Opini  

Ibu Mengaji Vs Ibu Bergaji

Oleh : Alfiah, S.Si

 

“Saya melihat ibu-ibu tuh ya maaf ya sekarang kan kayaknya budayanya beribu maaf, jangan lagi saya di-bully. Kenapa toh seneng banget ngikut pengajian ya? Iya lho maaf beribu maaf, saya sampai mikir gitu lho,”

“Ini pengajian iki sampai kapan tho yo? Anake arep dikapake (anaknya mau diapakan), he, iya dong. Boleh bukan ga berarti boleh, saya pernah pengajian kok,” (Megawati Soekarnoputri)

Nasib ibu hari ini tampaknya serba salah. Ketika ibu tak bekerja dan hanya menjadi ibu rumah tangga dianggap menjadi beban.  Ketika ibu belajar menjadi wanita sholehah dengan rajin datang pengajian dianggap manajemen rumah tangganya berantakan. Di sisi lain banyak ibu yang berkarir keluar rumah agar mandiri secara finansial justru rumah tangganya menjadi kacau dan nasib anaknya kurang perhatian. Lantas siapa yang harus dipersalahkan?

Banyak para ibu yang galau menjalankan perannya sehingga datang ke pengajian atau majelis ta’lim untuk mendapatkan pencerahan. Alih- alih mendapat dukungan, kegiatan para ibu yang rajin ke pengajian justru di’nyinyirin’ seorang nenek yang  mempunyai 2 gelar profesor dan 9 gelar doktor honoris causa. Adalah Ketua Dewan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Megawati Soekarnoputri, menjadi sorotan setelah pidatonya memicu kontroversi di media sosial (medsos) beberapa waktu lalu.

Pidato Megawati itu terucap saat ia menjadi pemateri dalam Seminar Nasional Pancasila dalam Tindakan: ‘Gerakan Semesta Berencana Mencegah Stunting, Kekerasan Seksual pada Anak dan Perempuan, Kekerasan dalam Rumah Tangga, serta Mengantisipasi Bencana’ di Jakarta Selatan pada Kamis (16/2/2023). Dia mengaitkannya dengan aktivitas keagamaan kaum ibu yang waktunya tersita untuk pengajian sehingga lupa mengurus anak. Alhasil, ia sampai berpesan agar kaum ibu bisa membagi waktu agar waktunya tidak habis untuk pengajian dengan melupakan asupan gizi anak (republika.co.id, 19/02/2023)

Sontak saja pidato Megawati yang me’nyinyiri’ ibu-ibu pengajian menuai kontra di tengah masyarakat. Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Dakwah dan Ukhuwah, KH Muhammad Cholil Nafis, menanggapi pidato Megawati Sukarnoputri terkait ibu-ibu pengajian. Kiai Cholil mengatakan, ibu-ibu yang rajin ke pengajian tidak menelantarkan anak-anaknya. Karena kebanyakan ibu-ibu yang datang ke pengajian, anak-anaknya sudah besar (republika.co.id, 19/02/2023)

Semua ibu pasti tahu ibu-ibu yang datang ke pengajian lebih sebentar menghabiskan waktu, ketimbang ibu-ibu yang bekerja kantoran atau menjalankan bisnis. Bahkan banyak juga wanita yang bekerja di kantoran dan melakukan bisnis juga bisa mengurus anak, walau waktu bekerja di kantor lebih lama dari pengajian. Apalagi dengan ikut pengajian, ibu-ibu menjadi tahu dan peduli mengurus anak. Sebab, tidak ada ceritanya ibu-ibu rajin pengajian menjadi bodoh dan tidak kreatif. Andai sang nenek tahu kalau ngaji itu melatih hati dan pikiran.

Ibu-ibu yang rajin datang ke pengajian seharusnya diapresiasi tinggi karena berkontribusi positif untuk kebaikan negeri.  Bukankah perempuan adalah tiang negara?  Perempuan adalah aset Negara dan madrasah utama bagi anaknya. Maka apabila perempuan itu baik, akan baik pula negaranya, dan apabila perempuan itu rusak, maka akan rusak pula negaranya. Justru sumber kebaikan itu adalah agama. Dan pengajian adalah majelis ilmu untuk mendalami agama. Karena para ibu sudah tidak lagi mengenyam bangku sekolah formal. Maka di pengajian atau majelis ta’lim lah para ibu mendapatkan pemahaman Islam sebagai bekal mereka menjadi salihah.

Seharusnya yang dikhawatirkan adalah para ibu yang bergaji, para ibu yang menjadi TKI di luar negeri, para ibu yang menjadi buruh pabrik dan para ibu yang tak punya ilmu untuk mendidik anaknya. Merekalah yang seharusnya menjadi perhatian. Karena banyak anak yang menjadi korban dari keganasan kapitalisme. Banyak para ibu yang kehilangan fitrah keibuan karena terpaksa harus banting tulang karena gaji suami pas-pasan.

 

Mengaji Itu Wajib dan Perlu

Sesungguhnya mengaji itu wajib dan perlu. Belajar Al qur’an, memahami dan mengamalkan bukan  hanya kewajiban kaum adam, justru emak-emak juga diwajibkan. Belajar Islam, memahami syariat sehingga tahu mana yang halal dan haram justru diperlukan oleh para ibu. Karena ibu adalah sekolah pertama dan utama bagi anak-anaknya. Jika para ibu bodoh ilmu agama, bagaimana bisa mencetak generasi yang sholeh dan sholehah.

Apalagi jika kita telisik lebih dalam lagi, Islam justru sangat mendukung pendidikan bagi perempuan termasuk para ibu. Rasulullah SAW senantiasa mengajarkan istri-istrinya perkara agama, bahkan Rasulullah SAW juga menyediakan majelis ilmu khusus untuk para sahabat perempuan. Hal ini sebagaimana tercantum dalam beberapa kitab hadis, termasuk shahih Bukhari dan muslim. Dari Abu Said al-Khudri RA, ia berkata : Seorang perempuan datang kepada Rasulullah SAW dan menyampaikan keluh kesahnya:

يَا رَسُولَ اللهِ، ذَهَبَ الرِّجَالُ بِحَدِيثِكَ فَاجْعَلْ لَنَا مِنْ نَفْسِكَ يَوْمًا نَأْتِيكَ فِيهِ تُعَلِّمُنَا مِمَّا عَلَّمَكَ اللهُ

“Wahai Rasulullah, para laki-laki sudah biasa datang kepadamu untuk menimba hadis (ilmu), maka berilah kami jatah hari untuk menemuimu sehingga Engkau dapat mengajarkan kami apa yang telah diajarkan Allah kepadamu

Rasulullah SAW pun menyambut permintaan ini dengan senang hati, beliau berkata “Berkumpullah kalian pada hari ini dan ini,”. Maka para perempuan pun mendatangi Rasulullah SAW dan beliau mengajarkan mereka apa yang telah diajarkan Allah kepadanya.

Demikianlah Rasulullah memperhatikan pendidikan bagi perempuan dalam bentuk majelis ilmu atau pengajian. Ibu mengaji jelas diperintahkan di dalam Islam. Sementara ibu bergaji hukumnya mubah karena seyogyanya suamilah yang wajib mencari nafkah. Jika  seorang ibu bisa menyelaraskan keduanya mengaji dan bergaji dengan tidak mengabaikan kewajibannya sebagai ibu dan pengatur rumah tangga berarti ia ibu yang luar biasa. Wallahu a’lam bi ash shawab.***

 

Penulis pegiat literasi Islam

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *