Oleh : Alfiah, S.Si
Tampaknya koruptor sedang naik daun saat ini. Betapa tidak? Pegawai KPK yang beringas terhadap koruptur selama ini justru ditebas, sementara koruptor yang merugikan keuangan negara malah menjadi penyuluh antikorupsi. Dagelan macam apa ini?
Rakyat yang sedang sekarat mencari sesuap nasi di tengah pandemi yang tak kunjung henti, disuguhi lakon KPK yang semakin jauh dari semangat pemberantasan korupsi. Kalau sudah begini yakinlah prilaku korupsi akan dibenarkan, orang yang jujur akan disingkirkan.
Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI), Boyamin Saiman menyebut, Ketua KPK, Firli Bahuri dan para pimpinan lainnya memiliki pemikiran yang sesat. Kesesatan berpikir Firli Bahuri dan kawan-kawan disebutnya, karena di satu sisi KPK diduga sedang berupaya menyingkirkan 51 pegawainya dengan dalih tidak lolos TWK (Tes Wawasan Kebangsaan). Lanjutnya, dengan kebijakan yang diambil itu, KPK seolah-seolah menganggap para narapidana adalah korban bencana.
Sementara KPK berdalih ini dilakukan KPK sebagai upaya untuk mengedukasi masyarakat terkait pendidikan antikorupsi. KPK memberikan gelar “penyintas korupsi” kepada koruptor. Arti penyintas adalah orang yang selamat dari bencana. Lha mereka pelakunya kok dianggap “korban”? Aneh memang.
Mantan Sekretaris Kementerian BUMN Muhammad Said Didu pun menanggapi kebijakan baru yang ingin dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ia menilai para koruptor dinilai tidak pantas jika disebut sebagai penyintas korupsi karena mereka adalah pelaku, bukan korban.
Kalau para koruptor akan diberikan jabatan penyuluh korupsi, sudah tepat kalau KPK_RI sekarang dianggap pelindung koruptor. Toh Harun Masiku saja sampai saat ini tak kunjung tertangkap, padahal KPK mengaku tahu keberadaannya.
Tak habis pikir lagi, presiden seolah membiarkan carut marut KPK ini. Jika koruptor terus dilindungi dan pemberantasan korupsi masih tebang pilih, yakinlah para pejabat negeri ini akan semakin leluasa memperkaya diri. Sementara rakyat hanya bisa gigit jari.
Ketegasan Khalifah Harun ar-Rasyid terhadap Koruptor
Era pemerintahan Khalifah Harun ar-Rasyid dikenal sebagai The Golden Age of Islam. Selain itu, dalam menjalankan roda pemerintahan, ia dikenal tegas dan adil. Ia tak mengenal kompromi dengan korupsi yang merugikan rakyat. Sekalipun yang berlaku korup itu adalah orang yang dekat dan banyak berpengaruh dalam hidupnya. Sosok pemimpin seperti beliau sangat jarang bahkan mustahil dalam sistem saat ini.
Tanpa ragu-ragu, Khalifah Harun ar-Rasyid memecat dan memenjarakan Yahya bin Khalid yang diangkatnya sebagai perdana menteri (wazir). Harun pun menyita dan mengembalikan harta Yahya senilai 30,676 juta dinar hasil korupsi ke kas negara. Dengan begitu, pemerintahan yang dipimpinnya bisa terbebas dari korupsi yang bisa menyengsarakan rakyatnya. Pemerintahan yang bersih dari korupsi menjadi komitmennya.
Sang khalifah benar-benar memperhatikan dan mengutamakan kesejahteraan rakyatnya. Guna meningkatkan kesejahteraan negara dan rakyat, Harun Ar-Rasyid memajukan ekonomi, perdagangan, dan pertanian dengan sistem irigasi. Kemajuan dalam sektor-sektor ini menjadikan Baghdad, ibu kota pemerintahan Bani Abbas, sebagai pusat perdagangan terbesar dan teramai di dunia saat itu. Karenanya, negara memperoleh pemasukan yang besar dari kegiatan dagang tersebut, disamping perolehan dari pajak perdagangan dan pajak penghasilan bumi.
Pemasukan kas negara yang begitu besar itu tak dikorup sang khalifah. Harun Ar-Rasyid menggunakan dana itu untuk membiayai pembangunan sektor-sektor lain, seperti pembangunan Kota Baghdad dengan gedung-gedungnya yang megah, pembangunan sarana-sarana peribadatan, pendidikan, kesehatan, perdagangan, serta membiayai pengembangan ilmu pengetahuan di bidang penerjemahan dan penelitian.
Sungguh kita pasti merindukan pemimpin seperti Khalifah Harun ar-Rasyid. Rakyat sejahtera pejabat yang bersih dan tidak perlu ada buzzer tentunya. ***
Penulis merupakan pemerhati masalah sosial
Eksplorasi konten lain dari Riaunews
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.