Jakarta (Riaunews.com) – Presiden Joko Widodo (Jokowi) membuka keran ekspor pasir laut setelah meneken Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut pada medio tahun lalu.
Setahun setelahnya, Menteri Perdagangan (Mendag) Zulkifli Hasan lantas menerbitkan aturan turunan yakni Permendag Nomor 20 Tahun 2024 dan Permendag Nomor 21 Tahun 2024.
Kedua Permendag ini menjadi penanda resmi dibukanya keran ekspor pasir laut dari Indonesia.
Sebelumnya, sejak tahun 2003 atau selama kurun waktu 20 tahun, aktivitas mengeruk pasir laut untuk kemudian dijual ke luar negeri dilarang pemerintah.
Jokowi sendiri mengizinkan ekspor pasir laut dengan dalih pembersihan atau pengendalian sedimentasi. Izin ekspor pasir laut hasil kerukan itu secara khusus diatur dalam Pasal 9. Hasil pengerukan pasir laut dari aktivitas pembersihan sedimentasi bisa dijual ke luar negeri dengan syarat kebutuhan dalam negeri sudah tercukupi.
Saat masih dilegalkan, ekspor pasir laut paling banyak dikirim ke Singapura. Negara ini sangat diuntungkan dengan kebijakan pemerintah Indonesia yang mengizinkan penjualan pasir pantai untuk menguruk daratan Negeri Singa tersebut.
26 Pulau di Kepri Hilang
Melansir Harian Kompas, pengerukan pasir untuk reklamasi Singapura berasal dari Kepulauan Riau.
Data yang dirilis oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan mencatat bahwa sampai tahun 2009, sebanyak 26 pulau kecil di wilayah Riau telah menghilang karena erosi pantai yang disebabkan oleh penambangan pasir laut secara besar-besaran.
Kasus ini menjadi perhatian serius bagi masyarakat dan pemerintah terkait kerusakan lingkungan akibat aktivitas penambangan pasir laut.
“Sangat disayangkan pemerintah belum belajar dari kasus hilangnya beberapa pulau kecil di sekitar perairan Riau akibat penambangan pasir laut,” kata Suhana, Wakil Sekretaris Umum Pandu Laut Nusantara, seperti dikutip dari Batamnow.com.
Sejak 1976 hingga 2002, pasir dari perairan Kepri dikeruk untuk mereklamasi Singapura. Volume ekspor pasir ke Singapura sekitar 250 juta meter kubik per tahun. Pasir dijual dengan harga 1,3 dollar Singapura per meter kubik.
Saking masifnya aktivitas pengambilan pasir di Kepri, membuat daratan Pulau Nipah yang masih masuk wilayah Kota Batam nyaris tenggelam karena abrasi.
Daratan Singapura Makin Luas
Dikutip dari laman resmi National Library Board Singapore, reklamasi sejatinya sudah dilakukan jauh sebelum Singapura lepas dari Inggris dan Malaysia.
Aktivitas reklamasi sebenarnya sudah dilakukan di Singapura sejak era Kolonial Inggris, terutama di era Stamford Raffles.
Kala itu, Inggris memulai reklamasi pertamanya dengan menguruk kawasan sekitar muara Singapore River pada tahun 1819. Kawasan itu sebelumnya adalah rawa-rawa hutan bakau yang dipenuhi nyamuk.
Kawasan bekas reklamasi Inggris itu kini dikenal dengan Telok Anyer Road dan Beach Road.
Namun dari era Inggris hingga kemudian Singapura menjadi bagian Federasi Malaysia, aktivitas reklamasi relatif tak terlalu banyak.
Pengurukan laut menjadi daratan mulai masif dilakukan setelah negara ini memisahkan diri dari Malaysia.
Proyek reklamasi besar pertama pasca-kemerdekaan adalah Reklamasi Pantai Timur (East Coast Reclamation). Proyek ini dijuluki dengan Great Reclamation. Proyek ini menargetkan lahan baru seluas 1.525 hektar di sepanjang wilayah pantai sisi tenggara negara ini.
Proyek-proyek reklamasi di Singapura sendiri selama ini dijalankan oleh Housing and Development Board (HDB), lembaga yang mengatur pembangunan gedung dan perumahan di seluruh Singapura.
Singapura butuh tambahan daratan seluas-luasnya, mengingat kebutuhan lahan untuk pembangunan hunian vertikal yang dibangun HDB semakin masif, sementara negara pulau ini memiliki lahan sangat terbatas.
Namun pertama-tama sebelum Great Reclamation digeber, proyek percontohan dilakukan oleh HDB pada tahun 1963 untuk mereklamasi 48 hektare di area Bedok.
Pekerjaan di lokasi Reklamasi Pantai Timur dimulai secara resmi pada tahun 1966 dan berlanjut selama 30 tahun yang dibagi dalam tujuh tahap.
Tahap I dan II dari Bedok hingga ujung Tanjong Rhu berlangsung antara tahun 1966 dan 1971, menghasilkan 458 hektare lahan serta area berupa sempadan pantai berpasir sepanjang 9 km. Fase III dan IV dimulai secara bersamaan pada tahun 1971 di kedua ujung jalur Pantai Timur yang baru direklamasi.
Ketika pekerjaan selesai pada tahun 1975, Tahap III kemudian menambah luas daratan sebanyak 67 hektar di depan Tanjong Rhu dan Queen Elizabeth Walk.
Sedangkan Tahap IV menambah 486 hektar dari Bedok ke Tanah Merah Besar. Fase V melibatkan reklamasi Cekungan Telok Ayer. Dimulai tahun 1974, reklamasi itu memperluas tepi pantai yang sudah direklamasi seluas 34 hektar dan memperluas cekungan.
Setelah fase ini selesai pada tahun 1977, reklamasi membentuk kawasan baru yang kini dikenal dengan Marina Center.
Tahun 1979, Fase VI dan VII dilanjutkan, yakni memperluas tepi pantai Tanjong Rhu dan Telok Ayer Basin yang baru direklamasi untuk menciptakan Marina East dan Marina South.
Bersama dengan Marina Centre, lahan-lahan petak hasil reklamasi ini membentuk kawasan reklamasi baru seluas 660 hektar yang disebut Marina City dan kemudian Marina Bay.
Total biaya proyek Pantai Timur adalah 613 juta dollar Singapura. Pasir-pasir ini kebanyakan diimpor dari Kepulauan Riau, Indonesia.
Pasir-pasir dari Kepri ini kemudian diangkut dengan kapal-kapal tongkang lalu kemudian diangkut menuju ke area reklamasi, pasir yang selesai diuruk kemudian diratakan dan dikuatkan dengan eskavator.
Seluruh operasi dilakukan sepanjang waktu, kontruksinya dilakukan dengan membangun daratan menjorok atau tanjung terlebih dahulu guna melindungi garis pantai dari ombak, baru kemudian diuruk di bagian tengahnya.
Lahan reklamasi sebagian besar digunakan untuk tujuan komersial dan perumahan.
Di pantai timur, perumahan seperti Marine Parade dan Katong bermunculan, menyediakan hunian bagi sekitar 100.000 penduduk.
Berkat reklamasi, luas daratan Singapua sebelum merdeka dari Malaysia adalah 578 kilometer persegi. Saat ini, luasnya sudah bertambah 719 kilometer alias sudah bertambah 25 persen lebih.***