Jakarta (Riaunews.com) – Beberapa hari terakhir media diramaikan dengan pemberitaan sejumlah konflik lahan yang melibatkan pemerintah dengan masyarakat.
Kasus yang pertama adalah gagalnya relokasi warga terdampak proyek Rempang Eco City di Pulau Rempang. Yang kedua rencana eksekusi Hotel Sultan yang sampai sekarang tidak jelas kapan waktu pelaksanaannya.
Sekadar informasi, Pusat Pengelola Komplek Gelora Bung Karno (PPKGBK) menyampaikan bahwa akan menggunakan pendekatan persuasif dalam mengeksekusi lahan Blok 15 Kawasan GBK atau Hotel Sultan dari PT Indobuildco.
PPKGBK memberikan waktu kepada perusahaan milik konglomerat Pontjo Sutowo itu hingga sebelum akhir pekan ini, Jumat (29/9/2023), untuk mengosongkan area tersebut. PPKGBK mengatakan bahwa eksekusi itu berlandaskan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
Namun hingga saat ini belum ada tanda-tanda langkah tegas dari PPKGBK untuk mengeksekusi lahan yang tercatat sebagai aset negara tersebut.
“Kita minta agar mereka mengosongkan [Hotel Sultan] secara baik-baik, kita kan senang baik-baik sebagai masyarakat yang punya etika, kalau disana ada pemakai tanah orang lain berdasarkan izin dan izin sudah habis,” kata Tim Kuasa Hukum PPKGBK Chandra Hamzah sebagaimana dilansir Bisnis belum lama ini.
Chandra lalu mempertanyakan alasan PT Indobuildco bertahan di sana kendati Hak Guna Bangunan (HGB) miliknya sudah habis.
Untuk diketahui, HGB milik Indobuildco sebelumnya diterbitkan pada 1973 dan habis pada 2003 (berlaku selama 30 tahun). Perusahaan yang mendirikan Hotel Sultan itu lalu mengajukan perpanjangan HGB pada 2002 selama 20 tahun, dan berakhir belum lama ini di 2023.
Di sisi lain, Indobuildco juga menggugat Hak Pengelolaan (HPL) Blok 15 Kawasan GBK atas nama PPKGBK yang dikeluarkan Badan Pertanahan Nasional pada 1989. Gugatan perdata itu diajukan pada 2006, dan Indobuildco dinyatakan kalah.
Perusahaan milik anak dari Ibnu Sutowo itu lalu tercatat kalah dalam empat kali gugatan Peninjauan Kembali (PK). Mereka juga dinyatakan kalah dalam gugatan yang diajukan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta, yang didaftarkan 2023.
“Landasan hukumnya adalah tanah itu punya siapa. Keputusan PK berkali-kali [menyatakan] tanah itu punya PPKGBK, melalui HPL. Nah, mereka [Indobuildco] punya HGB, dan sudah habis, maka jadi bagian dari HPL,” tuturnya.
Di sisi lain, PT Indobuildco memastikan bahwa pihaknya saat ini masih merupakan pengelola sah Hotel Sultan yang berdiri di kawasan GBK.
Kuasa hukum PT Indobuildco, Hamdan Zoelva menjelaskan bahwa saat ini PT Indobuildco masih berhak atas HGB Hotel Sultan.
Adapun, landasannya didasarkan pada belum adanya putusan lanjutan mengenai pengajuan perpanjangan HGB yang telah diajukan oleh PT Indobuildco kepada Kepala Kanwil BPN/ATR DKI Jakarta tanggal 01 April 2021.
Hamdan juga menekankan, berakhirnya HGB No. 26 dan HGB No.27 pada bulan Maret dan April 2023 lalu secara hukum dinilai tidak menggugurkan hak Indobuildco untuk mengajukan pembaruan.
“Kalau HGB perpanjangan atau pembaharuan ditolak, itu [baru] berakhir. Penolakan HPL (hak pengelolaan) itu bukan akhir dari segalanya, karena hak masyarakat untuk memperpanjang dan memperbarui itu dalam istilah hukum pertanahan adalah mendapat prioritas yang diperbolehkan,” kata Hamdan dalam agenda konferensi pers yang digelar di Hotel Sultan, Jumat (15/9/2023).
Keras ke Warga Rempang
Di sisi lain, pemerintah sepertinya tetap memaksakan supaya proyek Rempang Eco City terealisasi meski ada penolakan dari warga Pulau Rempang. Pemerintah bahkan tetap berencana merelokasi warga Rempang.
Kabar terbaru, Badan Pengusahaan (BP) Batam akan mempersiapkan 2 opsi lokasi relokasi warga, yakni Tanjung Banon di Pulau Rempang serta Dapur 3 di Pulau Galang.
Keputusan tersebut menyusul hasil pertemuan dengan kementerian terkait serta Presiden Jokowi, Senin (25/9/2023) kemarin di Jakarta.
“Supaya tidak keliru, relokasi nanti ada 2 tempat, yakni Dapur dan Tanjung Banon. Relokasi pertama ke Tanjung Banon. Tim dari Kementerian PUPR sudah masuk untuk buka jalan dan tentukan lokasi,” kata Kepala BP Batam, Muhammad Rudi di Marketing Centre BP Batam, Selasa (26/9/2023).
Rudi juga mengungkapkan bahwa tidak ada lagi batas waktu pengosongan Wilayah Sembulang seluas 2.300 hektar, yang bakal digunakan Xinyi dan 13 perusahaan kompatriotnya untuk membangun pabrik kaca senilai Rp175 triliun.
“Pergeseran ke Tanjung Banon dan Dapur 3, semua tidak ada batas waktu lagi dari sekarang. Semua kita akan upayakan dengan pendekatan humanis,” ucapnya.
Mengenai hak-hak yang diperoleh Warga Sembulang, Rempang akan sesuai antara yang diperoleh di Dapur 3 maupun di Tanjung Banon. Kemudian, Sertifikat Hak Milik (SHM) juga akan diberikan.
“Rumah di Tanjung Banon dan Dapur 3 pasti sama, masing-masing dapat lahan 500 meter persegi. Satu unit rumah seharga Rp 120 juta akan diberikan juga,” ungkapnya.
Sementara itu, khusus di Dapur 3, tanahnya sudah menjadi Hak Pengelolaan Lahan (HPL) BP Batam. Kementerian ATR/BPN akan segera menyerahkannya dalam waktu dekat, sedangkan di Tanjung Banon masih dalam proses HPL BP Batam.
Untuk lahan yang akan digunakan sebagai lokasi relokasi permanen di Tanjung Banon seluas 300 hektar.
“Prosesnya semua akan menjadi HPL BP Batam. Setelah itu baru rumah dibangun pakai anggaran BP Batam, serah terima atau dihibahkan, lalu warga bisa mengajukan jadi SHM. Saya berani sampaikan karena sudah ada jaminan dari Menteri ATR/BPN,” paparnya.
Seperti yang diketahui, ada 5 kampung di Sembulang yang akan direlokasi, yakni Pasir Panjang, Pasir Merah, Sembulang Hulu, Sembulang Tanjung dan Belongkeng. Nama terakhir akan menjadi lokasi menara pengembang Pulau Rempang, yakni PT Makmur Elok Graha (MEG). Luas lahan untuk menara sebesar 350 hektar, yang akan dinamai Menara Rempang.
Mengenai rencana pemindahan, rencananya 1.000 KK dari 2.700 KK di Sembulang akan direlokasi ke Tanjung Banon. “Kalau Tanjung Banon 1.000 KK, maka nanti Dapur 3 1.700 KK, tapi kalau semuanya mau pindah ke Tanjung Banon, maka tidak ada masalah,” katanya lagi.
Selanjutnya terkait relokasi sementara sambil menunggu rumah jadi, Rudi menyebut ia sudah menonaktifkan pilihan rusun. “99,99 persen warga tidak mau ke rusun, karena ruang geraknya terbatas. Maka kami sediakan 500 ruko dan rumah tapak. Kami kasih uang sewa Rp 1,2 juta per bulan dan uang makan Rp 1,2 juta per orang sampai rumah mereka jadi,” pungkasnya.***
Sumber: Bisnis