Jakarta (Riaunews.com) – Hantaman virus Corona (COVID-19) terhadap perekonomian Indonesia begitu keras. Berbagai industri terutama sektor riil sudah kena imbas pandemi tersebut, belum lagi daya beli masyarakat anjlok, badai PHK, dan sebagainya.
Untuk selamat dari kondisi ini, pemerintah dinilai perlu mencetak uang dan dibagikan ke masyarakat dalam bentuk bantuan langsung tunai (BLT), seperti yang dilakukan Amerika Serikat (AS).
Namun, menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati hal tersebut tak mudah dilakukan di Indonesia. Ia mengatakan, jika tidak dihitung secara cermat bakal ada ancaman inflasi mengintai. Perlu dipikirkan pula supply and demand di pasar.
“Artinya kan ini orang menganggap persoalannya karena uang saja, sehingga ekonomi berhenti. Orang yang tadinya kerja, bisa belanja, perusahaan yang produksi barang bisa dapat revenue. Tapi sekarang ini orang di rumah, dia nggak belanja, terbatas, sehingga ekonomi berhenti,” ujarnya saat berbincang dengan pimpinan media massa secara virtual pekan lalu, dikutip Riaunews.com dari Detik Finance.
Mencetak uang sebanyak-banyaknya lalu dibagikan ke masyarakat, itu dinilainya punya dampak serius, salah satunya inflasi yang tinggi. Oleh sebab itu, pemerintah masih menyusun upaya-upaya yang bisa menyelamatkan perekonomian secara cermat.
“Makanya kita harus melihat secara cermat. Seberapa banyak kita harus gerojokin ekonomi biar tiba-tiba nggak malah berbalik jadi inflasi. Jadi aspirasi tetapi kita dengerin, tapi saya dan Bank Indonesia (BI) sama-sama kita jagain dan jangan lupa lagi situasi kaya gini jangan malah dianggap kita justru jadi merugikan negara,” jelasnya.
“BI kan juga takut karena mereka juga punya neraca. saya juga punya neraca pemerintah. Jangan sampai jebol salah satu atau dua-duanya. Jadi kita tetap menjaga dua-duanya, antara sustainabilitas dari fiskal dan ekonominya kita selamatkan. Kita sama-sama mengatur pace dan levelnya,” sambung mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia tersebut.
Sebagai informasi, kebijakan instan menggenjot percetakan uang sendiri salah satunya dilakukan oleh AS. Meski begitu, bank sentral AS (The Fed) bisa melakukan kebijakan itu sekaligus membeli surat utang pemerintah sebanyak-banyaknya lantaran dolar AS selama ini dipegang oleh seluruh dunia, sehingga risiko inflasinya kecil atau bahkan hampir tidak ada.***