
Pekanbaru (Riaunews.com) – Sidang perkara dugaan korupsi anggaran rutin di Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Siak 2013-2017 kembali digelar di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Pekanbaru, Senin (3/5/2021). Empat saksi dihadirkan untuk terdakwa Yan Prana Jaya Indra Rasyid.
Empat orang saksi itu Muhammad Afandi, Muhammad Faisal, Herianto, dan Awaludin. Mereka bersaksi di hadapan majelis hakim Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Pekanbaru yang diketuai Lilin Herlina.
Affandi dalam keterangannya menyebutkan, beberapa kali melakukan perjalanan dinas pada 2017. Tiga di antara perjalanan itu dilakukan ke Pekanbaru.
Untuk awal, biaya perjalanan dinas ditanggung dengan uang pribadi. Setelah kembali ke Siak, dia membuat laporan administrasi dan mengajukan ke bendahara.
“Nanti baru uangnya keluar, tidak tentu (keluar uangnya). Tergantung dana yang ada,” tuturnya.
Uang diserahkan oleh bendahara pengeluaran tapi jumlahnya tidak sesuai dengan biaya yang diajukan. Ada pemotongan sebesar 10 persen. “Hanya diberitahu sama bendahara ada pemotongan tapi tidak dijelaskan untuk apa,” ucapnya.
Ia mengaku awal mengetahui ada pemotongan itu ketika mengambil biaya perjalanan dinas di bendahara. Namun hakim mempertanyakan keterangan saksi di BAP yang menyebutkan kalau pemotongan itu kebijakan Yan Prana selaku Kepala Bappeda Siak.
“Kenapa tidak menerangkan itu (di persidangan), padahal ada di BAP saudara? Kalau tidak disampaikan kenapa ditandatangani,” tanya hakim Lilin.
Affandi membantah memberikan keterangan itu di BAP meski membaca BAP. Menurut saksi, dirinya ketika itu tidak membaca kembali keseluruhan BAP dirinya. “Saya tidak tahu siapa yang menyuruh pemotongan (10 persen),” bebernya.
Hakim anggota Iwan Irawan juga mencecar Affandi terkait keterangannya di BAP. “Kok ada jawabannya ini (pemotongan atas kebijakan pimpinan Kepala Bappeda, red), kamu dipaksa apa gimana?” tanya dia.
Affandi menyatakan, ketika diperiksa oleh penyidik tidak ada paksaan. “Kalau kamu tidak tahu, kenapa kok ada jawaban kamu di (BAP) nomor 12?,” tanya hakim Iwan lagi. “Saya tidak tahu, saya tidak pernah menyatakan itu,” jawab saksi.
Ia pun menyatakan bantahan atas keterangannya di-BAP tersebut. Sembari mengatakan saat itu bendahara keuangan adalah Ade Kus Endang. “Ada dia (bendahara) bicara itu kebijakan pimpinan?,” tanya hakim kembali.
“Tidak ada,” jawab saksi.
Hakim kembali mengingatkan Affandi untuk jujur terkait siapa yang menyuruhmu memotong biaya perjalanan dinas.
“Yang saya ketahui itu ada pemotongan, tapi kebijakan siapa saya tidak tahu,” kata Afandi lagi.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) juga mencecar saksi apakah dirinya keberatan atas pemotongan uangnya sebesar 10 persen. “Atas pemotongan itu saudara keberatan atau tidak?,” tanya JPU.
Affandi menyatakan tidak keberatan karena pemotongan itu sudah kebijakan dan diikuti seluruh pegawai di Bappeda Siak. JPU meminta saksi untuk berkata jujur.
“Saudara sudah disumpah loh. Keterangan palsu itu ada pidananya. Tolong hargai persidangan ini,” ucap JPU mengingatkan saksi.
Ada tiga dana kegiatan yang diduga dikelola secara melawan hukum di masa Yan Prana. Yakni anggaran perjalanan dinas pada Bappeda Siak Tahun Anggaran (TA) 2013 – TA 2017, anggaran atas kegiatan pegadaan alat tulis kantor pada Bappeda Siak TA 2015 – TA 2017 dan pengelolaan anggaran makan minum pada Bappeda Kabupaten Siak TA 2013 – 2017.
“Terdakwa melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi. Memperkaya terdakwa sebesar Rp2.896.349.844,37 sebagai mana laporan hasil audit Inspektorat Kota Pekanbaru,” ujar JPU.
Atas perbuatannya, Yan Prana dijerat dengan Pasal 2 ayat (1), jo Pasal 3, Pasal 10 huruf (b), Pasal 12 huruf (f) Undang-undang (UU) Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.***
Sumber: Cakaplah