Senin, 25 November 2024

Alarm! Festival Perang Air Cian Cui, Undang Bencana Alam Datang Ke Tanah Melayu Selatpanjang

Ikuti Riaunews.com di Google Berita
 
Yenni Sarinah

Oleh : Yenni Sarinah, S.Pd

PASCA pandemi, 2 tahun perayaan Perang Air Cian Cui di Selatpanjang – Kabupaten Kepulauan Meranti, Riau – vakum. Bagaimana pandangan Islam tentang perayaan ini? Mengapa Islam melarang segala bentuk ikon kemaksiatan untuk diikuti oleh penganut agama Islam?

Perang Air akan dilaksanakan pada 22 Januari hingga 26 Januari 2023 bertepatan pada perayaan Imlek. Sempat vakum selama dua tahun akibat pandemi Covid-19, Festival Perang Air di Kabupaten Kepulauan Meranti, Riau akan kembali diselenggarakan. (m.goriau.com, 17/01/2023)

Berita ini disambut gembira justru oleh sebagian besar umat Islam Selatpanjang yang dengan syiar agamanya sendiri, mereka tidak tepat janji pada syahadat yang mereka ikrarkan ketika berIslam. Dan ini menjadi alarm, betapa peran ulama tidak begitu tampak dalam membina generasi Islam Selatpanjang sehingga mereka berIslam selayaknya kapas yang ringan, mudah dibawa kemana angin meniupnya.

Mengenal Festival Perang Air Cian Cui

Dilansir dari link kebudayaan.kemdikbud.go.id (03/02/2017), Festival Perang Air (Cian Cui), suatu tradisi unik dalam rangka memeriahkan Imlek di kota Selatpanjang, Kepulauan Meranti, Provinsi Riau. Perang Air (Cian Cui) dilaksanakan selama 6 hari berturut-turut. Masyarakat berkumpul di pinggiran jalan dan sebagian mengelilingi kota Selatpanjang dengan menggunakan becak untuk saling menyiram air dengan menggunakan pistol air atau melempar kantong plastik atau balon yang berisi air.

Awalnya tradisi ini dikenal dengan Perang Air, tetapi mulai tahun 2016 lalu dilakukanlah pergantian nama menjadi Cian Cui. Kabupaten Kepulauan Meranti memang sudah dikenal sebagai pemilik tradisi perang air. Helat tahunan ini dipandang unik dan di dunia hanya dilaksanakan di dua negara, yakni di Thailand dengan sebutan Songkran, dan di Indonesia persisnya di Selatpanjang, Kabupaten Kepulauan Meranti, Riau, yang belakangan perang air.

Hukum Merayakan Hari Raya Agama Selain Islam

Haram hukumnya seorang muslim turut merayakan hari raya agama lain, baik dengan mengikuti ritual agamanya maupun tidak, termasuk juga memberi ucapan selamat, berdo’a bersama, hingga meramaikan festival yang khas pada hari raya orang kafir tersebut.

Merayakan hari raya agama lain haram hukumnya karena perbuatan itu termasuk menghadiri atau mempersaksikan suatu kebohongan/kebatilan. Allah SWT berfirman : “Dan (hamba-hamba Tuhan Yang Maha Penyayang itu ialah) orang-orang yang tidak menghadiri kebohongan…” (QS Al-Furqan [25] : 72).

Kalimat “laa yasyhaduuna az-zuur” dalam ayat itu menurut Ibnu Taimiyah maknanya yang tepat adalah “tidak menghadiri kebohongan (az-zuur)”, bukan “tidak memberikan kesaksian palsu”. Sedang kata “az-zuur” itu sendiri oleh sebagian tabi’in seperti Mujahid, adh-Dhahak, Rabi’ bin Anas, dan Ikrimah artinya adalah hari-hari besar kaum musyrik atau kaum jahiliyah sebelum Islam (Imam Suyuthi, Al-Amru bi Al-Ittiba’ wa An-Nahyu ’An Al-Ibtida(terj.), hal. 91-95; M. Bin Ali Adh-Dhabi’i, Mukhtarat Iqtidha Shirathal Mustaqim (terj.), hal. 59-60). Jadi, ayat diatas adalah dalil haramnya seorang muslim untuk merayakan hari-hari raya agama lain, seperti hari Natal, Waisak, Paskah, Imlek, dan sebagainya.

Selain itu, seorang muslim yang turut merayakan hari raya agama lain, berarti telah menyerupakan dirinya dengan kaum kafir. Padahal Islam telah mengharamkan muslim untuk menyerupakan dirinya dengan kaum kafir pada hal-hal yang menjadi ciri khas kekafiran mereka, seperti hari-hari raya mereka. Hadits Nabi SAW,“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum maka ia termasuk golongan mereka.” (HR Abu Dawud) (Lihat Syaikh bin Baz, Penjelasan Tuntas Hukum Seputar Perayaan, hal. 76)

Mengucapkan selamat hari raya dan berdoa bersama juga haram hukumnya, karena masih termasuk perbuatan mempersaksikan kebohongan atau menyerupakan diri dengan kaum kafir.

Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah berkata,”Adapun memberi ucapan selamat yang terkait syiar-syiar kekufuran yang menjadi ciri khas kaum kafir, hukumnya haram menurut kesepakatan ulama, misalnya memberi selamat atas hari raya atau puasa mereka…” (Ahkam Ahli Adz-Dzimmah Juz I/162)

Festival Cian Cui Bertentangan Dengan Fitrah Keislaman Masyarakat Meranti

Sempena perayaan Imlek, Festival Perang Air atau Cian Cui yang dilakukan masyarakat etnis Tionghoa selalu menjadi polemik di tengah-tengah masyarakat. Hal yang paling utama menjadi sorotan adalah ketika perang air dilakukan dengan kehadiran banyak peserta yang mengenakan busana yang terlihat seksi, sehingga bentuk tubuh tampak transparan ketika dalam kondisi basah terkena siraman air.

Mengingat Kepulauan Meranti merupakan tanah Melayu yang menjunjung tinggi adat istiadat serta syariat Islam. Secara tidak langsung Festival ini mencoreng habis budaya Melayu yang bersendikan Syara’ dan Kitabullah.

Apalagi festival rusak sebegini begitu antusias diramaikan justru oleh kalangan remaja muslim Meranti. Dan dengan sikap netralnya Pemerintah daerah dan Lembaga Adat Melayu Kabupaten Kepulauan Meranti, menjadi bukti bahwa pemegang kekuasaan lemah dalam membendung efek buruk budaya ini bagi sebagian besar masyarakat Selatpanjang yang notabenenya beragama Islam.

Seharusnya budaya ini dilakukan secara tertutup, bukan disyiarkan sebagai ikon budaya yang bernilai positif. Jika pun ingin diadakan secara besar-besaran khusus bagi penganut agama Buddha dan wisatawan asing, hendaknya terlarang dipertontonkan di hadapan khalayak generasi muda Islam. Perkara ini penting karena terkait dengan perusakan akidah umat Islam di Selatpanjang.

Faktanya, remaja Islam Selatpanjang masih labil dalam mengambil sikap untuk dirinya dan kemuliaan agamanya.

Masih banyak budaya lain yang bisa dianggap menjadi ikon budaya tanah Melayu yang tidak mencoreng harkat dan martabat budaya Melayu serta tidak menginjak-injak akidah umat Islam di tanah Melayu, Selatpanjang.

Festival Budaya Perusak Akidah, Butuh Aturan Islam

Inilah bukti nyata ketika sistem Islam tidak diterapkan pada level Negara, Negara menjadi lemah dengan dalih toleransi yang tidak pada tempatnya dan moderasi beragama yang tidak layak porsinya.

Padahal ketika sistem Islam memimpin dalam kancah bernegara, mereka para kafir dzimmi pun aman dan nyaman merayakan hari raya mereka dan budaya mereka pada perkampungan mereka, khusus untuk sesama mereka. Tanpa merusak generasi Islam disekitar mereka.

Sistem Islam menjamin keamanan pemeluk agama selain Islam selama mereka mau tunduk pada aturan Islam. Dengan demikian, negara mampu membendung banyak kerusakan pada generasi jauh hari sebelum kerusakan itu kian parah di depan mata dan merusak sendi tatanan sosial lainnya.

Semoga Festival yang khas pada ajaran agama tertentu ini dikoreksi oleh penguasa di tanah Melayu Selatpanjang demi menjaga harkat dan martabat manusia agar berjalan di atas norma kehidupan yang sewajarnya.

Selatpanjang tidak layak menjaja dan membanggakan ikon budaya maksiat. Karena laut begitu dekat, jangan menjadi punca air laut naik karena melawan aturan pencipta manusia, alam semesta dan kehidupan. Sebagaimana Aceh pernah diratakan dengan tsunaminya.

Waspadalah. Wallahu a’lam bish-shawab.***

 

Penulis, Pegiat Literasi Islam Selatpanjang, Tim Media Komunitas Remaja Muslimah Meranti, Riau

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *