
Oleh : Alfiah, S.Si
Masih hangat kasus lobster yang menyeret Menteri Kelautan dan Perikanan, Edhy Prabowo, publik dikejutkan dengan kasus korupsi bansos yang melibatkan Menteri Sosial Juliari P. Batubara. Tidak tanggung-tanggung dana bansos corona yang dikorup sebesar 17 miliar (detik.com, 6/12/2020).
Hal ini tidak hanya menyakiti hati rakyat, tapi lebih dari itu berbagai kasus korupsi yang melibatkan pejabat yang seharusnya melayani rakyat semakin mekonfirmasi kebobrokan sistem demokrasi yang berbiaya tinggi. Bagaimana tidak? Naiknya pejabat baik yang duduk di lembaga ekskutif maupun legislatif marupakan hasil dari deal -deal_politik partai-partai peserta pemilu.
Kondisi ini pernah diprediksi 6 tahun lalu oleh Ali Masykur Musa, sewaktu menjadi Badan Pemeriksa Keuangan RI, ia menyatakan sistem politik dan demokrasi di Indonesia cenderung berbiaya tinggi, dan transaksional yang melahirkan pemerintahan tidak efisien, khususnya dalam pengelolaan anggaran.
Selain itu, sistem politik dan demokrasi berbiaya tinggi berimbas pada postur anggaran yang lebih banyak dikemas sebagai bantuan sosial, padahal sesungguhnya hanya kamuflase untuk menutupi biaya politik yang telah dikeluarkan sebelumnya.
Menjadi pertanyaan tentunya apakah penyakit korupsi ini tidak bisa dienyahkan sehingga seolah-olah membuat latah pejabat untuk ikut-ikutan korupsi? Apakah ada solusi jitu dalam memberantas korupsi? Ternyata Islam memiliki seperangkat aturan yang sempurna dan terbukti mampu mencegah pejabat untuk melakukan korupsi.
Islam melarang menerima suap dan hadiah. Hadiah dan suap yang diberikan seseorang kepada pejabat pasti mengandung maksud tertentu, yakni bagaimana agar pejabat itu bertindak menguntungkan pemberi hadiah.
Diriwayatkan bahwa Abdullah bin Rawahah ra. pernah ditugaskan Rasulullah SAW untuk mengumpulkan hasil bumi penduduk Khaibar. Yahudi Khaibar bermaksud untuk menyuapnya. Tawaran ini ditolak keras oleh Abdullah bin Rawahah, “Suap yang kalian tawarkan adalah haram, dan kaum muslimin tidak memakannya”.
Mendengar ini, orang Yahudi berkata, “Karena itulah (ketegasan Abdullah) langit dan bumi tegak” (Imam Malik dalam al-Muwatta’).
Penghitungan kekayaan pejabat sebelum dan sesudah menjabat juga menjadi parameter pejabat tersebut korupsi atau tidak. Hal ini pernah dilakukan oleh Khalifah Umar ra.
Semasa menjadi khalifah, Umar bin Khattab menghitung kekayaan para pejabat di awal dan di akhir jabatannya. Bila terdapat kenaikan yang tidak wajar,pejabat tersebut diminta membuktikan bahwa kekayaan yang dimilikinya itu didapat dengan cara yang halal. Bila pejabat tersebut gagal membuktikan, maka pejabat tersebut harus menyerahkan kelebihan harta dari jumlah yang wajar kepada Baitul Mal.
Pemberantasan korupsi juga tidak bisa dilepaskan dari keteladanan pemimpin. Bagaimana mungkin korupsi akan bisa dituntaskan tanpa keteladan dari pemimpin. Khalifah Umar bin Khattab pernah menyita sendiri seekor unta gemuk milik puteranya, Abdullah bin Umar, karena kedapatan digembalakan bersama di padang rumput milik Baitul Mal.
Dan yang terakhir adalah hukum yang setimpal. Hukuman setimpal akan memberi efek jera bagi pelaku koruptor. Dalam Islam, koruptor dikenai hukuman ta’zir berupa tasyhir atau pewartaan (dulu dengan diarak keliling kota, sekarang mungkin bisa ditayangkan di televisi seperti yang pernah dilakukan), penyitaan harta dan hukuman kurungan, bahkan sampai hukuman mati.
Walhasil gurita korupsi dalam sistem demokrasi, apalagi dilakukan di tengah pandemi menunjukkan kegagalan sistem dalam mewujudkan pemerintahan bersih dan berkeadilan. Kita membutuhkan sistem alternatif yang paripurna yang akan mampu mengeluarkan negeri ini dari krisis moral, dan sistem itu tidak lain adalah sistem Islam. Wallahu a’lam bi ash shawab.***
Penulis merupakan seorang pendidik