Oleh Yenni Sarinah, S.Pd, aktivis muslimah Selatpanjang, Riau
Dalam kehidupan demokrasi, kekuasaan menjadi tujuan yang akan diperjuangkan dengan segala macam cara. Oleh karena itu, setiap peluang akan dimanfaatkan. Hal itu wajar karena sistem demokrasi meniscayakan kebebasan perilaku. Apalagi sistem ini jelas mengabaikan aturan agama dalam kehidupan.
Dengan slogan sekularismenya yang meletakkan aturan agama bukan sebagai tuntunan kehidupan. Hal ini bertolak belakang dengan kehidupan Islam, yang menjadikan kekuasaan sebagai penjaga bagi kepentingan masyarakat.
Demokrasi meniscayakan keberadaan apapun cara untuk memenangkan pemilu untuk meraih kekuasaan yang diincar selama ini. Hingga muncul dugaan politisasi bansos yang menjadi benang merah dari permasalahan di masyarakat, bansos ini dari partai untuk mencari dukungan masyarakat; dari pemerintah tapi ditunggangi oknum partai demi kepentingannya; ataukah murni dari bantuan rutin pemerintah?
Dilansir melalui finance.detik.com pada 02 februari 2024 lalu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) beberkan alasan pembagian bantuan sosial (bansos) jelang pemilu mulai dari bantuan pangan berupa beras 10 kilogram (kg), Bantuan Langsung Tunai (BLT) El Nino Rp 200 ribu per bulan, hingga yang terbaru BLT mitigasi risiko pangan Rp 200 ribu per bulan.
Alasan utama pemberian sederet bansos untuk memperkuat daya beli masyarakat, khususnya masyarakat kelas bawah. Penguatan daya beli ini perlu dilakukan di tengah kenaikan harga pangan, meroketnya harga pangan yang juga terjadi di berbagai negara bukan hanya di Indonesia.
Kesadaran Politik Rendah, Buah Kemiskinan Kronis
Disisi lain, dengan kesadaran politik yang rendah, rendahnya Pendidikan dan kemiskinan yang menimpa, masyarakat akan berpikir pragmatis, sehingga mudah dimanfaatkan untuk kepentingan tertentu.
Sekarang yang dibutuhkan masyarakat justru bukan manfaat jangka panjang dari hasil pemilihan pemimpin masa depan. Tapi sekedar mengejar manfaat jangka pendek berupa sejumlah materi yang disebut kebanyakan orang sebagai serangan fajar jelang pemilu.
Kemiskinan menjadi problem kronis negara. Negara seharusnya mengentaskan kemiskinan dengan cara komprehensif dan dari akar persoalan, bukan hanya sekedar dengan bansos berulang, apalagi meningkat saat menjelang pemilu.
Pasalnya, dengan kian terpuruknya masyarakat dengan beban ekonomi yang tidak tuntas, seakan masyarakat hendak dibentuk menjadi tunggangan politik saja, bukan diletakkan pada posisi agen of control dari setiap kebijakan yang direncanakan, diambil, bahkan diterapkan oleh negara dalam berkehidupan.
Dalam Islam, Jaminan Kesejahteraan Kewajiban Negara
Islam mewajibkan Negara untuk menjamin kesejahteraan rakyat individu per individu, dan Islam memiliki berbagai mekanisme, salah satunya tidak dengan membuka lebar kran utang luar negeri. Islam juga menetapkan kekuasaan adalah amanah yang akan dipertanggungjawabkan dihadapan Allah SWT Sehingga penguasa akan mengurus rakyat sesuai dengan hukum syara.
Islam juga mewujudkan sumber daya manusia (SDM) yang berkepribadian Islam, termasuk di dalamnya menanamkan sifat amanah dan jujur dalam kehidupan sosialnya. Bukan sekedar janji manis semata, namun pelaksanaan di belakangnya justru menambah utang piutang Negara dengan bunga yang tak mampu lagi diemban oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Islam memandang bahwa hukum asal perbuatan manusia harus terikat pada hukum syara’, yaitu hukum yang hanya dibuat oleh pemilik alam semesta dan kehidupan yang disebut asy-syari’ (Allah SWT.). Sehingga tidak dibenarkan melakukan suatu perbuatan, kecuali setelah mengetahui hukumnya.
Negara dalam sistem Islam juga akan mengedukasi rakyat dengan nilai-nilai Islam termasuk dalam memilih pemimpin, sehingga umat memiliki kesadaran akan kriteria yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin.
Setidaknya ada 7 kriteria penting dalam memilih pemimpin, yaitu: laki-laki, muslim, merdeka (bukan menjadi boneka di atas kepentingan asing), baligh (dewasa secara fisik dan psikis), berakal (sebagaimana tuntunan syariat Islam), adil dan memiliki kemampuan atau kapasitas untuk memimpin (bukan membawa nama leluhurnya).
Seorang muslim yang menjadi pemimpin pun jelas berkualitas karena iman dan taqwanya kepada Allah serta memiliki kompetensi, tidak perlu pencitraan agar disukai rakyat atau bahkan membawa nama leluhurnya untuk mencari dukungan dan embel-embel kepentingan, yang ketika ia terpilih kelak, ia diharapkan dapat meneruskan program leluhurnya yang di mata masyarakat justru menguntungkan secara praktis.
Sehingga dari sini dapat kita simpulkan bahwa bansos tidak menjamin kesuksesan dalam pengentasan kemiskinan ekstrim, dan juga pemimpin yang mencitrakan dirinya untuk dipilih lewat politisasi bansos tidak akan membawa perubahan negara ini menjadi lebih baik.
Pasalnya, Islam telah menuntun, hanya dengan sistem Islam kehidupan ini akan kembali teratur. Dan hanya dengan sistem Islam, demokrasi dan segala tipu dayanya terlihat jelas kebobrokannya.