
Oleh : Alfiah, S.Si
Keanehan kembali terjadi ketika korban meninggal justru dijadikan tersangka. Akal waras kita kembali dipaksa untuk menerima fakta yang sudah diakrobat sedemikian rupa.
Hasya, mahasiswa UI yang meninggal ditabrak purnawirawan Polri, justru menjadi tersangka. Pantas saja jika BEM UI menyebut peristiwa yang menimpa Hasya sebagai fenomena “Sambo Jilid Dua”.
Adalah Muhammad Hasya Atallah Saputra ditetapkan sebagai tersangka kasus kecelakaan lalu lintas oleh Satuan Lalu Lintas Polres Metro Jakarta Selatan (Satlantas Polrestro Jaksel).
Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI) pun menilai tindakan kepolisian itu sebagai bentuk rekayasa kasus dan seperti mirip ulah Irjen Ferdy Sambo dalam kasus kematian Brigadir J (republika.co.id, 29/01/2023).
Hasya menjadi korban kecelakaan di Srengseng Sawah, Kecamatan Jagakarsa, Jaksel pada Kamis (6/1/2023) malam WIB. Mahasiswa FISIP UI tersebut meninggal tidak lama setelah kecelakaan yang melibatkan AKBP (Purn) Eko Setio Budi Wahono.
BEM UI geram karena Hasya yang menjadi korban dan meninggal dunia malah ditetapkan sebagai tersangka.
Haruskah kita mengatakan bahwa Kepolisian semakin hari semakin beringas dan keji?
Karena kita lagi-lagi dipertontonkan dengan aparat kepolisian yang hobi memutarbalikkan fakta dan menggunakan proses hukum untuk jadi tameng kejahatan.
Kuasa hukum keluarga almarhum Hasya sendiri, Gita Paulina menyatakan bahwa penetapan Hasya sebagai tersangka adalah tindakan cacat hukum.
Pasalnya, AKBP (Purn) Eko Setio Budi Wahono justru menolak untuk menolong Hasya pada saat Hasya sekarat.
Terduga pelaku tidak langsung berhenti sejak menabrak di lokasi. Gita pun mempertanyakan, mengapa terduga pelaku tidak dites urine?
Terduga pelaku malah membiarkan salah satu saksi di lokasi untuk mencari ambulans ke tiga rumah sakit terdekat.
Wajar saja jika pihak kuasa hukum dan keluarga merasa kecewa dan terus mempertanyakan hal tersebut.
Gita menyebut, kepolisian sengaja tidak menggali fakta itu lebih dalam. Hal ini tentu menjadikan profesionalisme penegak hukum di negeri ini patut dipertanyakan.
Padahal profesionalisme menjadi salah satu hal penting yang harus dimiliki dalam profesi apapun dan lembaga manapun. Apalagi kepolisian sebagai institusi penegak hukum, seharusnya menjunjung tinggi supremasi hukum.
Dalam sistem kapitalis-sekuler saat ini hukum sering diperjual belikan. Penegakan hukum hanya tajam ke bawah, tumpul ke atas. Jika yang bersalah adalah rakyat biasa maka hukum akan ditegakkan setegak-tegaknya. Namun jika pejabat atau konglomerat yang bersalah maka hukum bak benang basah yang mustahil untuk ditegakkan.
Apakah para pemangku negeri ini tak khawatir akan bencana yang akan Allah timpakan jika tak menegakkan hukum dengan adil?
Sungguh kondisi ini berbeda dengan sistem Islam yang menjunjung tinggi supremasi hukum. Karena hukum pada dasarnya adalah milik Allah, manusia hanya pelaksana. Dorongan ketakwaan kepada Allah lah yang membuat hukum tetap bisa ditegakkan kepada siapapun dan dimanapun.
Kisah Rasulullah SAW dalam menegakkan keadilan patut diteladani oleh umat Islam, khususnya yang menjadi penegak hukum di negeri ini. Karena, bagi Rasulullah, keadilan tidak pernah pandang bulu.
Dikutip dari riwayat Aisyah RA dijelaskan sebagai berikut:
Ada seorang wanita yang telah mencuri. Dia berasal dari keluarga terhormat dan disegani dari Bani Makhzum. Karena perbuatannya, ia pun harus dihukum sesuai dengan syariah, yaitu dengan dipotong tangannya.
Namun, kaum dan keluarga wanita itu merasa keberatan. Karena itu, mereka melakukan berbagai upaya untuk memaafkan wanita itu dan membatalkan hukuman potong tangan.
Akhirnya, mereka menemui Usamah bin Zain, seorang sahabat yang dekat dan dicintai Rasulullah. Mereka memohon kepada Usamah untuk menghadap Rasulullah dan menyampaikan maksud mereka.
Usamah pun beranjak pergi menemui Rasulullah dan menyampaikan keinginan keluarga wanita yang melakukan pencurian itu.
Setelah mendengarkan permintaan itu, Rasulullah pun terlihat marah, lalu berkata, “Apakah kau meminta keringanan atas hukum yang ditetapkan Allah?”
Kemudian, beliau berdiri dan berkhutbah di hadapan kaum muslimin hingga sampai pada sabdanya: “Sesungguhnya yang telah membinasakan umat sebelum kalian adalah jika ada orang terhormat dan mulia di antara mereka mencuri, mereka tidak menghukumnya. Sebaliknya jika orang rendahan yang mencuri, mereka tegakkan hukuman terhadapnya. Demi Allah, bahkan seandainya Fatimah putri Muhammad mencuri, niscaya aku sendiri yang akan memotong tangannya!”.
Masya Allah. Masih banyak lagi bukti keagungan sistem Islam. Salah satunya peristiwa baju besi Ali bin Abi Thalib.
Dalam riwayat Amir As Sya’bi, suatu hari khalifah Ali pergi ke pasar. Tiba-tiba ia bertemu seorang Nasrani yang menjual baju besi. Ia mengenali baju besi tersebut.
Khalifah Ali bin Abi Thalib pun berkata kepada orang itu, “Ini adalah baju besi milikku. Urusan antara saya dengan kamu akan diputuskan oleh hakim kaum muslimin.”
Waktu itu, hakim kaum muslimin dijabat oleh Syuraih.
Keduanya lalu pergi ke pengadilan. Di depan hakim, Ali mengatakan, “Ini adalah baju besiku yang hilang sejak lama.”
Syuraih bertanya kepada orang Nasrani, “apa pendapatmu?”
Orang itu menjawab, “Saya tidak ingin mendustakan Amirul Mukminin, tapi baju besi ini milikku.”
Syuraih berkata, “Saya tidak melihat alasan untuk mengambil baju besi itu dari tangannya, apakah ada bukti?
Ali berkata, “Syuraih benar, saya tidak punya bukti.”
Tiba-tiba orang Nasrani itu berkata, “Adapun saya sungguh menyaksikan bahwa ini adalah hukum seorang Amirul Mukminin, yang datang menuntut kepada hakim bawahannya, lalu si hakim mengalahkan tuntutannya. Baju besi ini, demi Allah adalah milikmu wahai Amirul mukminin. Saya mengikutimu, lalu baju besi itu jatuh dari untamu Al awraq. Saya pun mengambilnya.”
“Maka saya bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah dan sesungguhnya Muhammad adalah utusan Allah,” lanjut orang Nasrani tadi.
Usai itu, Ali pun berkata, “Jika engkau masuk Islam, maka baju besi itu menjadi milikmu.”
Demikianlah seharusnya penegakan hukum. Tidak pandang bulu. Yang bersalah tetap dihukum secara adil meski ia pemimpin tertinggi negeri. Yang benar harus tetap dibela meski ia tak punya jabatan sama sekali.
Sungguh tegaknya negara jika keadilan tetap tegak. Kehancuran negara jika keadilan tak lagi tampak. Wallahu a’lam bi ash shawab.***
Penulis pegiat literasi Islam