Oleh Nur Miftahul Jannah Nasrah (Pemerhati Masalah Ibu dan Generasi)
Pemerintah melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 28/2024 menawarkan kebijakan baru berupa insentif bebas pajak bagi pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) yang memenuhi syarat tertentu di Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara.
Berdasarkan laporan ANTARA News 6 November 2024, Kebijakan ini memberikan pembebasan Pajak Penghasilan (PPh) final dengan tarif 0 persen hingga tahun 2035 untuk UMKM yang memiliki omzet hingga Rp50 miliar per tahun.
Namun, benarkah kebijakan ini berpihak pada UMKM, atau hanya sebuah gimmick politik yang terlihat menarik di permukaan?
Bebas Pajak UMKM Rawan Disalahgunakan?
Meskipun bebas pajak terdengar seperti keuntungan besar, insentif ini datang dengan sederet syarat yang tidak mudah dipenuhi oleh semua UMKM. Kebijakan ini, misalnya, mensyaratkan modal minimal Rp10 miliar dan keharusan memiliki beberapa cabang usaha.
Bagi sebagian besar UMKM kecil yang baru merintis atau memiliki modal terbatas, syarat-syarat ini mungkin lebih terasa sebagai hambatan daripada peluang. Ini memunculkan pertanyaan: Apakah kebijakan ini memang untuk membantu UMKM, atau lebih kepada memberikan keuntungan pada usaha berskala besar yang tetap dikategorikan sebagai “UMKM”?
Dengan kriteria modal dan omzet yang besar, kebijakan ini terlihat lebih berpihak pada UMKM menengah ke atas daripada usaha mikro dan kecil. Insentif ini tampaknya berfokus pada usaha dengan kapasitas yang sudah mapan, yang mampu memenuhi kriteria tinggi.
Hal ini mengesankan bahwa kebijakan “bebas pajak UMKM” ini sebenarnya tidak menyasar pada UMKM yang benar-benar membutuhkan bantuan untuk berkembang, melainkan lebih menguntungkan segelintir UMKM besar yang sebenarnya memiliki modal dan infrastruktur cukup.
Kebijakan ini jelas bertujuan untuk mendorong UMKM agar beroperasi di IKN, dengan harapan kawasan tersebut dapat hidup dengan aktivitas ekonomi yang dihasilkan UMKM. Namun, dengan syarat modal yang tinggi dan keharusan memiliki cabang, ada kemungkinan bahwa hanya UMKM besar yang mampu memenuhi tuntutan tersebut.
Jika insentif ini hanya bisa dimanfaatkan oleh usaha skala besar, apakah harapan pemerintah untuk menjadikan IKN sebagai pusat UMKM yang berdaya benar-benar dapat tercapai, atau malah hanya akan diisi oleh perusahaan-perusahaan besar yang dikemas sebagai “UMKM”?
Babas Pajak UMKM Justru Kurang Menarik Bagi Pelaku UMKM Itu Sendiri?
Fakta bahwa kebijakan bebas pajak ini hanya berlaku hingga 2035 juga perlu mendapat perhatian. Kebijakan sementara ini mungkin terasa sebagai angin segar bagi UMKM yang mampu memenuhi syarat, tetapi sifatnya yang bertempo membuat pelaku usaha harus berpikir panjang sebelum berinvestasi di IKN.
Dengan kebijakan yang tidak berkelanjutan, ada kekhawatiran bahwa insentif pajak ini tidak cukup menarik bagi UMKM yang lebih kecil dan baru berkembang. Ketika tenggat waktu 2035 tiba, apakah pemerintah sudah siap memberikan kebijakan lanjutan, atau UMKM akan dibiarkan kembali menanggung beban pajak tanpa dukungan berarti?
Peran negara dalam kebijakan ini tampaknya hanya sebagai regulator yang mengatur pemberian insentif pajak untuk jangka waktu tertentu. Tidak ada jaminan berkelanjutan atau langkah nyata yang lebih konkret untuk memastikan bahwa UMKM di IKN akan mendapat dukungan jangka panjang. Kebijakan ini lebih terkesan sebagai “dorongan” sementara daripada upaya strategis untuk memperkuat sektor UMKM yang menjadi fondasi ekonomi nasional.
Insentif bebas pajak bagi UMKM di IKN Nusantara memang terlihat seperti terobosan besar di atas kertas, namun syarat-syarat ketat dan sifat sementara dari kebijakan ini menimbulkan sejumlah pertanyaan. Apakah ini kebijakan yang sungguh mendukung perkembangan UMKM kecil dan mikro, atau hanya langkah pragmatis untuk menarik pelaku usaha besar agar beroperasi di IKN?
Kebijakan yang benar-benar berpihak pada UMKM seharusnya dirancang lebih inklusif dan berjangka panjang, bukan sekadar bebas pajak yang hanya bertahan sementara, hanya menguntungkan usaha skala besar yang mengusung label “UMKM”.
Islam Telah Mengatur Sistem Pemungutan Pajak
Abdul Qadim Zallum dalam Kitab “Al Amwal fii Daulah Khilafah”, mendefinisikan secara istilah, bahwa pajak (dharibah) merupakan harta yang diizinkan Allah Swt. untuk mengambilnya dari kaum muslim untuk dimanfaatkan dalam pemenuhan kebutuhan atau pos-pos pengeluaran yang memang diwajibkan atas mereka, di tengah kondisi baitulmal kaum muslim defisit.
Negara diperbolehkan memungut pajak hanya bagi kaum muslim yang memiliki kemampuan harta, tidak pukul rata dan sifatnya sementara selama Baitulmal masih defisit. Negara juga tidak boleh mewajibkan pajak yang tidak ada kaitannya untuk kebutuhan mendesak menyangkut kepentingan umat, kaum fakir miskin, darurat bencana, dan jihad fii sabilillah.
Penguasa yang mewajibkan pajak, padahal bukan dalam kondisi darurat adalah termasuk perbuatan zalim. Para pemungutnya diancam dengan sabda Rasulullah saw.,”Tidak akan masuk surga orang-orang-orang yang memungut pajak (cukai).” (HR. Ahmad, ad Darami dan Abu Ubaid).
Gambaran teladan para penguasa Islam dalam pemungutan pajak, Khalifah Umar bin Khattab adalah salah satu pemimpin yang sangat memperhatikan sistem perpajakan dengan prinsip keadilan. Di masa kepemimpinannya, Umar membuat aturan yang fleksibel dan sensitif terhadap kondisi masyarakat. Beberapa kebijakannya yang terkenal dalam pemungutan pajak ialah :
Menolak Memungut Pajak Jika Rakyat Sedang Kesulitan: Pada masa kelaparan yang terjadi di Hijaz, Umar membebaskan pajak pertanian, atau yang dikenal sebagai ushr, untuk meringankan penderitaan masyarakat yang dilanda paceklik.
Melakukan Pendataan dan Klasifikasi Pajak: Umar memperkenalkan pemetaan dan klasifikasi tanah serta sumber daya yang dimiliki oleh negara. Pajak tanah (kharaj) yang dikenakan pada wilayah yang ditaklukkan disesuaikan dengan produktivitas dan kapasitas lahan. Ia juga memastikan bahwa dana yang terkumpul digunakan untuk kemaslahatan umum, seperti pembangunan jalan, irigasi, dan perumahan.
Eksplorasi konten lain dari Riaunews
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.