Selasa, 26 November 2024

Korupsi Menggurita (Lagi), Kapan Berhenti?

Ikuti Riaunews.com di Google Berita
 
Para pelaku korupsi yang ditangkap KPK mayoritas tamatan perguruan tinggi.

Oleh: Alfi Ummuarifah, S.Pd

Entah kapan korupsi di negara ini akan usai. Selama negeri ini merdeka, kasusnya tak habis-habis. Tumbuhnya subur sekali. Seakan sudah menjadi kebiasaan yang biasa saja terjadi.

Fenomena gunung es korupsi ini terjadi terus. Entah berapa kasus serupa yang belum terungkap. Sedih sekali hidup dalam suasana negeri seperti ini. Saat masyarakat sedang sulit justru korupsi menggurita lagi. Para pemimpin itu justru bermain api.

Bupati TRP telah melakukan manuvernya melalui satu manuver yang rapi.Beliau meminta persentas fee senilai 15 persen dari nilai proyek untuk paket pekerjaan melalui tahapan lelang. Selain itu beliau meminta lagi 16,5 persen dari nilai proyek untuk paket penunjukan langsung. Dua paket proyek pengerjaan infrastruktur itu dibuat TRP sejak tahun 2020.
Malang tak dapat ditolak, usahanya gagal karena diendus KPK (detikNews,20/1/2022).

Terbit terjaring operasi tangkap tangan (OTT) KPK bersama tujuh orang lainnya di Langkat, Sumatera Utara pada Selasa (18/1/2022) malam.

Dalam penangkapan tersebut, tim KPK mengamankan uang Rp 786 juta.

Terbit bersama 4 tersangka penerima suap lainnya disangkakan melanggar disangkakan melanggar Pasal 12 huruf (a) atau Pasal 12 huruf (b) atau Pasal 11 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke 1 KUHP dan Pasal 65 Ayat (1) KUHP.

Sementara itu Muara Perangin-angin selaku pemberi suap dikenakan Pasal 5 Ayat (1) huruf a atau Pasal 5 Ayat (1) huruf b atau Pasal 13 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Kejadian korupsi ini terus berulang. Tumbuh subur bak jamur di musim hujan.Sistem yang ada hari ini berhasil menginisiasi korupsi itu untuk selalu tumbuh tanpa kendali. Berbagai cara yang diundang-undangkan negara ini mental. Gagal menekan atau bahkan menghapuskan korupsi dari negeri ini.

Wajar, sistem pemerintahan dan terkait dengan sistem ekonominya uang yang selaras itu mensuasanakannya.
Mindset seseorang yang ingin menjadi pejabat dan penguasa di negeri ini harus diubah. Fakta yang ada, motivasi ingin nenjabat bukan untuk melayani rakyat. Tetapi untuk mendapatkan materi memperkaya diri dan keluarga.

Niatan melayani masyarakat dan menjadi pelayan masyarakat tidak pernah ada dalam benak pemimpin negeri ini.

Semua itu karena sistem kapitalisme sekuleris ini telah memproduksi besar-besaran pejabat korup. Siapapun yang masuk dalam sistem itu akan terformat sama. Wajar output pejabatnya akan seragam, bukan untuk prinsip melayani tetapi justru memperkaya diri.

Prinsip seperti ini semua orang di negeri ini cukup memahaminya. Hal itu karena mindset kepemimpinan yang sesungguhnya telah hilang dari kepala-kepala siapa saja yang ingin jadi pejabat. Kategori pemimpin seperti Kholifah Umar dan para pemimpin yang jujur tercabut dari diri mereka. Pantaslah karena ingin mengembalikan modal, korupsi menjadi solusi bagi mereka.Tak ada makan siang yang gratis. Saat sebelum dipilih, modal mereka sangat banyak. Maka wajar saat sudah terpilih modal itu harus kembali dan surplus.

Wajar bukan jika mereka berupaya curang saat memimpin. Permintaan fee dari pemimpin pada kontraktor itu menjadi jalan mendapatkan harta. Padahal harta itu bukan milik mereka. Harta itu milik rakyat tang tidak tau menau akan hal ini. Karena andaikan tidak terbongkar, selama itu pula hak rakyat akan dicuri secara sembunyi. Kasihan masyarakat negeri ini. Terus dikhianati oleh pemimpinnya sendiri.

Selain karena kesalahan mindset tentang menjadi seorang pemimpin. Beberapa faktor lain juga menimbulkan masalah korupsi yang berulang. Sanksi yang sudah ada tidak membuat jera. Sanksi yang ada tak terbukti sukses menghapus atau bahkan sekadar meminimalisir praktik ini. Masyarakat sudah biasa melihat praktik ini.

Parahnya, masyarakat bahkan teredukasi untuk melakukan hal yang sama saat mereka ada peluang untuk posisi itu. Itulah dia, sistem itu justru mengkatalisasi korupsi untuk semakin banyak terjadi. Hukum dan sanksi yang dibuat, bertolak belakang dengan sistem itu sendiri yang justru mengkatalisasinya.

Berbeda halnya jika praktik korupsi itu terjadi dalam negara bersistem syariah.
Negara itu akan memblok praktik ini sejak awal. Pada saat pemilihan seorang pemimpin itu dilaksanakan, mekanismenya jelas hemat biaya, hemat waktu dan tak perlu korporat.

Sehingga dalam waktu singkat dan mudah seorang pemimpin itu termasuk bupati (amil) terpilih. Biasanya ditunjuk langsung oleh khalifah.

Jadi meniadakan prosesi yang bertele-tele dan menghabiskan banyak biaya. Tak ada juga korporat yang menjerat pemimpin itu karena dibantu dalam pemilihannya. Hal ini secara otomatis meniadakan peran korporasi dalam jeratannya saat bertugas nanti.

Sistem syariah yang rapi dan jelas ini memastikan masyarakat untuk mendapatkan pemimpin yang jujur dan bervisi menjadi pelayan mereka.

Sebagaimana seorang pelayan, masyarakat adalah majikan mereka. Mereka saling mencintai karena Allah. Allah mengamanahkan pelayanan masyarakat pada pemimpin itu. Sementara masyarakat mencintai mereka dan mematuhi mereka sepenuh hati.

Harta milik masyarakat pun tak akan diambil oleh pemimpin mereka. Semuanya dikelola secara amanah sesuai syariah. Harta masyarakat itu menjadi berkah dan melimpah. Allah ridho dengan pemimpin seperti itu. Mereka dicintai masyarakatnya. Mereka pun pemimpin yang mencintai masyarakatnya.

Mereka para pemimpin dijamin tak akan mengambil hak rakyat. Mereka senantiasa menjadi pelayan masyarakat. Mereka senantiasa patuh pada hukum Allah untuk mendedikasikan hidupnya melayani masyarakat. Korupsi tidak akan terjadi. Sebab mereka disantuni oleh negara secara cukup. Itulah yang dimaksudkan syariah yang menjadi pencegah atas sebuah pelanggaran syariah.

Andaikata terjadi korupsi, syariah islam memiliki mekanisme khusus. Departemen keamanan dalam negeri dalam hal ini kepolisian memantau pelaksanaan hukum oleh para pejabat termasuk bupati (wali). Lalu jika ditemukan kecurangan dari pejabat itu, mereka melaporkan pada Qodhi. Jika hak jamaah yang diambil semisal infrastruktur,
maka Qodhi yang bertugas adalah qodhi hisbah. Qodhi yang mengurus hak jamaah.

Saat itu juga dan tidak berlama-lama, bupati tadi disidangkan dan diputuskan apa hukumannya. Qodhi memutuskan hukuman bagi pelaku korupsi (penggelapan) itu. Hukumannya ditentukan qodhi sesuai hukum syara.

Mengenai korupsi ini Rasulullah melarangnya. Dalam Musnad Ibn Hanbal disebutkan hadis berikut ini.

حَدَّثَنَا الْأَسْوَدُ بْنُ عَامِرٍ حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرٍ يَعْنِي ابْنَ عَيَّاشٍ عَنْ لَيْثٍ عَنْ أَبِي الْخَطَّابِ عَنْ أَبِي زُرْعَةَ عَنْ ثَوْبَانَ قَالَ لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّاشِيَ وَالْمُرْتَشِيَ وَالرَّائِشَ يَعْنِي الَّذِي يَمْشِي بَيْنَهُمَا

Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Al Aswad bin ‘Amir telah bercerita kepada kami Abu Bakar bin ‘Ayyasy dari Laits dari Abu Al Khoththob dari Abu Zur’ah dari Tsauban berkata; Rasulullah Shallallahu’alaihiwasallam melaknat orang yang menyuap, yang disuap dan perantaranya (broker, makelar).”

Pada Musnad Ad-Darimi dinyatakan hadis tentang harta ghulul.
حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ عِيسَى حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ عَيَّاشٍ عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ عَنْ عُرْوَةَ بْنِ الزُّبَيْرِ عَنْ أَبِي حُمَيْدٍ السَّاعِدِيِّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ هَدَايَا الْعُمَّالِ غُلُولٌ

Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Ishaq bin Isa telah menceritakan kepada kami Isma’il bin Ayyasy dari Yahya bin Sa’id dari Urwah bin Az Zubair dari Abu Humaid As Sa’idi bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “hadiah bagi para kuli adalah ghulul (hasil ghanimah yang diambil secara sembunyi-senmbunyi sebelum pembagiannya).”

Demikianlah syariah Islam mengkategorikan korupsi itu pada penggelapan dan tindakan ghulul (fee) dari proyek. Haram hukumnya mengambil hak rakyat.

Maka jika sudah ditetapkan hukuman itu oleh syariah. Para pelaku korupsi itu diberikan sanksi tegas. Maka hal itu akan mencegah bagi yang lain agar tidak melakukannya lagi. Korupsi akan tuntas. Tidak berulang kejadiannya.

Selain itu negara sebagai institusi penjaga syariah akan memastikan pengawasan terhadap kinerja para gubernur dan bupati sesuai aturan islam. Kontrol masyarakat dalam majelis ummat, kontrol polisi di departemen keamanan dalam negeri dan sanksi tegas dari Qodhi
merupakan mekanisme yang menutup celah secara rapat.

Para polisi di departemen keamanan dalam negeri akan memantaunya. Bahkan sebelum terjadi penandatanganan keputusan untuk penggelapan itu. Infrastruktur yang dibangun pun bukan dikerjakan oleh pihak swasta. Namun oleh negara dalam departemen yang khusus. Kerjanya senantiasa dalam pengawasan. Celah fee yang selalu ada dalam proyek penguasa dan korporat akan tertutup. Korupsi tak punya jalan beraksi lewat fee (ghulul).

Dengan demikian, jika pun ada yang terlanjur terjadi, tidak sampai dua tahun perbuatan itu seharusnya sudah terbongkar. Bukan seperti yang terjadi pada Bupati Langkat itu. Dua tahun baru bisa diketahui. Terlalu lama.

Wajarlah,
OTT KPK pun tak seharusnya menunggu waktu lama. Karena aset negara akan hilang dalam waktu cepat, demikian juga dengan barang buktinya juga.
Sistem syariah selangkah lebih maju mencegah korupsi ini dari akarnya. Celah peluang itu yang ditutup.

Kholifah sebagai pemimpin negara akan mampu mengawasi mereka para gubernur dan bupatinya.
Umar bin Khattab sangat ketat dan tegas pengawasannya. Dia sering mengumpulkan para gubernurnya untuk menjaga mereka agar tetap berpegang teguh pada syariah saat bertugas.

Pengambilan harta ghulul yang bukan milik mereka, termasuk fee akan ditolak mereka. Mereka tidak akan mengambilnya atau menggelapkannya. Suap menyuap dan penggelapan itu tak akan terjadi karena dicegah secara sistemik.

Benarlah, keimanan mereka , kontrol Kholifah, kontrol departemen keamanan dalam negeri, sanksi hukum tegas atas penggelapan, dan lembaga peradilan yang tegas menutup celah dan pintu penggelapan itu.
Korupsi pasti terhapus dari negara yang bersistem seperti ini.

Itulah kepentingan butuhnya kita pada sistem seperti ini. Sistem yang sesuai dengan fitrah manusia. Sistem yang menyejahterakan semua pihak, mulai dari penguasa, masyarakat hingga orang-orang yang di sekitarnya. Keberakahan hukum sang pencipta menuntaskan korupsi hingga ke akar-akarnya. Wallahu A’lam bisshowaab.***

 

Penulis seorang Pegiat Literasi Islam Kota Medan

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *