Oleh : Yenni Sarinah, S.Pd
KOTA Layak Anak (KLA) yang dicanangkan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemeneg PPPA) mengajak Kabupaten Kepulauan Meranti yang masih menjadi ikon Kabupaten 3T (Terdepan, Terbelakang, Terpencil) untuk bangkit bersama memfasilitasi program KLA tersebut. Apa yang terselubung dari program KLA?
Kabupaten Kepulauan Meranti selangkah lagi menuju KLA tingkat utama, yaitu dengan menerbitkan peraturan bupati (Perbup) Percepatan Kabupaten Kepulauan Meranti menuju KLA. Namun, hal ini tidak akan berjalan mulus apabila kesadaran masyarakat akan pentingnya KLA masih rendah. Apalagi dukungan pemerintah, dunia usaha, organisasi dan masyarakat pun belum terlihat jelas. Karena persyaratan KLA mengharuskan Operasi Perangkat Daerah (OPD) berkomitmen dalam menyediakan fasilitas dan pelayanan ramah anak. (riau.antaranews.com, 25/01/2023)
Dilansir dari Republika.co.id (20/11/2014), pada tanggal 19 November 2014, Deputi Tumbuh Kembang Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, menyatakan bahwa pada tahun 2014 Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak mentargetkan terwujudnya 100 kota/kabupaten layak anak (KLA), sedangkan pada tahun 2018 Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) menargetkan 400 kabupaten dan kota dapat menjadi Kota Layak Anak (KLA).
Dengan semangat yang menggebu, Kabupaten Kepulauan Meranti yang masih termasuk dalam Kabupaten 3T menyatakan optimis mampu meraih KLA peringkat satu. Namun, kita tak bisa menutup mata bahwa kabupaten ini pernah rusuh di tingkat Nasional karena kemiskinannya. Bupati Kepulauan Meranti Muhammad Adil dalam beberapa kali ekspos mengatakan, angka kemiskinan di Kepulauan Meranti adalah yang terbesar di Provinsi Riau dan di Sumatera, yakni sebesar 25,68 persen. (portalberitaeditor.com, 14/12/2022).
Bahaya, KHA dan KLA Bertentangan dengan Syiar Islam
Indonesia adalah Negara yang telah meratifikasi Konvensi Hak-Hak Anak (KHA) dan berkomitmen membangun Indonesia Layak Anak. Undang-undang yang berorientasi pada hak-hak anak seperti yang tertuang dalam Konvensi Hak-hak Anak (KHA) berusaha mewujudkan Indonesia Layak Anak lewat pengesahan UU No. 23 Tahun 2022 tentang Perlindungan Anak pada 22 Oktober 2002.
Ratifikasi Konvensi Hak-Hak Anak (KHA) ini telah disahkan dengan Keppres No. 36/1990 pada tanggal 25 Agustus 1990 dan terikat pada ketentuan Konvensi Hak-hak Anak (KHA) sejak 05 Oktober 1990. Indonesia pun ikut menandatangani Deklarasi World Fit for Children (WFC) atau Deklarasi Dunia Layak Anak (DLA) pada tanggal 10 Mei 2002 pada saat Sidang Umum PBB ke-27 khusus mengenai Anak (27th United Nations General Assembly Special Session on Children).
Pada Permen nomor 11 tahun 2011, Kota Layak Anak (KLA) didefinisikan sebagai kabupaten/kota yang mempunyai sistem pembangunan berbasis hak anak melalui pengintegrasian komitmen dan sumberdaya pemerintah, masyarakat dan dunia usaha yang terencana secara menyeluruh dan berkelanjutan dalam kebijakan, program dan kegiatan untuk menjamin terpenuhinya hak anak.
Pertama, Karena Adanya Konsep Ham Dan Kesetaraan Gender Yang Merusak
Melalui Konvensi Hak-Hak Anak (KHA) terlihat jelas ada upaya global yang terselubung untuk mewujudkan hak anak seperti Dunia Layak Anak (DLA) yang disandingkan pula dengan konsep Hak Asasi Manusia (HAM) dan kesetaraan gender yang secara konsepnya jelas bertentangan dengan Islam yang dianut oleh mayoritas penduduk Indonesia.
Hak Asasi Manusia (HAM) adalah cara barat menentang perintah tuhan semesta alam, HAM juga membatasi penafsiran atas agama sesuai dengan arus yang dikampanyekan yaitu Kesetaraan Gender secara global. Praktik agama yang dianggap membahayakan hak anak yang merupakan syiar Islam seperti praktik sunat perempuan dan pernikahan. Pasalnya, praktik ini dianggap membawa dampak negatif, sehingga semua praktik agama yang berlandaskan ajaran agama akan dilarang karena dianggap bertentangan dengan tujuan Pemenuhan Hak Anak versi Konvensi Hak-Hak Anak (KHA), yang ditegaskan dalam poin ke 23 pada Resolusi PBB tentang World Fit for Children (WFC).
Kesetaraan gender menjadikan program Kota Layak Anak (KLA) sebagai sarana tercapainya tujuan tersebut. Hak anak disandarkan kepada terwujudnya perempuan yang menikmati semua hak asasi manusia dan kebebasan fundamental, dengan promosi kesetaraan gender dan kesetaraan akses dengan pengarusan program dan kebijakan berperspektif gender.
Dengan kata lain, kesetaraan gender menjadi prasyarat terpenuhi hak anak. Sebagaimana dijelaskan dalam poin 24 yang menyatakan pentingnya merubah peran laki-laki dalam masyarakat, hingga memberi kesempatan ayah untuk terlibat dalam kehidupan anak-anaknya, seakan adanya peralihan tugas yang menjadikan ibu memiliki lebih banyak waktu dan dapat terlibat dalam program pemberdayaan perempuan serta memiliki kebebasan dalam masyarakat. Situasi ini diperparah dengan propaganda Feminisme yang sangat jauh dari syiar Islam.
Kedua, Karena Adanya Konsep Kebebasan Beragama Yang Tertolak
Dapat kita lihat dalam pasal 6 Permen Kemeneg PPPA No. 11/2011 disebutkan bahwa Kebijakan Pengembangan Kota Layak Anak (KLA) diarahkan pada pemenuhan lima hak anak yang salah satunya adalah hak sipil dan kebebasan. Hak kebebasan ini apabila dikaitkan dengan Konvensi Hak-Hak Anak (KHA) Pasal 14, maka hak kebebasan dalam beragama juga dijamin dalam Kota Layak Anak (KLA). Sementara Islam justru menolak konsep kebebasan beragama bagi seorang muslim.
Penekanan terhadap arah pemahaman agama sebagai bentuk pemenuhan hak anak turut terlihat penting ketika ada program konsultasi seperti yang diadakan bulan November 2014 yang lalu. Ketika Kementerian PPPA bekerjasama dengan Kementerian Luar Negeri, Sekretariat ASEAN dan UNICEF East Asia Pacific Regional Office melaksanakan Konsultasi Regional Praktek Budaya dan Agama yang Berpengaruh terhadap Pemenuhan Hak Anak. Hal ini akan membuat pengamalan agama tidak berdasarkan perintah Tuhannya manusia, tapi malah mengikuti kemauan manusia dengan menjadikan Konvensi Hak-Hak Anak (KHA) sebagai rujukan dan alat hegemoni (penjajahan) sistem kufur ke atas Mayoritas Muslim Indonesia.
Ketiga, Karena Adanya Kebebasan Berpendapat Yang Salah Arah
Konsep lain yang bertentangan dengan Islam yaitu kebebasan berpendapat yang disebutkan dalam pasal 5 Permen 11/2011: “Salah satu prinsip Kebijakan Pengembangan KLA adalah penghargaan terhadap pandangan anak, yaitu mengakui dan memastikan bahwa setiap anak yang memiliki kemampuan untuk menyampaikan pendapatnya, diberikan kesempatan untuk mengekspresikan pandangannya secara bebas terhadap segala sesuatu hal yang mempengaruhi dirinya.”
Kini makin terlihat jelas bahwa program pengembangan Kota Layak Anak (KLA) melalui Konvensi Hak-Hak Anak dan Dunia Layak Anak (DLA) bertentangan dengan syiar Islam. Dan arah program ini menyasar pada masa depan anak untuk dijauhkan dari syiar Islam dan membebek pada program global dunia Barat yang merusak.
Sadarlah wahai kaum muslimin, Barat sejak dulu tidak hentinya ingin menghancurkan Islam. Secara sistematis, Barat menggunakan pengaruhnya untuk ‘merusak pemahaman Islam’ kaum Muslim. Tidak hanya menyasar Muslim dewasa, namun juga pada anak-anak melalui kewajiban ratifikasi KHA dan DLA.
Dunia global memastikan keberhasilan upaya penerapan KHA dan DLA melalui laporan periodik setiap Negara. Dengan demikian sudah selayaknya program Kota Layak Anak (KLA) versi Barat ini kita tinggalkan. Karena hanya akan membahayakan masa depan anak-anak dan peradaban manusia, dan menghantarkan anak-anak menjadi manusia yang kian ahli merusak kehidupan dunia.
Sebagaimana dalil Nash yang selalu diingatkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam, “Apabila dikatakan kepada mereka, “Janganlah berbuat kerusakan di bumi,” mereka menjawab, “Sesungguhnya kami hanyalah orang-orang yang melakukan perbaikan.” (QS Al-Baqarah,2: 11).
Begitu pula penegasan dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam surat al-Maidah ayat 50 : “Apakah mereka (manusia) mau mencari hukum Jahiliyah? Siapa yang lebih baik hukumnya bagi orang yang yakin?”
Allah mengkritik manusia yang meninggalkan aturan Allah dan lebih memilih memakai aturan yang dibuat sendiri oleh sesama manusia yang akalnya terbatas, dan pasti membuat hukum yang juga menyelisihi kepentingan banyak manusia, memicu perdebatan dan pertentangan.
Allah sebut hukum buatan manusia sebagai hukum jahiliyah (kebodohan) yang dibuat oleh makhluk yang akalnya juga tak mampu menjangkau melebihi jangkauan yang dikehendaki penciptanya. Wallahu a’lam bish-shawab.***
Penulis, Pegiat Literasi Islam Selatpanjang, Tim Media Komunitas Remaja Muslimah Meranti, Riau