New York (Riaunews.com) – Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengungkapkan kekhawatirannya setelah Israel mengumumkan bahwa lebih dari 120.000 senjata telah didistribusikan kepada warga sipil Israel dalam setahun terakhir. Langkah ini diperkirakan akan terus berlanjut seiring dengan peningkatan ketegangan di wilayah tersebut.
Menurut Jeremy Laurence, juru bicara Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia, distribusi senjata yang masif ini, terutama sejak 7 Oktober 2023 ketika serangan Israel terhadap Gaza dimulai, memicu peringatan serius dari PBB seperti laporan Anadolu, Rabu (9/10/2024).
Laurence menyatakan keputusan ini hanya memperburuk situasi yang sudah genting, dan PBB khawatir akan adanya lonjakan kekerasan di kawasan itu.
Menteri Keamanan Nasional Israel, Itamar Ben-Gvir, yang dikenal dengan pandangan sayap kanannya, adalah sosok yang mengumumkan kebijakan distribusi senjata tersebut. Pernyataannya dinilai memicu kekhawatiran lebih lanjut, mengingat kekerasan yang terus meningkat di Tepi Barat yang diduduki.
Dalam sebuah laporan yang diterbitkan pada Desember lalu, Kantor Hak Asasi Manusia PBB menyoroti bahaya terkait distribusi senjata oleh militer Israel, yang berkaitan dengan peningkatan kekerasan oleh pemukim Israel di Tepi Barat.
Lebih dari sepertiga insiden kekerasan yang tercatat melibatkan senjata api, termasuk aksi penembakan. Hal ini menambah daftar kekerasan yang semakin panjang di wilayah yang terus bergolak.
Laurence juga merujuk laporan dari Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres pada bulan September, yang mencatat lebih dari 1.350 serangan oleh warga Israel terhadap warga Palestina di Tepi Barat yang diduduki, di mana 55 serangan dilakukan dengan senjata api.
Distribusi senjata secara massal ini, terutama kepada warga sipil Israel, sangat berisiko dalam konteks kekerasan oleh pemukim yang terus meningkat.
Laurence memperingatkan hal ini dapat memperburuk situasi dan memicu lebih banyak serangan bersenjata terhadap warga Palestina.
Dalam laporan tahunan yang diajukan oleh Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia, Volker Turk, kepada Dewan Hak Asasi Manusia PBB pada Februari, juga disampaikan kekhawatiran serupa.
Turk menyuarakan peringatan bahwa sejumlah pernyataan oleh pemimpin politik dan militer Israel telah mendehumanisasi warga Palestina dan mengabaikan pentingnya kepatuhan terhadap hukum internasional.
Sebagai contoh, dalam sebuah video yang dipublikasikan pada bulan Juni, Itamar Ben-Gvir dengan lantang menyatakan para tahanan Palestina “seharusnya ditembak di kepala daripada diberi lebih banyak makanan.” Pernyataan seperti ini dinilai menghasut kekerasan dan memicu kebencian.
Selain itu, Turk menekankan pentingnya bagi para pemimpin Israel untuk menghentikan ujaran kebencian dan mencegah hasutan kekerasan, khususnya di tengah meningkatnya ketegangan saat ini.
Kekerasan yang dilakukan oleh pemukim ilegal Israel terhadap warga Palestina telah meningkat secara signifikan sejak 7 Oktober 2023.
Data Palestina mencatat setidaknya 719 warga Palestina, termasuk 160 anak-anak, tewas dalam serangan di wilayah yang diduduki di Tepi Barat. Lebih dari 6.200 orang terluka, sementara 10.900 lainnya ditangkap oleh otoritas Israel.
Menurut perkiraan Israel, sekitar 720.000 warga Israel kini tinggal di pos-pos pemukiman ilegal di Tepi Barat yang diduduki, termasuk di Yerusalem Timur.
Masyarakat internasional, termasuk PBB, secara tegas menganggap pemukiman ini ilegal berdasarkan hukum internasional. Amerika Serikat juga telah menyatakan perluasan pemukiman oleh Israel di Tepi Barat tidak sesuai dengan hukum internasional.
Eskalasi kekerasan ini mengikuti keputusan penting Mahkamah Internasional pada bulan Juli lalu, yang menyatakan pendudukan Israel di wilayah Palestina selama puluhan tahun adalah tindakan ilegal. Pengadilan tersebut juga menuntut evakuasi semua pemukiman Israel di Tepi Barat dan Yerusalem Timur.***