambal sulam. Masalah tidak akan pernah selesai di sistem kapitalisme, karena sistem ini adalah sistem yang bertolak belakang dengan fitrah manusia dan lebih mementingkan nafsu duniawi semata.
Rasulullah saw bersabda:
وَمَا لَمْ تَحْكُمْ أَئِمَّتُهُمْ بِكِتَابِ اللَّهِ وَيَتَخَيَّرُوا مِمَّا أَنْزَلَ اللَّهُ إِلَّا جَعَلَ اللَّهُ بَأْسَهُمْ بَيْنَهُمْ
“…Dan tidaklah pemimpin-pemimpin mereka enggan menjalankan hukum-hukum Allah dan mereka memilih-milih apa yang diturunkan Allah, kecuali Allah akan menjadikan bencana di antara mereka.”
Masalah minyak goreng adalah bencana bagi negeri ini. Ini hanya satu sektor saja. Belum lagi masalah besar negeri ini dibidang lainnya.
Jika ingin lepas dari bencana ini, kembalilah pada sistem yang paripurna, sistem Islam. Bukan lagi bertahan dengan sistem rusak yang menjerumuskan ke dalam kawah bencana yang kian besar saja. WalLâhu a’lam bi ash-shawwâb.***
Penulis Penulis, Pegiat Literasi Islam, Riau