Opini  

Moderasi Agama: Dari Pluralisme Hingga Natal Bersama

Menteri Agama Yaqut Cholil Qumas.

Oleh : Alfiah, S.Si

Isu moderasi agama tampaknya semakin menguat. Kemenag di bawah Yaqut adalah di antara pihak yang paling gencar mengampanyekan moderasi agama. Isu ini terus diangkat sebagai isu yang seolah penting. Padahal ada isu yang jauh lebih penting dan berbahaya. Menggunungnya utang negara separatisme Papua, korupsi dan kriminalitas.

Moderasi tentu sejalan dengan isu radikalisme yang juga terus-menerus digoreng. Padahal jelas, isu radikalisme tak jelas juntrungannya. Apa dan siapa yang disebut kelompok radikal, masih samar. Yang tidak samar, isu radikalisme hanyalah kelanjutan dari isu terorisme yang sudah usang dan sudah tidak laku.

Sebagaimana isu terorisme, isu radikalisme selalu menyasar kalangan Muslim. Terutama tentu mereka yang berpegang teguh pada agamanya, yang selalu berusaha terikat dengan syariahnya, bahkan yang menginginkan penerapan syariah Islam secara kaffah dalam seluruh aspek kehidupan. Lalu pada saat yang sama, diangkatlah moderasi agama sebagai antitesisnya.

Paham moderasi agama secara garis besar adalah paham keagamaan yang moderat. Moderat sering dilawankan dengan radikal. Kedua istilah ini bukanlah istilah ilmiah, tetapi cenderung merupakan istilah politis. Kedua istilah ini memiliki maksud dan tujuan politik tertentu. Sebabnya, moderat adalah paham keagamaan (Islam) yang sesuai selera Barat. Sesuai dengan nilai-nilai Barat yang notabene sekuler (memisahkan agama dari kehidupan). Sebaliknya, radikal adalah paham keagamaan (Islam) yang dilekatkan pada kelompok-kelompok Islam yang anti Barat.

Di antara sikap beragama yang dipandang moderat adalah keterbukaan terhadap pluralisme. Pluralisme adalah paham yang cenderung menyamakan semua agama. Semua agama dianggap benar oleh para pengusung pluralisme. Sebabnya, kata mereka, semua agama sama-sama bersumber dari “mata air” yang sama. Sama-sama berasal dari Tuhan.

Karena itu tidak aneh jika kaum pluralis rajin mempromosikan toleransi beragama yang sering kebablasan. Wujudnya antara lain seperti: ucapan Selamat Natal kepada kaum Nasrani, Perayaan Natal Bersama, doa bersama lintas agama, shalawatan di gereja, dll. Semua itu tentu telah melanggar batas-batas akidah seorang Muslim. Telah mencampuradukkan yang haq dengan yang batil. Semua itu bisa membuat seorang Muslim murtad (keluar) dari Islam.

Dalam konteks akidah dan ibadah, misalnya, ada sebagian Muslim yang berpendapat tentang kebolehan mengucapkan Selamat Natal kepada kaum Nasrani, bahkan kebolehan mengikuti Perayaan Natal Bersama. Padahal jelas, segala bentuk ucapan selamat dan apalagi mengikuti perayaan hari-hari besar orang kafir adalah haram.

Dasarnya antara lain: Pertama, firman Allah SWT yang menyatakan salah satu sifat hamba-Nya (‘Ibâd ar-Rahmân):

وَالَّذِينَ لَا يَشْهَدُونَ الزُّورَ

…dan mereka tidak menyaksikan kepalsuan… (QS al-Furqan [25]: 72).

Ketika menafsirkan ayat ini Imam al-Qurthubi (w. 671 H) menyatakan, “Maknanya adalah tidak menghadiri dan menyaksikan setiap kebohongan dan kebatilan. Az-Zûr adalah setiap kebatilan yang dihiasi dan dipalsukan. Zûr yang paling besar adalah berlaku syirik dan mengagungkan berhala. Ini adalah penafsiran Adh-Dhahhak, Ibnu Zaid dan Ibnu Abbas ra.

Dalam pandangan Islam, Peringatan Natal adalah kebatilan/kebohongan. Alasannya, Peringatan Natal adalah peringatan atas kelahiran Nabi Isa as. sebagai salah satu oknum Tuhan. Jelas, majelis yang di dalamnya ada pengakuan bahwa Isa as. adalah anak Tuhan adalah majelis yang batil.
Kedua, Rasulullah saw. bersabda:

إِنَّ لِكُلِّ قَوْمٍ عِيْدًا وَهَذَا عِيْدُنَا

Sungguh setiap kaum mempunyai hari raya dan ini (Idul Adha dan Idul Fitri) adalah hari raya kita (HR al-Bukhari dan Muslim).

Dari sini dapat dipahami bahwa setiap umat mempunyai hari raya sendiri-sendiri, Karena itu umat Islam tidak perlu ikut-ikutan merayakan hari raya umat yang lain.
Selain itu Sayidina Umar bin al-Khaththab ra. pernah berkata:

إِجْتَنِبُوْا أَعْدَاءَ اللهِ فِيْ عِيْدِهِمْ

Jauhilah oleh kalian musuh-musuh Allah (kaum kafir) pada hari raya mereka (HR al-Bukhari dan al-Baihaqi).

Karena itu Imam Jalaluddin as-Suyuthi asy-Syafii (w. 911 H) berkata:

وَ اعْلَمْ أَنَّهُ لَمْ يَكُنْ عَلَى عَهْدِ السَّلَفِ السَّابِقِيْنَ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ مَنْ يُشَارِكِهِمْ فِي شَيْءٍ مِنْ ذَلِكَ

Ketahuilah bahwa tidak pernah ada seorang pun pada masa generasi salaf dari kaum Muslim yang ikut serta dalam hal apa pun dari perayaan mereka (Haqiqat as-Sunnah wa al-Bid’ah, hlm. 125).

Imam Ibnul Qayyim al-Jauziyah—ulama mazhab Hanbali—juga berkata:

وَأَمَّا التَّهْنِئَةُ بِشَعَائِرِ الْكُفْرِ الْمُخْتَصَّةِ بِهِ فَحَرَامٌ بِالِاتِّفَاقِ مِثْلَ أَنْ يُهَنِّئَهُمْ بِأَعْيَادِهِمْ وَصَوْمِهِمْ، فَيَقُولَ: عِيدٌ مُبَارَكٌ عَلَيْكَ، أَوْ تَهْنَأُ بِهَذَا الْعِيدِ، وَنَحْوَهُ، فَهَذَا إِنْ سَلِمَ قَائِلُهُ مِنَ الْكُفْرِ فَهُوَ مِنَ الْمُحَرَّمَاتِ، وَهُوَ بِمَنْزِلَةِ أَنْ يُهَنِّئَهُ بِسُجُودِهِ لِلصَّلِيبِ

Adapun memberi ucapan selamat pada syiar-syiar kekufuran yang khusus bagi kaum kafir adalah sesuatu yang diharamkan berdasarkan ijmak (kesepakatan) para ulama. Contohnya adalah memberi ucapan selamat pada hari raya dan puasa mereka seperti mengatakan, “Semoga hari ini adalah hari yang berkah bagimu.” Bisa juga dengan ucapan selamat pada hari besar mereka dan semacamnya. Kalau memang orang yang mengucapkan hal ini bisa selamat dari kekafiran, dia tidak akan lolos dari perkara yang diharamkan. Ucapan selamat hari raya seperti ini pada mereka sama saja dengan kita mengucapkan selamat atas sujud yang mereka lakukan pada salib.” (Ibnul Qayyim al-Jauziyah, Kitab Ahkâm Ahl adz-Dzimmah, 1/441).

Dari semua hal tersebut di atas, jelaslah bahwa kaum Muslim dilarang ikut dalam Perayaan Natal, apalagi yang dilakukan di dalam gereja, termasuk sekadar mengucapkan Selamat Natal kepada kaum Nasrani. Karena itu fatwa MUI tanggal 7 Maret 1981, yang mengharamkan umat Islam merayakan Hari Natal sudah tepat. WalLâhu a’lam bi ash-shawâb. ***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *