Opini  

Monsterisasi Agama Berkedok Toleransi

Yaqut Cholil Qoumas
Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas.

Oleh : Alfiah, S.Si

Tak hanya ramai diperbincangkan, moderasi beragama kini sudah masuk dalam kebijakan. Seluruh lini dimasuki, agar moderasi beragama diyakini dan dijunjung tinggi. Adalah Kementerian Agama yang paling getol dan bertanggung jawab akan hal ini.

Menteri Agama Yaqut Cholil Chomas sejak awal dilantiknya menyampaikan pentingnya toleransi dan moderasi dalam memperkuat negara bangsa. Menurutnya moderasi dan toleransi secara substansi tidak jauh berbeda yang bertujuan mengarahkan perilaku beragama umat beragama di Indonesia untuk berada di jalur tengah atau moderat.

Ikhtiar penguatan moderasi beragama oleh Kementerian Agama terus berlanjut. Tak tanggung-tanggung untuk memuluskan moderasi. Kementerian Agama (Kemenag) mengkader para pamuda Indonesia untuk menjadi duta moderasi beragama. Ditjen Bimas Islam Kemenag juga akan segera menerbitkan buku Moderasi Beragama. Penyusunan buku ini sudah selesai dan memasuki tahap review.

Adapun agenda moderasi beragama di bumi Melayu tampak dengan dilaunchingkannya Rumah Moderasi Beragama UIN Suska Riau pada Selasa (8/12/2020) lalu.

Bukan hanya mahasiswa saja yang menjadi target dari pemahaman moderasi beragama, para siswa-siswi pun kini menjadi target cikal bakal agen moderasi beragama. Seperti Zuhudiah Az-Zahra salah satu siswi MAN 1 Kampar yang akan mewakili Provinsi Riau menjadi Duta Moderasi Beragama Nasional Tahun 2021).

Juga tidak ketinggalan dari kalangan Penyuluh Agama Islam non PNS yang menjadi target Pengarusutamaan dan wawasan kebangsaan. Seperti yang dilansir dari riau.kemenag.go.id, ( 13/06/2021). Penguatan Moderasi beragama menjadi misi Kementerian Agama 2021-2022 dan pembangunan Nasional bidang keagamaan.

Perlu dipahami bahwa narasi moderasi beragama adalah bagian dari proyek deradikalisasi. Peristiwa runtuhnya WTC di New York City Amerika pada 11 September 2001 selalu dijadikan argumen program deradikalisasi. Program war on terrorism dan dilanjutkan dengan war on radicalism tak lebih dari serangan terhadap Islam. Dari sinilah program moderasi beragama bisa ditemukan jejak historis, politis dan ideologis.

Sesungguhnya tidaklah sama antara makna Islam washatiyah dengan Islam moderat. Propaganda moderasi agama adalah racun akidah.

Istilah washatiyah berasal dari al-Quran. Sebaliknya, istilah moderat berasal dari epistemologi Barat. Menyamakan keduanya akan melahirkan epistemologi oplosan yang menyesatkan umat.

Tanpa diberi embel-embel moderat, Islam adalah agama yang penuh kedamaian, toleransi, adil dan menebarkan kebaikan kepada seluruh alam semesta. Tanpa ada narasi moderasi beragama, Islam adalah agama yang paling bisa memberikan ruang pembiaran kepada pemeluk agama lain. Hanya paham demokrasi sekular yang diterapkan saat inilah yang justru menuduh Islam sebagai agama radikal dan anti keragaman.

Toleransi antaragama dalam Islam terbangun indah sejak beberapa abad lalu. Di Andalusia (kini Spanyol), misalnya, lebih dari 800 tahun pemeluk Islam, Yahudi dan Kristen hidup berdampingan dengan tenang dan damai. Di India sepanjang kekuasaan Bani Umayyah, Abbasiyah dan Utsmaniyah, Muslim dan Hindu hidup rukun selama ratusan tahun.

Namun ironisnya, propaganda narasi beragama itu cenderung menyasar agama Islam, bukan agama lainnya. Indikator yang terus dipropagandakan adalah soal komitmen kebangsaan, toleransi, anti kekerasan dan penerimaan atas tradisi.

Narasi moderasi beragama akan melumpuhkan ideologi Islam yang membawa kebangkitan umat.

Pengarusutamaan moderasi beragama adalah upaya menarik pluralitas sosiologis menuju pluralisme teologis atas nama keragaman dan toleransi.

Moderasi agama, bukan hanya soal propaganda teologis, namun juga membawa kepentingan politik neoimperialisme. Karena itu narasi moderasi agama yang dikaitkan dengan narasi radikalisme adalah upaya monsterisasi agama dan menyerang Islam . Waspadalah!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *