Oleh : Yenni Sarinah, S.Pd
KENAIKAN pertamax dengan jumlah atau prosentase besar menegaskan bahwa tata Kelola migas negeri ini sangat kapitalistik, menimbang harga keekonomian (agar bisa ekspor) dan mengabaikan kemaslahatan rakyat.
Pertamax atau RON 92 tidak lagi diputuskan menjadi Jenis BBM Khusus Penugasan (JBKP). Pertamax nantinya akan mengikuti pergerakan harga minyak dunia atau tidak disubsidi oleh pemerintah.(tirto.id, 01/04/2022)
Apa yang dilakukan pemerintah yakni menaikkan harga BBM adalah kebijakan yang salah dan suatu bentuk kemungkaran. Masyarakat harus mencegah kemungkaran itu. Pasalnya, menaikkan harga BBM dan kebijakan apapun yang bermaksud untuk meliberalkan pengelolaan sumber daya alam, khususnya minyak dan gas merupakan kebijakan yang bertentangan dengan syariat Islam.
Islam memandang BBM adalah barang publik yang harus dikelola negara demi maslahat rakyat. Islam memerintahkan negara memberlakuan sistem ekonomi Islam.
Migas serta kekayaan alam yang melimpah lainnya, dalam pandangan Islam merupakan barang milik umum yang pengelolaannya harus diserahkan kepada negara untuk kesejahteraan rakyat. Oleh karena itu, kebijakan kapitalistik, juga kebijakan zalim dan khianat ini harus segera dihentikan. Dan sebagai gantinya migas dan sumber daya alam lain dikelola sesuai dengan tuntutan syariah untuk kemaslahatan dan kesejahteraan seluruh rakyat, baik muslim maupun non-muslim.
Jalannya hanya satu, melalui penerapan syariah Islam secara kaffah dalam bingkai “khilafah Rasyidah `ala minhaj an-nubuwah”.
Pemerintah perlu sadar bahwa menaikkan harga BBM di tengah kesulitan hidup seperti sekarang ini bisa mendorong timbulnya gejolak sosial akibat tekanan ekonomi yang tak tertahankan oleh puluhan juta rakyat miskin. Dan gejolak ini bukan tidak mungkin akan berkembang menjadi semacam revolusi sosial seperti yang terjadi di sejumlah negara Timur tengah. Maka kebijakan menaikkan harga BBM subsidi, merupakan kebijakan zalim dan khianat yang sangat nyata. Dan masyarakat harus menolak dengan lantang kenaikan harga BBM tersebut.
Dan kiranya ini harus menjadi fokus kita bersama, bagaimana cara islam mengentas kemiskinan, bukan dengan penarikan pajak yang dipaksa tinggi, apalagi menghilangkan subsidi dan menambah beban mobilitas mereka.
Cara Islam Mengentas Kemiskinan
Pertama: Secara individual, Allah SWT memerintahkan setiap Muslim yang mampu untuk bekerja mencari nafkah untuk dirinya dan keluarga yang menjadi tanggungannya (Lihat: QS al-Baqarah [2]: 233). Rasulullah saw. juga bersabda:
طَلَبُ الْحَلالِ فَرِيضَةٌ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ
“Mencari rezeki yang halal adalah salah satu kewajiban di antara kewajiban yang lain” (HR ath-Thabarani).
Jika seseorang miskin, ia diperintahkan untuk bersabar dan bertawakal seraya tetap berprasangka baik kepada Allah sebagai Zat Pemberi rezeki. Haram bagi dia berputus asa dari rezeki dan rahmat Allah SWT. Nabi saw. bersabda:
لاَ تَأْيَسَا مِنَ الرِّزْقِ مَا تَهَزَّزَتْ رُؤُوسُكُمَا ، فَإِنَّ الإِنْسَانَ تَلِدُهُ أُمُّهُ أَحْمَرَ لَيْسَ عَلَيْهِ قِشْرَةٌ ، ثُمَّ يَرْزُقُهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ
“Janganlah kamu berdua berputus asa dari rezeki selama kepala kamu berdua masih bisa bergerak. Sungguh manusia dilahirkan oleh ibunya dalam keadaan merah tanpa mempunyai baju, kemudian Allah ‘Azza wa Jalla memberi dia rezeki” (HR Ahmad, Ibnu Majah dan Ibnu Hibban).
Kedua: Secara jama’i (kolektif) Allah SWT memerintahkan kaum Muslim untuk saling memperhatikan saudaranya yang kekurangan dan membutuhkan pertolongan. Rasulullah saw. bersabda:
مَا آمَنَ بِي مَنْ بَاتَ شَبْعَانَ وَ جَارُهُ جَائِعٌ إِلَى جَنْبِهِ وَ هُوَ يَعْلَمُ
“Tidaklah beriman kepadaku siapa saja yang tidur dalam keadaan kenyang, sementara tetangganya kelaparan, padahal ia tahu” (HR ath-Thabrani dan al-Bazzar).
Rasulullah saw. juga bersabda:
أَيُّمَا أَهْلِ عَرْصَةٍ ظَلَّ فِيهِمُ امْرُؤٌ جَائِعٌ، فَقَدْ بَرِئَتْ مِنْهُمْ ذِمَّةُ اللَّهِ
“Penduduk negeri mana saja yang di tengah-tengah mereka ada seseorang yang kelaparan (yang mereka biarkan) maka jaminan (perlindungan) Allah terlepas dari diri mereka” (HR Ahmad dan Ibnu Abi Syaibah).
Ketiga: Allah SWT memerintahkan penguasa untuk bertanggung jawab atas seluruh urusan rakyatnya, termasuk tentu menjamin kebutuhan pokok mereka. Rasulullah saw. bersabda:
فَالْإِمَامُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Pemimpin atas manusia adalah pengurus dan ia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus” (HR al-Bukhari, Muslim dan Ahmad).
Di Madinah, sebagai kepala negara, Rasulullah saw. menyediakan lapangan kerja bagi rakyatnya dan menjamin kehidupan mereka. Pada zaman beliau ada ahlus-shuffah. Mereka adalah para sahabat tergolong dhuafa. Mereka diizinkan tinggal di Masjid Nabawi dengan mendapatkan santunan dari kas negara.
Saat menjadi khalifah, Amirul Mukminin Umar bin al-Khaththab biasa memberikan insentif untuk setiap bayi yang lahir demi menjaga dan melindungi anak-anak. Beliau juga membangun “rumah tepung” (dar ad-daqiq) bagi para musafir yang kehabisan bekal.
Khalifah Umar bin Abdul Aziz membuat kebijakan pemberian insentif untuk membiayai pernikahan para pemuda yang kekurangan uang.
Pada masa Kekhalifahan Abbasiyah dibangun rumah sakit-rumah sakit lengkap dan canggih pada masanya yang melayani rakyat dengan cuma-cuma.
Hal di atas hanyalah sekelumit peran yang dimainkan penguasa sesuai dengan tuntunan syariah Islam untuk menjamin kesejahteraan rakyatnya.
Karena itu saatnya kita mencampakkan sistem selain Islam yang telah terbukti mendatangkan musibah demi musibah kepada kita. Sudah saatnya kita kembali pada syariah Islam yang berasal dari Allah SWT. Hanya syariah-Nya yang bisa menjamin keberkahan hidup manusia. Syariah akan menjadi rahmat bagi mereka (Lihat: QS al-Anbiya’ [21]: 107).
Lebih dari itu, penerapan syariah Islam secara kâffah dalam seluruh aspek kehidupan adalah wujud ketakwaan yang hakiki kepada Allah SWT.***
Penulis berasal dari Selatpanjang
Eksplorasi konten lain dari Riaunews
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.