Jakarta (Riaunews.com) – Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mengungkapkan 10 cara negara dalam menakut-nakuti warga dalam berekspresi.
Koordinator KontraS, Fatia Maulidiyanti mengatakan aparat kepolisian masih mendominasi pelaku pelanggaran kebebasan berekspresi.
“Kami mencatat beberapa cara negara dalam menakuti-nakuti warga dalam berekspresi tercermin dari berbagai kebijakan,” kata Fatia sebagaimana dikutip dari keterangan resmi, Kamis (6/1/2022).
Menurut Fatia, tindakan represif kerap menyasar orang-orang yang melancarkan kritik, seperti aktivis dan jurnalis. Lebih lanjut, Fatia menyebut tiga dari sepuluh cara negara menakut-nakuti warga dalam berekspresi dilakukan melalui surat telegram Kapolri.
Pada 4 April 2020, Kapolri Jenderal Idham Azis menerbitkan Surat Telegram Nomor ST/1100/IV/HUK.7.1.2020. Azis memerintahkan agar jajarannya menindak informasi palsu terkait kebijakan pemerintah dalam menangani pandemi.
“Surat ini tentu sangat berbahaya, sebab akan membuka celah yang sangat besar bagi Kepolisian untuk melakukan tindakan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power),” kata Fatia.
KontraS menilai, surat telegram Azis ini memperkuat anggapan bahwa polisi cenderung melakukan pendekatan keamanan dan penegakan hukum.
Surat itu juga dinilai membuat publik takut mengkritik kebijakan pemerintah. Di sisi lain, kata Fatia, tidak ada batasan yang jelas antara kritik dan penghinaan. Batas itu bergantung pada subjektivitas polisi.
“Surat telegram yang dikeluarkan oleh Kapolri tersebut seakan membuat masyarakat takut untuk mengkritisi kebijakan pemerintah,” ujar Fatia.
Surat telegram lainya adalah STR/645/X/PAM.3.2./2020 tentang Patroli Cyber Isu RUU Cipta Kerja. Menurut Fatia, surat ini menunjukkan watak represif kepolisian terhadap kelompok dengan pandangan berbeda dari pemerintah.
Melalui surat tersebut, Azis meminta agar jajarannya melakukan fungsi intelijen guna mencegah unjuk rasa dan mogok kerja, melakukan pemetaan di perusahaan dan memberikan jaminan dari pihak yang mencoba mengajak buruh mogok kerja dan unjuk rasa.
Selain itu, Azis juga memerintahkan agar jajarannya melakukan patroli cyber di media sosial. Ia meminta agar dilakukan kontra narasi terhadap isu yang menyudutkan pemerintah.
Selain itu, tidak ia meminta jajarannya di berbagai daerah tidak mengizinkan aksi unjuk rasa.
“Surat Telegram Jenderal Idham Azis menunjukkan watak represif institusi Kepolisian dalam menyikapi suara yang berbeda dengan narasi pemerintah,” tutur Fatia.
Surat telegram Kapolri lainnya adalah ST/750/IV/HUM.3.4.5./2021 tentang Pelaksanaan Peliputan Bermuatan Kekerasan dan/atau Kejahatan dalam Program Siaran Jurnalistik.
Fatia menduga melalui surat itu Kapolri ingin menunjukkan citra baik Korps Bhayangkara. Tindakan itu dilakukan dengan mempersempit ruang pers dan jurnalistik.
Surat ini juga dikhawatirkan menyasar warga yang mengunggah video bermuatan kekerasan oleh polisi. Belakangan, surat ini dicabut setelah viral di media sosial.
“Surat telegram ini tentu ingin menunjukkan citra baik Kepolisian dengan cara mempersempit ruang-ruang pers dan jurnalistik,” tutur Fatia.
Kebijakan lainnya adalah pembentukan virtual police atau polisi virtual melalui Surat Edaran Nomor: SE/2/11/2021. Menurut Fatia, pihaknya menerima banyak aduan dan mencatat teguran Virtual Police menyasar orang-orang yang aktif mengkritik pemerintah.
Mahasiswa Slawi, AM misalnya ditegur virtual police karena mengkritik Wali Kota Solo, Gibran Rakabuming Raka. Kemudian, akun Surabaya Melawan ditegur karena mengkritik kunjungan Jokowi ke NTT yang menimbulkan kerumunan.
“Langkah-langkah yang ditempuh virtual police ini bersifat menindak dan mengatur ekspresi warga negara,” kata Fatia.
Sementara, enam cara negara menakut-nakuti warga berikutnya adalah kriminalisasi dengan Undang-Undang (UU) Karantina Kesehatan, somasi oleh pejabat publik kepada aktivis yang mengkritik, dan, penangkapan pemenang poster, dan penghapusan mural.
Kemudian, Maklumat Kapolri Nomor MAK/2/III/2020 tentang Kepatuhan Terhadap Kebijakan pemerintah dalam Penanganan Penyebaran Virus Corona atau Covid-19, serta pelibatan TNI dan BIN dalam menangani pandemi.
Bertolak pada 10 cara negara menakut-nakuti warga itu, Fatia mendesak agar Presiden Joko Widodo menghentikan upaya pembungkaman kritik. Fatia juga meminta Polri tidak menerbitkan aturan yang membatasi kritik.
“Kepolisian juga harus berhenti melakukan tindakan represif dan kriminalisasi terhadap masyarakat yang menyampaikan kritik,” kata Fatia.***