Jakarta (Riaunews.com) – Secara prinsip Proyek Strategis Nasional (PSN) dibangun karena kebutuhan mendesak dan untuk kepentingan umum.
Tapi prinsip itu mengalami pergeseran, PSN bukan lagi karena kebutuhan mendesak di suatu daerah tapi karena ada motif lain seperti permintaan pengusaha tertentu kepada pemerintah sehingga langsung dikabulkan.
Seperti dilansir Inilah.com, Kepala Departemen Advokasi Kebijakan dan Pengembangan Jaringan KPA Nasional, Roni Septian Maulana, menilai pemerintah saat ini sangat gampang memberikan skema PSN kepada perusahaan swasta, terlebih mereka yang memiliki hubungan dekat dengan kekuasaan, akibatnya PSN yang dijalankan tidak sesuai dengan prinsip kepentingan umum.
Pemerintah dinilai terlalu mudah mengabulkan permohonan dari perusahaan, termasuk dengan entengnya memberikan skema PSN.
Oleh sebab itu, Roni menilai kebijakan yang dijalankan pemerintah hanya demi kepentingan bisnis. Semakin mudahnya penentuan PSN oleh pemerintah memunculkan risiko yang cukup kompleks, seperti hilangnya kontrol publik mengenai pendanaan dan fasilitas yang lain, kerusakan alam dan konflik berkepanjangan, serta korupsi pengadaan tanah.
Salah satu contoh korupsi pengadaan tanah terjadi di PSN KIHI Bulungan, Kaltara. Perusahaan yang terlibat dalam PSN itu berupaya untuk mengambil tanah milik warga setempat, baik secara cuma-cuma maupun dibeli dengan harga yang sangat murah.
Roni menyebut, di dalam pembelian tanah tersebut terdapat banyak makelar (broker) yang berupaya mencari keuntungan, bisa saja broker tanah itu menjual dengan harga tinggi ke perusahaan sementara saat membeli ke masyarakat hanya dihargai Rp6.000, bahkan ada yang Rp3.500 per meter. Brokernya bukan hanya dari kalangan swasta, ada pula dari kalangan pemerintah yang turut mencari cuan dengan adanya PSN itu.
“Di kecamatan sampai di tingkat desa itu ada juga brokernya. Oknum polisi, BPN, pemda, tokoh agama dan lain sebagainya. Akhirnya harga-harga yang melewati banyak broker ini semakin turun ke masyarakat, ke petani. Itu cuma 35 juta per hektar. Artinya 3.500 per meter persegi. Bayangkan, itu pasti ada korupsinya tidak mungkin enggak,” Roni mengungkapkan.
Selain itu, ada juga tanah warga yang diambil secara tiba-tiba tanpa diberikan ganti rugi, tapi pihak panitia pengadaan tanah yang merampas itu kemudian melaporkan kepada perusahaan bahwa dirinya sudah membebaskan tanah.
Mereka menyampaikan luas dan harga ganti rugi yang harus dibayarkan, namun uang ganti rugi tersebut tidak diterima oleh masyarakat karena sudah masuk ke kantong para panitia pengadaan tanah.
Pengamat kebijakan publik Agus Pambagio, juga mengkritisi kebijakan PSN yang lebih condong pro konglomerasi besar. PSN, yang awalnya dimaksudkan untuk mendorong pembangunan di daerah-daerah tertinggal, justru dinilai gagal mencapai tujuan tersebut. “PSN itu seharusnya diberikan untuk mengembangkan daerah yang belum berkembang, bukan kepada konglomerat yang sudah mapan,” kata Agus, Senin, 25 November 2024.
Agus juga menyoroti potensi operasi-operasi nakal yang muncul akibat kebijakan ini. Soalnya kata Agus, proyek pembangunan akbar semacam PSN ini menjadi ladang bagi konglomerasi besar untuk menekan masyarakat.
Ia berpendapat pengusaha properti seringkali memanfaatkan oknum untuk mempermudah proses perolehan tanah, yang kemudian dibeli dengan harga yang jauh lebih murah daripada nilai pasar (NJOP). Menurutnya, kebijakan ini menciptakan celah bagi praktik korupsi yang merugikan masyarakat kecil.***
Eksplorasi konten lain dari Riaunews
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.