Selasa, 26 November 2024

Komnas HAM Sebut Pimpinan KPK Tak Satu Suara Soal TWK

Ikuti Riaunews.com di Google Berita
 
Sejumlah pegawai KPK yang tak lolos TWK dan terancam dipecat mengadu ke Komnas HAM.

Jakarta (Riaunews.com) – Lima pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) disebut tak satu suara terkait kesimpulan tes wawasan kebangsaan (TWK) yang dilakukan dalam rangka alih proses pegawai antirasuah menjadi aparatur sipil negara (ASN).

Hal itu disampaikan Komisioner Komnas HAM Bidang Bidang Pemantauan dan Penyelidikan, M. Choirul Anam. Dia menyebut perbedaan pendapat itu terjadi saat KPK menindaklanjuti arahan Presiden Joko Widodo dalam rapat bersama sejumlah lembaga lain, seperti BKN, Kemenpan-RB, dan Kemenkumham pada 25 Mei lalu.

“Ketika rapat di situ kami mendapat keterangan, asesor ngotot. Sehingga internal KPK merespons itu. Internal KPK itu tidak semuanya, dari lima pimpinan, tidak semuanya dalam satu suara,” kata Anam dalam diskusi daring di YouTube YLBHI, Ahad (29/8/2021).

Anam tak menyebut siapa pimpinan yang berbeda pendapat soal hasil TWK berujung penonaktifan 75 pegawai tersebut.

Diketahui, lima pimpinan KPK masing-masing yakni, Firli Bahuri selaku Ketua. Lalu ada empat pimpinan lain yakni, Nawawi Pomolango, Nurul Ghufron, Alexander Marwata, dan Lili Pintauli Siregar.

Lebih lanjut, Anam menyatakan dalam rapat bersama pada 25 Mei, asesor memang yang kemudian menentukan 24 dari 75 pegawai dinyatakan bisa kembali bergabung dengan KPK lewat Diklat bela negara. Sedangkan, 51 lainnya dinyatakan berwarna merah dan dipastikan bakal mundur dari KPK per awal November mendatang.

Menurut Anam, kala itu asesor yang berasal dari sejumlah lembaga di luar KPK, ngotot agar 51 pegawai keluar dari komisi antirasuah. Walhasil, sejumlah pimpinan yang semuanya hadir dalam rapat berbeda pendapat.

“Jadi, asesor ini yang menentukan walaupun katanya ada forum. Pada 25 Mei, pimpinan KPK dan pimpinan beberapa lembaga lain, ketika merespons arahan presiden rapat lagi. Tapi ketika rapat di situ kami mendapat keterangan, asesor ngotot,” kata Anam.

Anam menambahkan pihaknya telah menyusun kronologi ketat sebelum menyimpulkan TWK telah melanggar 11 hak asasi manusia dan menjadi proses seleksi, alih-alih hanya menjadi catatan administratif internal lembaga.

Padahal, kata dia, para ahli telah menyarankan agar TWK mestinya cukup hanya menjadi catatan internal. Sebab, di sisi lain, para pegawai kala itu juga tak memiliki pilihan, karena TWK adalah amanat undang-undang.

Hal itu dibenarkan salah satu penyelidik KPK yang gagal dalam TWK, Rieswin Rachwell. Rieswin mengakui para pegawai sejak awal tak diberi arahan bahwa TWK akan menjadi proses seleksi.

Hingga November 2020, atau beberapa bulan sebelum TWK, ia memastikan tak ada ayat dalam peraturan KPK yang mengatur soal TWK. Peraturan TWK belakangan muncul pada 27 Januari 2020, dalam peraturan yang diterbitkan KPK. Namun, hingga saat itu, tak ada pula pegawai yang mengetahui konsekuensi dari pelaksanaan TWK.

“Tidak ada juga yang mengetahui apa konsekuensinya jika tes ini dilaksanakan. Apakah ada yang lulus atau tidak lulus, apakah ada yang akan diberhentikan jika dia tidak lulus itu tidak ada yang tahu,” kata dia.***

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *