Oleh : Yenni Sarinah, S.Pd
PENCABULAN anak di bawah umur kembali berulang. Hukum tampaknya tak membuat jera. Para ibu histeris melihat anak perempuannya dirusak lelaki bejat. Para ayah tak mampu membela anaknya. Kemana peran Negara dan Aparat penegak hukum? Dimana peran masyarakat? Dimana peran keluarga sebagai bagian pelindung utama anak perempuan?
Kejadian pencabulan yang baru-baru ini terjadi. Pacar sang ibu, mencabuli kedua putrinya ketika ibunya tidak ada di rumah. YI mencabuli dua anak pelapor WG yang masing-masing berusia 11 tahun dan 14 tahun. Keduanya mengadu kepada WG karena sering dicabuli oleh YI, pacar ibu mereka. Kedua korban ikut dengan ibunya dan tinggal serumah dengan pelaku. (pekanbaru.tribunnews.com, 19/11/2022)
Seorang anak perempuan di bawah umur di Kecamatan Bukitraya, Kota Pekanbaru, Riau, menjadi korban pencabulan akibat aktifitas pacaran. Korban dicabuli teman prianya RS (22). Dari hasil pemeriksaan, pelaku mengakui telah mencabuli korban di hotel. Korban yang masih berumur 14 tahun telah pergi dari rumah. Keluarga sempat mencoba mencari korban, namun tidak ditemukan. (kompas.com, 06/10/2022)
Pelaku pencabulan terhadap anaknya tak kunjung ditangkap, ibu di Pekanbaru ini akhirnya membuat sayembara bagi siapa saja yang bisa menangkap pelaku dan akan diberikan imbalan. Anaknya yang berusia 15 tahun, dicabuli tetangganya sendiri yang berusia 17 tahun dan kabur dengan meninggalkan anak perempuannya yang sedang hamil 2 bulan dengan keadaan depresi berat. Namun, Polsek Tenayan Raya hanya cuek dengan pengaduan ibu ini. (beritariau.com, 05/07/2022)
Tak hanya pemuda, lansia pun mengimingi uang 2 ribuan kepada anak di bawah umur untuk melancarkan aksi bejatnya. Seorang pria berumur 61 tahun di Pekanbaru dipolisikan setelah tertangkap basah mencabuli anak berusia 9 tahun berinisial AR di sebuah rumah kosong di Jalan Cendrawasih, Kecamatan Marpoyan Damai. (riau.antaranews.com, 12/04/2022)
Kita dapat melihat bahwa kasus ini terjadi karena adanya kesempatan, dan kesempatan ini hadir ketika hukum-hukum Allah dilanggar.
Pertama, Allah melarang mendekati zina. Hingga kasus ibu serumah dengan pacarnya, adalah bukti bahwa apa yang dilarang Allah itu sebenarnya menjaga perempuan. Aktifitas pacaran yang dilakukan ibunya juga tidak dikontrol oleh masyarakat dan negara. Seharusnya ada aturan yang menjerat pelaku kumpul kebo.
Kedua, begitupun kasus remaja yang dicabuli pacarnya di hotel. Nampak jelas bahwa hotel tidak mengambil peran preventif menjaga generasi, apalagi masyarakat dan negara sebagai pemegang kekuasaan dan hukum. Hukum baru bertindak ketika ada pengaduan. Bahkan hukum terkesan lamban jika yang menjadi korban adalah rakyat biasa.
Ketiga, tetangga yang tidak terikat hukum Islam ternyata juga membawa bahaya bagi anak perempuan kita. Padahal sejatinya tetangga adalah bagian dari keluarga terdekat yang dinanti kebaikannya, bukan kebejatannya.
Keempat, kasus pencabulan tak memandang usia, lansia pun berpotensi berbuat asusila terutama kepada anak perempuan yang masih lugu dan mudah dibawa kemana-mana oleh orang asing.
Sekularisme Merusak Alarm Kehidupan
Perlindungan anak yang merupakan hak anak, baru sebatas cita-cita. Hal ini akibat dari cara pandang sekularisme yang juga turut merusak alarm kehidupan. Wabah seksualisasi ini adalah buah busuk dari penerapan sekularisme dan kapitalisme.
Ideologi kapitalisme sekuler telah menyebarkan wabah seksualisasi ini yang secara sistematis melumpuhkan vitalitas generasi muda dan bangunan masyarakat.
Kapitalisme dengan promosi nilai-nilai sekulernya, telah mengantarkan anak-anak pada gerbang kebinasaan. Mereka yang seharusnya menjadi generasi pembangun masa depan telah binasa masa depannya karena menjadi pelaku sekaligus korban kriminalitas rendahan.
Untuk mewujudkannya, Indonesia mengacu pada Konvensi Hak Anak yang menetapkan lima klaster substansi hak anak. Klaster tersebut adalah (1) hak sipil dan kebebasan; (2) lingkungan keluarga dan pengasuhan alternatif; (3) kesehatan dasar dan kesejahteraan; (4) pendidikan, pemanfaatan waktu luang, dan kegiatan budaya; serta (5) perlindungan khusus.
Indonesia sendiri meratifikasi Konvensi Hak Anak pada 05/09/1990 melalui Keppres 36/1990. Indonesia kemudian memasukkan pemenuhan hak anak dan perlindungan anak sesuai Konvensi Hak Anak ke dalam konstitusi.
Amandemen kedua UUD 1945 memasukkan Pasal 28B Ayat (2) yang berbunyi, “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang, serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.” (kemenpppa.go.id, 23/11/2020)
Untuk mewujudkan perlindungan anak, sudah banyak regulasi yang dibuat maupun diadopsi oleh Indonesia. Di antaranya UU 23/2002 tentang Perlindungan Anak dengan dua pilar utama, yaitu pemenuhan hak anak dan perlindungan khusus anak. UU ini telah dua kali diubah melalui UU 35/2014 dan UU 17/2016.
Melalui UU 23/2014 tentang Pemerintah Daerah, negara mengamanatkan setiap daerah untuk melakukan berbagai upaya pemenuhan hak anak dan perlindungan anak.
Sungguh, sudah cukup banyak regulasi yang ditujukan untuk mewujudkan perlindungan anak. Perlindungan anak dari kekerasan merupakan bagian dari perlindungan khusus. Namun, masih banyak anak Indonesia mengalami kekerasan sepanjang hidupnya, termasuk kekerasan seksual.
Hasil Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPHAR) 2018 menunjukkan bahwa 1 dari 17 anak laki-laki dan 1 dari 11 anak perempuan pernah mengalami kekerasan seksual. Hasil SNPHAR 2021 menunjukkan 4 dari 100 anak laki-laki di perkotaan dan 3 dari 100 anak laki-laki di pedesaan pernah mengalami kekerasan seksual. Sebanyak 8 dari 100 anak perempuan, baik di perkotaan maupun perdesaan, pernah mengalami kekerasan seksual.
Secara umum, tercatat 1 dari 4 anak berusia 0—17 tahun mengalami kekerasan, baik fisik, psikis, maupun seksual. Secara jumlah memang menurun, tetapi ibarat fenomena gunung es, data tersebut bisa jadi lebih besar. Kekerasan terhadap anak, apa pun jenis kekerasannya, seharusnya sesuatu yang tidak boleh terjadi.
Butuh Pergantian Sistem
Kita tidak bisa terus menerus pasrah dan berharap pada sistem kapitalis yang rusak saat ini. Karena sistem ini hanya mementingkan keuntungan materi, melahirkan budaya hedon, dan foya-foya sampai mati. Kita butuh pergantian sistem kepada sistem Islam, karena sistem ini adalah sistem yang dibuat oleh Allah Ta’ala yang tidak ada cacat cela kecuali jika oknum tertentu yang menyalahgunakannya.
Alasannya :
Pertama, Islam Mencegah.
Menyorot makin masifnya kekerasan seksual terhadap anak, Islam satu-satunya agama yang memiliki mekanisme mencegahnya. Karena secara sistem, hanya penerapan Islam secara sempurna yang menjamin penghapusan tindak kekerasan terhadap anak.
Pada sektor ekonomi, mekanisme pengaturannya dengan menjamin nafkah bagi setiap warga negara, termasuk anak yatim dan terlantar. Islam membebaskan perempuan dari kewajiban mencari nafkah sehingga mereka bisa berkonsentrasi sebagai ibu dalam mendidik dan membentuk kepribadian anak.
Dalam sistem Islam, Negara wajib menjaga agar suasana takwa senantiasa hidup di masyarakat. Dengan melakukan pembinaan agama, baik di sekolah, masjid, dan lingkungan perumahan. Hal ini karena ketakwaan individu merupakan pilar pertama bagi pelaksanaan hukum-hukum Islam. Individu yang bertakwa tidak akan melakukan kekerasan seksual terhadap anak.
Orang tua juga harus paham hukum-hukum fiqih terkait anak sehingga bisa mengajarkan hukum Islam sejak mereka kecil, seperti menutup aurat, mengenalkan rasa malu, memisahkan kamar tidur anak, dan lain-lain.
Begitupun dengan aktifitas dakwah kepada Islam juga akan mencetak masyarakat bertakwa yang bertindak sebagai kontrol sosial untuk mencegah individu melakukan pelanggaran. Jadilah masyarakat sebagai pilar kedua dalam pelaksanaan hukum syara.
Kemudian, Negara mengatur mekanisme peredaran informasi di tengah masyarakat. Media massa di dalam negeri bebas menyebarkan berita, tetapi tetap terikat kewajiban untuk memberikan pendidikan bagi umat, menjaga akidah dan kemuliaan akhlak, serta menyebarkan kebaikan di masyarakat. Bila ada yang melanggar ketentuan ini, negara akan menjatuhkan sanksi kepada penanggung jawab media.
Untuk media asing, Negara akan memantau konten-kontennya agar tidak ada pemikiran dan hadharah (peradaban) yang bertentangan dengan akidah dan nilai-nilai Islam. Dengan mekanisme ini, pornografi, budaya kekerasan, homoseksualisme, dan sejenisnya dapat tercegah masuk ke dalam negeri.
Negara pun mengatur kurikulum sekolah yang bertujuan membentuk kepribadian Islam bagi para siswa. Kurikulum ini berlaku untuk seluruh sekolah yang ada di dalam negara, termasuk swasta, sedangkan keberadaan sekolah asing di dalam wilayah negara akan dilarang.
Selain itu, dalam aspek pergaulan antara laki-laki dan perempuan, negara membuat aturan berdasarkan hukum-hukum syara. Aturan ini bertujuan mengelola naluri seksual pada laki-laki dan perempuan dan mengarahkannya untuk mencapai tujuan penciptaan naluri ini, yaitu melahirkan generasi penerus yang berkualitas.
Oleh karena itu, Negara akan mempermudah pernikahan, bahkan wajib membantu para pemuda yang ingin menikah, tetapi belum mampu secara materi. Akibatnya, kemunculan naluri seksual dalam kehidupan umum dapat tercegah.
Laki-laki dan perempuan pun diwajibkan menutup aurat, menahan pandangan, menjauhi ikhtilat (interaksi laki-laki dan perempuan) yang diharamkan, dan lain-lain. Dengan metode ini, aurat tidak akan dipertontonkan dan seks tidak diumbar sembarangan.
Kedua, Islam punya Sanksi Tegas
Mengutip dari kitab Nizhâmu al-Uqubat, Negara dengan sistem Islam akan menghukum tegas para penganiaya dan pelaku kekerasan seksual terhadap anak. Pemerkosa mendapat 100 kali cambuk (bila belum menikah) dan hukuman rajam (bila sudah menikah). Penyodomi dibunuh. Jika melukai kemaluan anak kecil dengan persetubuhan, terkena denda 1/3 dari 100 ekor unta atau sekitar 750 juta rupiah, selain hukuman zina.
Dengan hukuman seperti ini, orang-orang yang akan melakukan kekerasan seksual terhadap anak akan berpikir beribu-ribu kali sebelum melakukan tindakan. Penerapan hukum secara utuh ini akan menyelesaikan dengan tuntas masalah kekerasan terhadap anak.
Dengan demikian, anak-anak dapat tumbuh dengan aman, menjadi calon-calon pemimpin, calon-calon pejuang, dan calon generasi terbaik. Akan tetapi, yang mampu menjalankan fungsi dan tanggung jawab seperti di atas tidak lain hanyalah negara yang menerapkan sistem Islam secara utuh, yaitu Khilafah Islamiah. Wallahu a’lam bis-showab.
Penulis pegiat literasi Islam Selatpanjang