Jumat, 29 November 2024

Gara-gara ojol, negara terjebak penyelesaian simbolis masyarakat kelas bawah

Ikuti Riaunews.com di Google Berita
 
Aktivitas pengemudi ojek online di tengah penerapan PSBB di Jakarta. (Foto: Antara via CNN Indonesia)

Jakarta (Riaunews.com) – Ojek online (ojol) jadi pembicaraan kala Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Pemerintah dibuat kalut saat membuat aturan PSBB yang sesuai agar ojek online masih dapat mencari nafkah di tengah wabah corona.

Sebelumnya, pemerintah pusat memperbolehkan sepeda motor berupa jasa ojol mengangkut penumpang. Namun, aturan Pemprov DKI Jakarta tidak memperbolehkan pengangkutan penumpang oleh ojol di saat penerapan PSBB.

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi sekaligus Plt Menteri Perhubungan Luhut Binsar Panjaitan sampai turun tangan untuk menjelaskan aturan PSBB berkaitan dengan operasional ojol. Ia mengatakan setiap pemerintah daerah berhak melarang atau memperbolehkan ojek online untuk mengangkut penumpang.

Izin mengangkut penumpang mengacu pada Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) Nomor 18 Tahun 2020 tentang Pengendalian Transportasi dalam Rangka Pencegahan Penyebaran Coronavirus Disease 2019.

Sedangkan pelarangan pengangkutan ada di Permenkes 9/2020 tentang Pedoman PSBB dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid-19.

Tak hanya soal pengangkutan penumpang, ojol juga diberikan promo pengembalian tunai (cashback) pembelian BBM nonsubsidi PT Pertamina (Persero) di tengah wabah corona.

Segala perlakuan khusus terhadap ojol ini kemudian menimbulkan pertanyaan. Apakah masyarakat di lapisan bawah hanya berprofesi sebagai ojol saja.

Pengamat budaya dan komunikasi digital dari Universitas Indonesia, Firman Kurniawan mengatakan perlakuan khusus ini bisa dijelaskan dari pendekatan komunikasi. Firman mengatakan ojol sudah menjadi simbol sebagai wakil dari profesi masyarakat yang ada di lapisan bawah.

“Semua aktivitas manusia pada hakikatnya adalah aktivitas simbolis dan interaksinya disebut sebagai interaksi simbolis. Itu terjadi secara sengaja maupun tak sengaja. Di sini berlaku, setiap benda dapat diwakili oleh benda lain dalam bentuk kata, suara, gambar, benda, maupun entitas lain, untuk membangun makna yang lain,” kata Firman saat dihubungi CNNIndonesia.com, Rabu (15/4/2020).

Firman memberikan contoh uang menjadi simbol perwakilan keadaan sejahtera, hingga gambar mobil banyak merupakan simbol keadaan sibuk.

“Setiap benda dapat mewakili keadaan yang lain. Tentu saja, soal makna, tergantung pada pemaknaan yang terikat ruang dan waktu,” ujar Firman.

Berdasarkan logika simbolis tersebut, Firman mengatakan ojek telah menempati posisi sebagai simbol perwakilan profesi masyarakat yang ada di lapisan bawah.

“Mereka terlihat jelas oleh masyarakat, yang terlibat pada pembuat kebijakan [pemerintah], maupun masyarakat yang mengalami perubahan secara drastis kehidupan mereka, akibat terganggunya rezeki, misalnya akibat penutupan akses jalan, physical distancing maupun perlambatan roda ekonomi,” ujar Firman.

Terjebak Pada Simbolis

Oleh karena itu, Firman mengatakan perlakuan khusus pemerintah terhadap ojek online merupakan representasi simbolis penanganan masyarakat lapisan bawah.

“Dalam manajemen komunikasi, dapat ditempuh aktivitas mengatasi kelompok yang terdampak ini pada yang representasi simbolisnya nampak jelas. Ini secara nyata dapat diindikasikan telah mengatasi masyarakat lapisan bawah yang lain. Ojek online merupakan indikator simbolisasi penanganan masalah,” kata Firman.

Namun sayangnya, Firman mengatakan dengan hanya memberi perhatian pada kelompok tertentu ini, cara penanganan pemerintah terhadap penyelesaian masalah ekonomi dan corona bisa terjebak pada penyelesaian simbolis. Firman mengatakan yang membutuhkan bantuan di luar profesi ojol juga banyak.

“Masyarakat lapisan bawah lain non ojek online sesungguhnya juga mengalami keadaan itu, bahkan banyak yang lebih parah. Namun perwakilan simbolnya tampil sebatas sebagai citra yang abstrak, samar samar,” tutur Firman.

Firman berharap agar pemerintah tidak bisa hanya melakukan penanganan simbolis, tapi harus terjun ke masyarakat secara aktual. Bukan hanya ojol dengan representasi simbolis kuat yang harus ditangani, tapi masyarakat luas yang secara aktual hidupnya mengalami dampak negatif akibat wabah corona.

“Dalam hal ojek online, kan banyak yang berkeberatan jika ia dianggap menyimbolkan masyarakat di lapisan bawah secara aktual. Banyak masyarakat di lapisan bawah yang menderita, bahkan lebih parah. Berpatokan pada yang simbolis saja, tak menyelesaikan persoalan,” ujar Firman.***


Eksplorasi konten lain dari Riaunews

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

 

Tinggalkan Balasan