Oleh: Uttiek M Panji Astuti
“Silakan Kyai. Ini kehormatan bagi kami,” katanya santun mempersilakan Kyai sepuh itu untuk naik ke atas mimbar.
Sedianya hari itu Buya Hamka yang terjadwal untuk memberikan khutbah Jumat di Masjid Agung Al Azhar. Namun ternyata KH Abdullah Syafi’i yang dijuluki “Macan Betawi” kebetulan shalat di tempat yang sama, karena ada satu urusan.
Buya dengan takzim mempersilakan menggantikan posisinya memberikan khutbah. Tak hanya itu, Buya juga meminta adzan dikumandangkan dua kali sebagaimana tradisi Nahdhiyin yang dipegang Kyai Syafi’i.
Tak disangkal, Buya yang sejak tahun 1950 bersama keluarganya pindah ke Jakarta menjadi dekat dengan para ulama Betawi.
Pada kesempatan berbeda, Buya diundang untuk hadir dalam perayaan Milad Gerakan Pemuda Anshor. Budayawan Betawi Alwi Shahab yang menjadi salah satu tuan rumah merekam kenangannya.
Saat itu Buya duduk bersebelahan dengan KH Idham Chalid. Ketika pembacaan asrakal pada Maulud Diba, Buya tak segan ikut berdiri dan membacanya. Tradisi yang sebenarnya tak dikenal di lingkungan Muhammadiyah.
Itulah Buya Hamka. Kepribadiannya yang lembut dan peka terhadap masalah-masalah sosial terbentuk dari pengalaman hidupnya yang penuh warna.
Gesekan-gesekan dengan lingkungan adat, perpisahan kedua orangtuanya, pengelanaan yang luar biasa hingga membawa langkah kakinya ke Tanah Suci di usia belia, membuatnya bisa menenggang perbedaan dengan sesama umat Islam.
Ia tak mempermasalahkan bila diminta mengimami shalat Subuh di masjid yang biasa membacakan doa qunut. Ia akan bertanya pada jamaah, apakah mau membacanya? Bila iya, ia pun akan melakukannya.
Ia tak akan meributkan hal-hal yang tak prinsip. Mengedepankan tasamuh atau toleransi selama masih dalam koridor sesama Muslim.
Namun jangan tanya ketegasan sikapnya bila Islam yang disinggung. Salah satunya ditunjukkan dengan menolak menghadiri pertemuan dengan Paus saat berkunjung ke Indonesia. Waktu itu misi permutadan sangat massif di Indonesia, sehingga Buya merasa perlu menunjukkan sikap.
Ia tak memberi ruang bila masalah akidah yang diusik. “Agama adalah akidah. Dan itu yang akan kita bawa sampai mati,” tegasnya.
Mengutip pendapat Ibn Khaldun yang menjelaskan bahwa dasar terpenting dalam dakwah adalah contoh dan keteladanan. Ulama harus memberikan contoh pada umat bagaimana indahnya ukhuwah dalam Islam.
Hari-hari ini kita menyaksikan, sesama Muslim saling tuding dan menyalahkan. Para ustadz yang seharusnya menjadi contoh keteladanan justru membingungkan. Yang tak sesuai dengan pendapatnya, dengan mudah disesatkan.
Keteladanan Buya Hamka dan pemikirannya menjadi sangat relevan . Ia mampu mebahasakan agama menjadi rumusan yang aktual dan mudah dipahami masyarakat awam. Bukan konsep normatif yang rigid (kaku) dan mengawang-awang.
Namun, siapa sangka sosok yang hebat itu ternyata masa kecilnya berurai air mata. Bagaimana kisahnya? Tunggu ya, saya akan terus membagikannya.***
Jakarta, 19/3/2021
Artikel ini sudah dipublikasi pertama kali di Republika.co.id
Eksplorasi konten lain dari Riaunews
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.