Sabtu, 16 November 2024

Menyoal Kebocoran Pajak yang Makin Struktural dan Masif

Ikuti Riaunews.com di Google Berita
 

Oleh Diajeng Kusumaningrum, Fasilitator MT Mar’atus Shalihah Pangkalan Kerinci, Riau.

Baru baru ini kehebohan kebocoran pajak di negeri ini menyeruak. Presiden Indonesia ke delapan, Prabowo Subianto, mengungkapkan bahwa beliau memiliki data 300 pengusaha nakal yang mengemplang pajak senilai Rp 300 Trilyun. Data tersebut didapat dari Menteri Koordinator bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan dan Kepala Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) M. Yusuf Ateh (cnbcindonesia.com, 12/10/2024). Sebagian besar pengemplang pajak tersebut disinyalir merupakan pengusaha kebun sawit.

Sebagai negara yang mengandalkan penerimaan dari sektor pajak, tentu kebocoran ini sangat disayangkan, karena berimbas pada berkurangnya penerimaan negara guna dana penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan.

Suka maupun tidak, memang pajak merupakan sektor andalan sebagai pos penerimaan negara Indonesia. Pendapatan Negara tahun 2024 diestimasi sebesar Rp2.802,3 triliun, dengan sumber terbesar dari dari penerimaan perpajakan sebesar Rp2.309,9 triliun, sementara sektor Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebesar Rp492 triliun (www.kemenkeu.go.id, 22/02/2024).

Pada teorinya, upaya optimalisasi pendapatan negara juga dilakukan, dengan tetap memperhatikan keberlanjutan dunia usaha dan daya beli masyarakat, serta aspek keadilan dalam sistem perpajakan.

Namun dalam kenyataannya, menurut data pada akhir tahun 2023 kerugian negara akibat korupsi mencapai Rp230 triliun dalam 10 tahun terakhir (dataindonesia.id, 23/12/2023). Hal ini belum mencakup kerugian negara akibat korupsi timah, yang disinyalir jumlah kerugian melonjak dari 271 Trilyun menjadi 300 Trilyun rupiah.

Kemudian terdapat pula data yang menunjukkan bahwa 88,2 persen dari total koruptor melakukan tindak pidana korupsi yang berkaitan dengan kerugian keuangan negara (lokadataberitagar.id). Mereka melakukan korupsi dalam rangka memperkaya diri sendiri, orang lain atau suatu korporasi dengan cara melawan hukum maupun menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya.

Modus jenis korupsi kerugian keuangan negara antara lain: markup anggaran, mengurangi kuantitas dan kualitas barang/jasa, penggunaan dana/anggaran yang tidak sesuai dengan peruntukannya, juga membuat laporan fiktif.

Mungkin itulah sebabnya para wajib pajak malas membayar pajak, selain jenis dan jumlah pajak semakin beranekaragam dan memberatkan, juga karena dana pajak banyak diselewengkan untuk memperkaya para pejabat itu sendiri (koruptor).

Sebenarnya selain pajak, pemerintah Indonesia memiliki sektor penerimaan lain, yaitu Sektor Penerimaan Bukan Pajak (PNBP)Penerimaan negara Indonesia berasal dari beberapa sumber, di antaranya: (1) PNBP Sumber Daya Alam, yang berasal dari pemanfaatan SDA seperti migas, pertambangan mineral dan batubara, kehutanan, perikanan, dan panas bumi . (2) PNBP Lainnya, yang berasal dari kegiatan layanan yang diberikan kepada masyarakat, seperti pengurusan SIM, pengurusan paspor, dan penjualan hasil lelang tindak pidana korupsi . (3) Pendapatan dari Kekayaan Negara yang Dipisahkan, yang berasal dari bagian pemerintah atas laba bersih setelah pajak yang dihasilkan oleh BUMN dan perseroan terbatas lainnya, serta (4) Hibah. Namun pada kenyataannya, penerimaan negara dari sektor bukan pajak belum menyumbang signifikan (diestimasi penerimaan PNBP 2024 sebesar 492 Triliun rupiah).
Oleh karena itu, sektor pajak masih menjadi tumpuan andalan pemerintah RI sebagai sumber pemasukan yang dijadikan modal pembelanjaan/pembiayaan negara sepanjang tahun.

Hal ini bertolak belakang dengan kacamata sistem ekonomi Islam, pajak bukanlah sumber penerimaan negara yang utama, akan tetapi opsi terakhir yang dipungut terhadap kepala keluarga yang masih memiliki kelebihan pendapatan, dan hanya jika kondisi keuangan negara defisit. Secara fitrahnya, memang pajak yang dibebankan dalam berbagai aspek ekonomi terasa berat membebani masyarakat, tidak terkecuali pengusaha besar. Nah, sistem islam tidak mengandalkan sektor pajak, malah justru menghindarinya.

Lantas darimana pendapatan negara bisa diperoleh? Sumber Pendapatan negara khilafah adalah sebagai berikut:
(1)Anfal, ghanimah, fai dan khumus, (2) Kharaj, (3) Jizyah, (4)Harta milik umum/meliputi berbagai hal yang menjadi kebutuhan hidup masyarakat, seperti:
Jalan raya, Taman kota, Jembatan, Padang gembalaan, hutan alam, Bahan tambang, Air, Rumah ibadah. (5) Harta milik negara (6) Usyur (7) Harta tidak sah dari para penguasa dan pegawai negara, (8) harta hasil usaha yang terlarang dan denda. (9) Khumus dari barang temuan dan barang tambang, (10) harta orang yang tidak memiliki ahli waris.

Jadi, sumber penerimaan dalam sistem pemerintahan Islam (daulah khilafah sebagaimana para Khulafaur Rasyidin) sangat bermacam-macam. Konsep kepemilikan dijaga dan dijamin oleh negara serta konstitusinya, sehingga tidak boleh ada kepemilikan umum yang dimiliki pribadi, dan menjadi sumber kekayaan pribadi (misal tambang emas, logam, minyak, batubara, dll).

Dengan konsep ekonomi Islam, penerimaan negara akan sangat mencukupi bahkan berlebih, sehingga tidak perlu lagi memeras rakyat dengan membebankan pajak intensif dan ekstensif. Jadi, masihkah memikirkan kebocoran pajak? Bukankah sistem ekonomi Islam min Fadli Robbi lebih baik? Wallahu a’lam bishshawwab.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *