Jakarta (Riaunews.com) – Keberadaan Pasal Penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (R-KUHP) kembali diperdebatkan.
Dalam rapat dengan Komisi III DPR, Rabu kemarin (6/9/2021), Menteri Hukum dan HAM, Yasonna H. Laoly mengatakan, pasal tersebut perlu dimasukkan ke dalam RKUHP, agar demokrasi di Indonesia tidak sebebas-bebasnya, tidak terlalu liberal.
Namun, Yasonna memastikan, Pasal Penghinaan Presiden tidak mengurangi hak masyarakat untuk mengkritik kebijakan presiden dan pemerintah. Kritik apapun boleh, yang dilarang adalah menyerang harkat dan martabat.
Di tengah sikap pemerintah yang notabena Yasonna dan Presiden Joko Widodo adalah politisi PDI Perjuangan, di media sosial ramai dibicarakan sikap orang-orang PDIP yang bagai menjilat ludah sendiri karena pernah menolak Pasal Penghinaan Presiden.
Pada tahun 2013 saat R-KUHP juga dibahas, muncul perdebatan apakah perlu dimuat Pasal Penghinaan Presiden.
Saat itu, banyak politisi PDIP yang tegas menolak pasal tersebut.
Misalnya, politisi PDIP, Budiman Sudjatmiko, 3 April 2013 di republika.co.id. Dia menilai usulan Pasal Penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden dalam R-KUHP merupakan bukti bahwa pemerintah tidak siap dikritik. Saat itu, pemerintah dipimpin oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Budiman Sudjatmiko lebih lanjut mengatakan, pasal itu tanda kemunduran demokrasi. Ditambahkannya, pemerintah tidak siap dikritik masyarakat sebagai refleksi perilaku kekuasaan yang abai terhadap rakyat.
Hampir sama dengan Budiman Sudjatmiko, politisi PDIP, Eva Kusuma Sundari mengatakan, Pasal Penghinaan Presiden akan memunculkan politisi “penjilat” dengan menghidupkan kembali kebiasaan Orde Baru “Asal Bapak Senang” (ABS).
Jelas Eva di liputan6.com pada 3 April 2013, pemerintah harus taat kepada asas equality before the law atau persamaan di hadapan hukum.
R-KUHP sudah dikaji di internal pemerintah sejak 2005, dan didibahas tahun 2015 di DPR. Disebutkan, banyak isu krusial dalam RUU itu yang memakan waktu pembahasan.
Hingga berakhir periode DPR 2014-2019, RUU tersebut belum bisa disahkan. Alasannya, pembahasan dilakukan dengan segala kehati-hatian dan kajian mendalam.
Perlu diketahui, pada tahun 2006, Mahkamah Konstitusi (MK) pernah membatalkan Pasal Penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Putusan MK itu bernomor 013-022/PUU-IV/2006.***