Senin, 25 November 2024

Ironi Hakordia Sekedar Seremoni, Pelaku Korupsi kian Tinggi

Ikuti Riaunews.com di Google Berita
 
Yenni Sarinah, S.Pd

Oleh : Yenni Sarinah, S.Pd

OPINI – Di Indonesia, Peringatan Hari Anti Korupsi Sedunia (HAKORDIA) setiap 9 desember semakin terasa hanya sebatas seremonial tanpa makna. Pasalnya visi utama hakordia adalah mewujudkan Indonesia anti korupsi tidak teraktualisasi dengan baik. Adakah solusi lain dalam memberantas korupsi?

Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebut peringatan Hari Antikorupsi Sedunia (Hakordia) tahun ini layak disikapi dengan rasa berkabung atas runtuhnya komitmen negara dan robohnya harapan masyarakat. ICW kemudian menyoroti sejumlah aspek yang dinilai turut berkontribusi dalam meruntuhkan komitmen negara terkait pemberantasan korupsi. Salah satu aspek yang turut disorot ICW adalah tingginya angka korupsi di kalangan politisi. (tirto.id, 11/12/2022)

Apalagi pengesahan RKUHP yang justru mengurangi hukuman bagi koruptor di tengah maraknya korupsi di kalangan politisi. Hukuman bagi koruptor yang diatur dalam sejumlah pasal pada Rancangan Kitab Undang Undang Hukum Pidana (RKUHP) lebih ringan jika dibandingkan dengan yang tertera pada Undang Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).

Dilansir dari kompas.com (09/12/2022), Pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Pidana (KUHP) menjadi UU masih menuai polemik karena sejumlah pasal yang dianggap bermasalah. Salah satu pasal yang dianggap bermasalah adalah hukuman pidana koruptor yang dipangkas dalam KUHP. Hal ini menjadi kontras mengingat pemerintah berkali-kali mewanti-wanti untuk stop korupsi dan merayakan Hari Anti Korupsi Sedunia (Hakordia) yang jatuh pada hari ini, Jumat (9/12/2022).

KPK semakin susah dijadikan teladan integritas karena banyaknya pelanggaran etik yang dilakukan oleh insan KPK, khususnya para pemimpinnya.

Korupsi tidak lagi menjadi kejahatan serius, apalagi kepercayaan publik makin lemah terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang merupakan lembaga khusus untuk memberantas korupsi.

Ketidaktegasan KPK juga terlihat dalam penanganan kasus helikopter angkut Agusta Westland (AW)-101 di lingkungan TNI Angkatan Udara (AU).

Komisi Antirasuah itu hingga kini belum berhasil menghadirkan mantan Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) Marsekal (Purn) Agus Supriatna untuk memberikan keterangan dalam proses persidangan.

Inilah fakta buruk keseriusan pemberantasan korupsi di tengah sistem demokrasi. Dan ini sungguh berbeda dengan sistem Islam yang menutup semua celah tindak korupsi, mengantisipasi peluang korupsi dan memberikan sanksi yang membuat jera.

Faktor Penyebab Korupsi

Maraknya korupsi dalam sistem demokrasi saat ini sedikit banyak dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor internal dan faktor eksternal.

Faktor Internal merupakan faktor pendorong korupsi yang berasal dari dalam diri setiap individu. Seperti : sifat tamak/rakus, gaya hidup konsumtif, dan moralitas yang kurang kuat.

Faktor Eksternal merupakan faktor pemicu terjadinya tindakan korupsi yang berasal dari luar diri pelaku. Seperti :

Pertama, dalam kaca mata politik, terjadi instabilitas politik atau ketika politisi mempunyai hasrat untuk mempertahankan kekuasaannya.

Kedua, dalam kaca mata hukum, tidak baiknya substansi hukum, mudah ditemukan aturan-aturan yang diskriminatif dan tidak adil, rumusan yang tidak jelas dan tegas sehingga menimbulkan multi tafsir, serta terjadinya kontradiksi dan overlapping dengan aturan lain.

Ketiga, dalam kaca mata ekonomi, ketika tingkat pendapat atau gaji yang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhannya, maka seseorang akan mudah untuk melakukan tindakan korupsi demi terpenuhinya semua kebutuhan.

Keempat, dalam kaca mata organisasi, kurang adanya teladan dari pemimpin, tidak adanya kultur organisasi yang benar, sistem akuntabilitas di instansi pemerintah kurang memadai, manajemen cenderung menutupi korupsi di dalam organisasi, dan lemahnya pengawasan.

Pemberantasan Korupsi Dalam Sistem Islam

Islam sendiri dengan sangat tegas melarang praktik korupsi. Sebagaimana Nabi Muhammad SAW telah mengantisipasi umatnya untuk mencegah terjadinya konflik kepentingan yang bisa melahirkan korupsi.

Contohnya ketika adanya konflik kepentingan antara petugas pemungut zakat yang juga sekaligus pendakwah Islam di Yaman.

Ketika itu, petugas pemungut zakat ditugaskan di Yaman karena masyarakatnya sedang dibina mengenai zakat. Nabi kemudian mengutus Mu’adz bin Jabal ke Yaman sebagai juru dakwah. Dalam pengakuan Mu’adz bin Jabal, sesaat setelah Nabi melepasnya dan Abu Musa al-Asy’ari ke Yaman, Nabi ternyata melupakan satu wasiat penting. Hingga akhirnya, beliau mengutus kembali seseorang agar mereka kembali, setelah itu baru dilepaskan lagi.

Usai mereka kembali, peristiwa ini pun terekam dalam hadits shahih riwayat Ahmad: “Dari al-Harits bin Amr dari beberapa orang teman-teman Mu’adz, sesungguhnya Nabi mengutus Mu’adz dan beliau bertanya: ‘bagaimana kamu akan memutuskan hukum?’, Mu’adz pun menjawab akan memutuskan hukum dengan dasar Kitabullah.

Kemudian, Rasulullah bertanya kembali: ‘Kalau tidak kamu dapatkan dalam Kitabullah?’, Mu’adz menjawab akan merujuk dasar sunnah Rasulullah. Rasul bertanya lagi: ‘Kalau tidak kau dapatkan dalam sunnah Nabi?’ Mu’adz menjawab akan melakukan ijtihad dengan pemikirannya. Mendengar ini, Rasulullah pun bersabda: ‘Segala puji bagi Allah yang telah menolong utusan Rasulullah SAW,”.

Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya tidak akan masuk surga daging yang tumbuh dari hal yang dimurkai Allah (haram) dan neraka adalah paling tepat untuknya,” (HR Musnad Ahmad 13919).

Secara real, pemberantasan korupsi dapat dilaksanakan dengan :

Pertama, usaha preventif (pencegahan).

Dengan pemberian pendidikan anti korupsi sejak dini pada masyarakat agar masyarakat sadar betul akan bahaya korupsi bagi negara-negara khususnya negara Indonesia melalui penanaman akidah Islam yang benar, sehingga cara ini akan mampu menekan kemungkinan tindak korupsi terjadi; penerapan sistem Islam secara menyeluruh di segala lini; melakukan penerimaan pegawai secara jujur dan terbuka; melakukan himbauan kepada masyarakat dalam bentuk kegiatan-kegiatan penyuluhan anti korupsi; dan rutin melakukan pencatatan ulang aset aparatur negara.

Kedua, usaha kuratif (penindakan).

Dengan memberi hukuman yang berefek jera bagi pelaku tindak pidana korupsi sehingga mereka akan berpikir dua kali ketika akan mengulanginya lagi.

Selain itu, Islam juga menghadirkan solusi lain sebagai berikut : dengan sistem penggajian yang layak; adanya larangan menerima suap dan hadiah; perhitungan kekayaan; keteladan pemimpin; ada hukuman setimpal yang membuat jera; dan pengawasan masyarakat

Demikianlah, sesungguhnya sistem Islam adalah solusi terbaik yang layak dipakai ketika semua solusi pemberantasan korupsi dalam sistem demokrasi yang diadopsi negara Indonesia sudah tidak mempan lagi menekan tindak pidana korupsi. Wallahu a’lam bish-showab.

 

Penulis, Pegiat Literasi Islam, Selatpanjang – Riau

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *