Kamis, 24 Oktober 2024

Remaja, Kontrasepsi, dan Upaya Kesehatan Sistem Reproduksi dalam Islam

Ikuti Riaunews.com di Google Berita
 

Oleh Diajeng Kusumaningrum, Fasilitator MT Mar’atus Sholihah Pangkalan Kerinci Riau

Kontroversi mengemuka sejak Presiden Jokowi secara resmi menandatangani PP Nomor 28/2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, pada Jum’at, 26 Juli 2024.

Kecemasan ditimbulkan oleh bunyi Pasal 103 ayat 4, bahwa pemerintah turut mengatur penyediaan alat kontrasepsi bagi anak usia sekolah dan remaja. Hal ini tentu saja menimbulkan kehebohan, baik di kalangan anggota DPR, praktisi kesehatan, maupun masyarakat publik, dikarenakan konotasi ‘pemberian alat kontrasepsi bagi anak usia sekolah dan pelajar’ menyiratkan arti ‘izin resmi pergaulan bebas bagi anak usia sekolah dan pelajar’.

Namun anggapan tersebut ditepis oleh Juru Bicara Kementerian Kesehatan dr. Mohammad Syahril Sp. P, MPH menjelaskan bahwa penyediaan alat kontrasepsi tidak ditujukan untuk semua remaja, melainkan hanya diperuntukkan bagi remaja yang sudah menikah dengan tujuan menunda kehamilan ketika calon ibu belum siap karena masalah ekonomi atau kesehatan (sehatnegeriku.go.id, 5/8/2024).

Lebih lanjut dijelaskan bahwa kehamilan pada usia dini berisiko kematian ibu dan janin, serta risiko stunting pada bayi. Namun, pertanyaannya, mengapa tidak dituliskan dalam redaksi ‘penyediaan alat kontrasepsi bagi remaja usia sekolah yang sudah menikah’ sehingga terhindar dari ambiguitas.

Karena sejatinya alat kontrasepsi adalah alat untuk ‘kontra-konsepsi’ atau untuk mencegah terjadinya konsepsi/pembuahan sel telur oleh sel sperma, sedangkan yang berhak untuk melakukan konsepsi hanyalah pasangan suami istri yang sah secara rukun nikah agama yang dipeluknya.

Bahasan dari pasal 103 dalam PP Undang Undang Nomor 17 Tahun 2023 tersebut adalah tentang upaya kesehatan sistem reproduksi bagi anak usia sekolah dan remaja yang meliputi informasi edukasi dan pelayanan kesehatan reproduksi. Namun karena rujukan dari sistem pendidikan dan kesehatan di negara kita adalah sistem pendidikan dan kesehatan ala kapitalisme demokrasi, maka mau tidak mau akan selalu berbenturan dengan nilai agama, khususnya nilai-nilai Islam yang merupakan agama mayoritas dari rakyat Indonesia.

Upaya kesehatan sistem reproduksi dalam Islam

Islam secara spesifik dan sempurna telah mengatur upaya kesehatan sistem reproduksi dengan menekankan kepada aspek preventif yaitu mencegah sebelum terjadi hal yang dilarang Allah dalam Islam. Adapun mengenai organ reproduksi, sistem reproduksi dan proses reproduksi hal itu merupakan bagian dari sains atau ilmu pengetahuan yang sifatnya sama atau tidak berubah lintas waktu tempat dan keyakinan seseorang.

Aspek preventif yang dimaksud adalah Islam telah mengatur kehidupan pria dan wanita secara terpisah baik dalam kehidupan pribadi maupun kehidupan umum. Laki-laki dan perempuan hidup dan beraktivitas di antara kaumnya tersendiri, yaitu wanita berkumpul dengan wanita sedangkan pria berkumpul dengan pria, baik dalam kehidupan pribadi (kamar laki-laki dan perempuan dipisah), maupun dalam kehidupan umum (misalnya tempat duduk laki-laki dan wanita dipisah dalam kelas, shaf laki-laki dan shaf perempuan terpisah di masjid maupun di majelis-majelis ilmu, kolam renang dan tempat pemandian laki-laki dan perempuan dipisah tempat olahraga khusus laki-laki dan perempuan dipisah, dan lain sebagainya), kecuali untuk hal-hal yang dibolehkan dalam Islam menurut batasan tertentu, yaitu dalam hal muamalah (jual beli, angkutan umum) kesehatan (dokter dengan pasien), dan pendidikan (guru dengan murid, dosen dengan mahasiswa).

Di dalam Islam tidak dikenal istilah ‘perilaku seksual berisiko’ sebagaimana tertera pada pasal 103 ayat 2 poin c, namun yang ada hanyalah hubungan lawan jenis yang halal dan yang haram. Hubungan seksual yang halal hanya dibolehkan antara suami istri, sedangkan hubungan yang haram adalah semua hubungan seksual selain pasangan suami-isteri (baik itu homoseks, biseksual, dan lain lain).

Kemudian pada pasal 103 ayat 2 poin e, yang berbunyi ‘melindungi diri dan mampu menolak hubungan seksual ‘ , maka Islam mencegah jauh sebelumnya. Islam mewajibkan pemeluknya untuk berpakaian menutup aurat, bagi laki laki auratnya adalah antara pusar dan lutut, sedangkan bagi perempuan, auratnya adalah seluruh tubuhnya kecuali muka dan telapak tangan.

Pakaian muslimah pun disebutkan secara spesifik dalam surat Al ahzab ayat 59 berupa jilbab, dan pakaian atas muslimah berupa Khimar (QS An Nur ayat 31). Berduaan antara laki laki dan perempuan bukan mahram dilarang ( larangan khalwat dalam HR Ahmad dan At Tirmidzi ), bercampur baur laki laki dan perempuan pun dilarang (larangan ikhtilath), mendekati zina baik secara chat, dunia Maya, maupun pacaran dilarang (QS Al Isra ayat 32) apalagi berhubungan seksual, yang merupakan perbuatan zina yang masuk kategori fahisyah (perbuatan paling keji dan buruk).

Islam secara holistik telah memiliki aturan komprehensif dalam menjaga pria dan wanita tetap pada sehat sesuai fitrahnya. Berbagai penyimpangan dan pelanggaran perilaku seksual telah jauh dicegah, sejak terlahir sebagai pria atau wanita, maka seorang muslim wajib berpakaian sesuai gendernya, dilarang membuka aurat, dilarang tidur satu ranjang dan satu selimut sejak usia 7 tahun.

Akan tetapi keberhasilan upaya kesehatan reproduksi juga harus ditunjang dengan sistem kehidupan lainnya, seperti sistem hukum, sistem ekonomi dan sistem pendidikan, sehingga pola pikir dan pola sikap yang islami dapat terjaga dengan sempurna.

Bagaimana mungkin pemerintah dapat merealisasikan poin selanjutnya dalam PPUU nomor 17 tahun 2023 pasal 103 ayat 2 poin f yang berbunyi ‘ pemilihan media hiburan sesuai usia anak’, sementara negara tidak tegas memblokir dan menindak konten konten seksual yang tidak mendidik (baca:haram), sehingga anak remaja dan usia sekolah terjerumus framing media yang menjerumuskan pada perilaku mengumbar syahwat, mengorbankan kehormatan dan kesehatan reproduksinya sendiri.

Jadi, pemerintah haruslah tegas mengatur apa yang boleh dan tidak boleh, bagi kesehatan reproduksi remaja dan terutama bagi keselamatan generasi muda pemimpin bangsa. Janganlah menerbitkan Undang undang dengan pasal karet, yang dapat ditarik ulur maknanya oleh pihak pihak egois yang mengais keuntungan dengan mengorbankan martabat generasi muda. Wallahu A’lam bishshowwab.

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *