Oleh: Bahren Nurdin
SANGAT disayangkan. Seorang Aparatur Sipil Negara (ASN) yang menyematkan dirinya sebagai peneliti dan bekerja di tempat paling ‘akademis’ di negeri ini, yaitu Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengeluarkan statemen yang ‘menggegerkan’ masyarakat Indonesia.
Lembaga besar yang ‘dikerdilisasi’! Peneliti itu bernama AP Hasanuddin. Pun, nama yang tidak sesuai dengan ucapannya.
Jika oknum ini benar-benar bertanya, “Perlu saya halalkan gak nih darahnya semua Muhammadiyah?”, maka yakinlah tidak kurang dari 60 juta warga Muhammadiyah se-Indonesia (ditambah yang ada di Luar Negeri) akan serentak menjawab, “Darah kami sudah halal untuk bangsa dan negara ini, Bung! Tidak perlu anda pertanyakan!”.
Sebagai peneliti seharusnya tidak buta sejarah! Tapi baiklah, mungkin dia atau sebagian rakyat Indonesia mulai pikun sejarah bahwa begitu banyak para pendahulu Muhammadiyah yang telah ‘menghalalkan’ darah mereka untuk bumi pertiwi ini. Bahkah, sebelum negeri ini mengenyam kemerdekaannya, warga Muhammadiyah sudah menyerahkan jiwa dan raga mereka.
Muhammadiyah berdiri jauh sebelum Indonesia merdeka (18 November 1912).
Agar Bung Karno tidak marah (Jasmerah), beberapa waktu lalu pun Amirsyah Tambunan (Sekjen MUI Pusat) telah membuka fakta sejarah dengan menyodorkan paling kurang 21 nama besar warga Muhammadiyah yang telah berkontribusi luar biasa untuk bangsa ini.
Saya tulis ulang saja nama-nama itu; KH Ahmad Dahlan (1868-1923), Siti Walidah (1872-1946), Ir. Soekano (1901-1970), Fatmawati (1923-1980), KH. Mas Mansyur (1896-1946), AR Baswedan (1908- 1986), Buya AR Sutan Mansur (1895 – 1985), H. Fakhrudin (1890-1929), H. Abdul Malik Karim Amrullah (Buya Hamka) (1908-1981), Ir. H. Djuanda Kartawijaya (1911-1963), Panglima Besar Jenderal Sudirman (1916-1950), Ki Bagus Hadikusumo (1890-1954), Kasman Singodimejo (1904-1982), Prof. KH. Abdul Kahar Mudzakkir ( 1907-1973), Mr. Teuku H. Moehammad Hasan (1906-1997), Lafran Pane (1923-1991), KIyai Haji Agus Salim, Gatot Mangkupraja (1898-1968), Nani Wartabone (1907-1986), Dokter Soetomo, R. Otto Iskandar Dinata, dan pasti masih banyak yang lainnya.
Bagaimana kiprah mereka untuk bangsa ini? Jika tidak malu, mulailah bertanya pada diri sendiri seperti kata F Kennedy, “Jangan tanyakan apa yang sudah negara berikan untukmu, tetapi tanyakanlah sumbangsih apa yang telah kamu berikan pada negara.”
Apa tidak malu ketika menyebut diri sebagai aparatur negara tapi hanya bisa menyumbangkan kegaduhan untuk negara!
Jika membaca buku sejarah terlalu berat bagi seorang peneliti BRIN, tidak salah juga membaca artikel-artikel berita terkini bagaimana kiprah warga Muhammadiyah dalam membantu menangani korban bencana, penanganan Covid-19, mengajar di sekolah-sekolah pedalaman, rumah sakit dan klinik-klinik milik Muhammadiyah membantu pengobatan, dan lain-lain. Tidak mau juga? Yah, nonton film Laskar Pelangi pun sudah cukup!
Tentang kepemimpinan? Jangan ajari warga Muhammadiyah tentang ketaatan kepada pemimpin. Dalam kasus ini, seharusnyalah persoalan penentuan 1 Syawal tidak dikaitkan dengan isu ketaatan pada kepemimpinan (negara). Gak nyambung!
Pun, hal ini bukan diskusi kemarin sore, tapi sudah berlangsung lama dan tidak perlu lagi diperdebatkan, apalagi dengan penuh kebencian. Paling sederhana, silahkan membaca buku “Kalender Hijriyah dan Masehi 150 Tahun (1364-1513 H/ 1945-2090 M)” oleh Drs. J. Sofwan Jannah.
Jikalah warga Muhammadiyah itu tidak taat pada titah pemimpinnya, boleh jadi ketika kata-kata kotor Sang Peneliti itu diucapkan, ia tidak lagi akan melihat indahnya mentari bersinar pagi ini. Tapi, yakinlah warga Muhammadiyah tidak akan melakukannya.
Ketika Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir, berkata, “Diimbau kepada seluruh warga Muhammadiyah agar tidak bersikap yang sama dengan mereka yang kerdil pemikiran dan sikapnya dalam beragama dan berbangsa. Tunjukkan bahwa warga Muhammadiyah berkeadaban, berilmu, berbangsa dan bahkan beragama lebih baik di dunia nyata,”, maka semua warga tunduk dan patuh.
Itulah elegannya warga Muhammadiyah, terlepas proses hukum yang tentunya harus ditegakkan.
Jika proses hukum itu harus diteruskan pun bukan maunya warga Muhammadiyah, tapi kehendak Sang Peneliti sendiri. Dia telah sesumbar, “Silakan laporkan komen saya dengan ancaman pasal pembunuhan! Saya siap dipenjara”.
Seharusnya jangan minta maaf tapi minta tangkap agar sejalan antara perkataan dan perbuatan. Semestinyalah pihak berwajib memenuhi permintaan ‘suci’ ini. Tangkap!
Maaf? Saya yakin tidak hanya maaf yang telah diberikan warga Muhammadiyah untuk Sang Peneliti, tapi juga doa dan munajat kepada Allah agar dirinya mendapat hidayah. Yakinlah pintu terbuka untuk bergabung dengan Muhammadiyah.
Namun demikian, tentu saja sebelumnya, harus bersedia untuk ‘dididik’ dahulu karena warga Muhammadiyah tidak dibesarkan oleh kebencian dan ‘kejumutan’ tapi dengan ilmu dan keadaban seperti yang ditanamkan oleh KH Ahmad Dahlan.
Warga Muhammadiyah tidak boleh kerdil dalam berpikir. Mereka harus berilmu dan beradab!
Akhirnya, kepada siapa saja, yakinlah sejak lama warga Muhammadiyah telah ‘menghalalkan’ darah mereka untuk bangsa ini. Jangankan darah, orang Muhammadiyah sudah mempersembahkan jiwa, raga dan nyawa mereka untuk membangun negeri ini.
Tentu, tidak nyinyir di ruang media sosial, tapi temukanlah di lembar-lembar buku sejarah, di ruang-ruang kelas pelosok negeri ini, di tengah kaum duafa dan anak yatim, di ruang-ruang rawat rumah sakit, dan di tengah-tengah para korban bencana.
Di sanalah darah warga Muhammadiyah dihalalkan dan diteteskan!***
Penulis Pimpinan Ranting Istimewa Muhammadiyah NSW, Australia