Minggu, 27 Oktober 2024

Mas Nadiem, Menteri Dengan Program Copy-Paste?

Ikuti Riaunews.com di Google Berita
 
Nadiem Makarim
Mendikbud Nadiem Makarim.

Jakarta (Riaunews.com) – Nadiem Makarim punya sejumlah julukan semenjak namanya kian dikenal sebagai menteri pendidikan dan kebudayaan. Paling beken, dia sering disapa ‘mas menteri’ karena usianya yang tergolong muda.

Kini julukan lain disinggung dapat menggambarkan ragam upaya dan langkah Nadiem dalam membenahi dunia pendidikan. Ia disebut-sebut doyan ‘copy paste’ kebijakan lama yang disulap menjadi program baru di kementerian.

“Harus diakui mendikbud kita urusan copy paste, plagiasi, contek karya orang lain, bukan hal baru,” kata pengamat pendidikan dari Vox Populi Institut Indonesia Indra Charismiadji ketika dihubungi CNNIndonesia.com, Rabu (10/2/2021).

“Kita lihat program-program beliau mulai dari Merdeka Belajar, Sekolah Penggerak, Guru Penggerak, Organisasi Penggerak, portal Guru Belajar itu kan copy paste semua dari Sekolah Cikal,” imbuhnya lagi.

Pernyataan Indra itu disampaikan merespons program baru Nadiem, Kampus Mengajar. Melalui program itu, ia mengajak mahasiswa membantu guru mengajar siswa Sekolah Dasar (SD) di daerah 3T (tertinggal, terdepan dan terluar).

Program ini dinilai mirip-mirip dengan kegiatan sebuah lembaga nirlaba di bidang pendidikan yang dibentuk mendikbud dua generasi di belakang Nadiem, Anies Baswedan. Ketika masih menjabat rektor Universitas Paramadina, gubernur DKI itu membentuk Indonesia Mengajar.

Indra menyatakan kemiripan antara program Nadiem dan pihak lain bukan hanya ini. Kejadian serupa, menurutnya, sempat tercium di pertengahan tahun lalu ketika pria kelahiran Singapura itu diserbu isu ‘mencuri’ merek dagang milik sekolah swasta, Sekolah Cikal.

Sederet kebijakan Nadiem di dunia pendidikan diberikan julukan ‘Merdeka Belajar’. Benang merahnya, setiap kebijakan yang dia buat bertujuan memberikan fleksibilitas kepada peserta didik dan pendidik untuk membuat inovasinya sendiri di dunia pendidikan.

Banyak pihak mempertanyakan nama Merdeka Belajar yang ternyata secara hukum milik pihak swasta. Pendiri Sekolah Cikal, Najeela Shihab, mengakui dia adalah pemilik resmi slogan itu. Merdeka Belajar merupakan salah satu program pelatihan guru yang dia buat sejak 2015. Buntutnya, merek itu dihibahkan ke Kemendikbud.

Najeela bahkan menerbitkan buku dengan judul ‘Merdeka Belajar di Ruang Kelas’ pada 2017, khusus mengulik konsep pendidikan itu. “Proses belajar yang bermakna mensyaratkan kemerdekaan guru dan murid dalam menentukan tujuan dan cara belajar yang efektif,” tulis rangkuman di balik sampul bukunya.

Meremehkan Pendidikan Dasar

Selain bukan inovasi baru, Indra menilai Kampus Mengajar juga bukan strategi yang tepat jika tujuannya untuk membenahi kendala pembelajaran karena pandemi covid-19. Saat meluncurkan program itu, Nadiem mengatakan mahasiswa bisa jadi agen perubahan yang bakal membantu proses belajar di jenjang pendidikan dasar.

“Anak mahasiswa disuruh ngajar, pertanyaannya adalah kualifikasi apa yang dimiliki anak-anak kita ini disuruh ngajar adik-adik kelasnya? Apa mereka punya kapasitas? Ini yang bisa membuktikan ternyata pemerintah menganggap enteng, menganggap remeh,” tuturnya.

Wakil Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Fahrizal Martha Tanjung mengatakan yang dibutuhkan sekolah di daerah 3T bukan tenaga pendidik dari kalangan mahasiswa. Tapi jaringan internet dan dukungan gawai untuk belajar daring.

Ketika kedua hal tersebut mereka tak punya, pembelajaran tatap muka jadi satu-satunya solusi yang paling ampuh. Dan menurut Fahrizal ini sudah diberikan Nadiem dengan menetapkan SKB 4 Menteri yang mengizinkan sekolah di semua zona dibuka dengan syarat.

“Malah justru lebih tepat mahasiswa membantu siswa-siswa yang belajar daring dengan model KKN (Kuliah Kerja Nyata). Karena dalam pembelajaran daring banyak kendala, karena banyak yang belajar satu arah dengan menggunakan Whatsapp saja,” ucapnya.

“Kalau di daerah 3T dengan anjuran melaksanakan pembelajaran tatap muka saya kira sudah ketemu solusinya,” lanjut dia.

Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji mempermasalahkan kegiatan Kampus Mengajar yang menurut dia tak jauh berbeda dengan KKN di kampus. Hanya saja mahasiswa di program ini bukan cuma diimingi nilai, tapi juga uang kuliah hingga Rp2,4 juta dan biaya hidup Rp700 ribu per bulan.

Karena cenderung tumpang tindih dengan kegiatan yang sudah berjalan dan implementasinya yang belum tentu berdampak besar, ia khawatir ujung-ujungnya program ini hanya buang-buang anggaran negara. Dengan kuota jumlah peserta sekitar 15 ribu orang, artinya dibutuhkan setidaknya Rp67,5 miliar untuk menjalankan program ini.

“Kalau tidak dipersiapkan dengan matang dan tidak ada program yang berkesinambungan dan berkelanjutan, ya itu pasti ujung-ujungnya adalah pemborosan, buang-buang anggaran,” ujar Ubaid.***

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *